Piknik Ceria

  • 0


AAAAaaaaaaa……………………….
Aku mendengar jeritan, yang sedetik kemudian aku sadari jeritan itu keluar dari mulutku. Tubuhku dihisap ke bawah. Isi perutku rasanya pindah ke dada. Jantungku terbang ke tenggorokan. Nyawaku tertinggal di garis start.

***
Sabtu, 27 Desember 2014

Kembali pada hari ini yang cerah. Ada sebuah alasan kenapa hari kemarin Ibuku ngotot menyuruhku pulang. Ibu-ibu di kampungku berencana mengadakan piknik bersama di tempat wisata Umbul di daerah Glenmore, Banyuwangi, dan Ibuku salah satu penggagas acara itu. Sebab itulah ketika aku baru saja datang dari kota rantau, Ibu langsung membokingku untuk mengantarnya ke Umbul hari Sabtu ini.

Karena takut dikutuk menjadi batu, akhirnya aku memilih patuh. “Kita berangkat jam 8 nduk, ayo siap-siap,” seru Ibu sambil ngosreng-ngosreng wajan. Masih jam 7 pagi, aku masih ogah-ogahan sambil baca novel. Jam 07.30 aku baru masuk kamar mandi. Ibuku menggedor-gedor pintu kamar mandi untuk memprotes ritual mandiku, “Ngapain mandi? Kan mau renang! Cepetan! Wong-wong wes ngenteni.” Rupanya peserta yang lain sudah siap sedia. Mereka menungguku yang masih kungkum di kamar mandi.

Sekitar jam 8 lebih sedikit aku selesai. Berangkatlah kita dengan suka cita ke Umbul Pule. Tempat wisata kolam renang dengan tiket seharga Rp 10.000 saja. Peserta anak-anak dan Ibunya menaiki mobil milik Mbak Fitri, sedang remaja dan dua orang Ibu, termasuk Ibuku, naik sepeda motor.

Brrrr…… dinginnyaaaa… kolam ini seperti air es. Padahal aku baru saja nyemplung. Umbul Pule adalah sebuah telaga jernih yang konon airnya tak pernah surut meski musim kemarau tiba. Seperti kolam renang pada umumnya, kolam renang di Umbul Pule dilengkapi dengan waterboom dan berbagai permainan air. Kolamnya pun bervariasi. Ada kolam untuk balita, anak-anak, remaja, hingga kolam untuk orang dewasa yang memiliki kedalaman hingga 3 meter. Setiap kolam memiliki waterboom dan mainan yang disesuaikan dengan karakteristik penggunanya, kecuali pada kolam orang dewasa, kolamnya polosan, tanpa sejumput mainan. Tidak asik.

Di kolam balita, airnya dangkal sekali. Hanya sedikit lebih tinggi dari tumit. Yaah.. namanya juga balita. Prosotannya hanya sepanjang kakiku (aku pernah mencobanya). Kolam anak-anak lebih sempit dari kolam balita, tapi permainannya lebih banyak. Waterboom mininya ada 4 macam dan ada sebuah ember besar menggantung di atas yang bisa memuntahkan air ketika sudah terisi penuh (aku sangat menikmati bermain di kolam ini). Kolam anak-anak – remaja memiliki dua buah waterboom yang panjang tapi tidak terlalu tinggi. Bagi yang memakai celana renang yang kasar harus menarik dirinya ke depan agar tidak berhenti di tengah jalan (untung saja celanaku licin).

“Mbak, sampean berani naik itu?” tanya Rani sambil menunjuk waterboom di kolam sebelah. Kolam itu di dominasi oleh remaja dan orang dewasa, ada juga beberapa gelintir bocah. Rata-rata laki-laki. Aku tidak sungguh-sungguh melihat waterboom yang ditunjuk oleh Rani. Tapi yang namanya waterboom paling juga cuma gitu-gitu aja. “Berani lah, Ran,” kataku acuh.

Aku, Rani, Murni, Ariel, dan Silvi (kami ini kembang desa loooh) berangkat menuju waterboom yang ditunjuk Rani tadi. Ketika sudah dekat, barulah aku sadar kenapa Rani bertanya apakah aku berani mencobanya atau tidak. Tingginya sekitar 10 meter dengan kemiringan 75 o dan tanpa kelokan. Langsung terjun ke bawah! Meski mendekati ujung akhirnya landai, garis start di ujung yang nyaris tegak lurus bumi itulah yang menciutkan nyali. Rani maju ke depan mengajakku. Kembang desa yang lain melipir di pinggir. Mereka lebih senang jadi tukang sorak.

Prosotan itu ada dua buah. Berjejer beda warna, tapi bentuknya sama persis. Ada pemandu di atasnya, yang bertugas memberi aba-aba untuk yang di bawah agar minggir ketika ada yang meluncur. Setelah aku mengamati orang-orang yang meluncur, mereka memang terpental jauh dan keras daripada efek waterboom yang lain. Itulah gunanya pemandu di atas, untuk menghindari kecelakaan kolam yang mengerikan.

Aku berjinjit-jinjit menaiki tangga menuju waterboom jahanam itu. Mentas dari kolam dan bersatu dengan udara membuat kulitku semakin meremang saking dinginnya. Ada sensasi aneh ketika aku mulai menaiki tangga. Perutku mual, dan aku gemetar. Karena dingin? Atau karena takut? Entahlah..

Ada sebilah besi di atas garis start yang digunakan untuk berpegangan agar tidak tergelincir sebelum pemandu memberi aba-aba. Aku dan Rani berdiri di atas perosotan curam sementara pemandu memberi aba-aba agar yang dibawah segera minggir. Aku di sebelah kiri, Rani di kanan. Aku duduk sambil memegangi bilah besi. Pemandu memberi petuah padaku agar tanganku tidak menyentuh atau mencoba berpegangan pada sisi-sisi prosotan. Aku menurut. Aku duduk menghadap ke bawah. Kemudian, dengan gerakan yang pelan pemandu mendorong punggungku agar aku mulai berseluncur. Dan…

AAAAaaaaaaa……………………….
Aku mendengar jeritan, yang sedetik kemudian aku sadari jeritan itu keluar dari mulutku. Tubuhku dihisap ke bawah. Isi perutku rasanya pindah ke dada. Jantungku terbang ke tenggorokan. Nyawaku tertinggal di garis start.

Croooosh……… blebblebblebbleb..
Aku gelagapan mencari udara. Air masuk melalui lima lubang di tubuhku. Linglung aku berusaha berdiri tapi gagal. Aku tercebur lagi. Kemudian aku melihat Rani terpental lebih jauh dari aku, dia juga kalap. Setelah sepenuhnya sadar, aku melihat mata semua orang tertuju padaku. Remang-remang bahak menyusup di telingaku yang penuh air. Aku baru saja menjadi badut hiburan di Umbul Pule.

Tentu saja orang-orang itu tertawa. Dari sekian banyak orang yang meluncur pagi ini, hanya aku lah yang menjerit-jerit dari atas hingga bawah. Duh, betapa memalukannya. Bersama Rani aku menepi ke pinggir kolam. Menuju para kembang desa menyemangati aku dan Rani tadi. Kami semua juga ikut menertawai ketololanku. “Ayo lagi, Mbak!” ajak Rani kepadaku. “Ayo pindah ke kolam anak-anak aja,” aku menyeretnya dengan sayang.

Kami semua memutuskan untuk pindah ke kolam anak-anak. Untuk menormalkan jantung yang tadi sempat pindah ke tenggorokan. Berani bertaruh, di kolam itu akulah yang berusia paling lanjut. Kawan bermainku adalah sebangsa TK hingga SD. Ariel dan Silvi sudah SMP, Rani baru masuk kuliah. Aku sendiri seorang Sarjana.

Aku bermain di prosotan anak-anak yang mini, yang membuatku harus menekukkan lutut agar aku bisa meluncur. Menunggu ember terisi penuh dan berjingkrak-jingkrak ketika isinya tumpah. Tertawa terbahak-bahak untuk setiap ketololan yang kubuat sendiri. Betapa lepasnya, betapa rindunya merasakan tak punya beban. Aku si Sarjana, pulang ke masa kecil.

Mendekati saat-saat ingin mentas, aku mengajak Rani untuk mencoba lagi prosotan jahanam itu. Aku ingin membuktikan apakah teriakanku tadi karena aku benar-benar takut atau hanya karena kaget tiba-tiba tubuhku seperti dihisap bumi. Kali ini kita berpindah posisi, aku di sebelah kanan. Aku membuat diriku benar-benar siap kali ini. Dengan aba-aba dari pemandu, kami meluncur. Aku menyumpal mulutku agar tidak berteriak. Tapi nyawaku tertinggal untuk yang kedua kalinya. Lalu ketiga kalinya.

Terima kasih, Ibu.. sudah mengajakku piknik hari ini.. :)

Cinta Pertama

  • 0

Genteng, di sebuah kamar masa remaja

Pagi yang cerah di bulan musim penghujan, Bulan Desember. Kata orang jawa, Desember artinya Gede-gedene Sumber, banyak-banyaknya sumber air mengalir. Hujan memang tidak pernah absen mengguyur kota kelahiranku dalam sebulan ini. Pagi ini langit tidak menunjukkan tanda-tanda mau turun hujan. Awan gelap hanya merubung puncak Gunung Raung yang terlihat jelas dari jalan depan rumahku.

Saat aku menulis ini, Gunung Raung berstatus waspada. Gunung yang memiliki ketinggian 3.332 mdpl itu memiliki sejarah kelam rentang 5 abad terakhir. Meletus untuk pertama kali pada tahun 1586, tercatat banyak korban jiwa dan wilayah disekitarnya rusak parah. Sebelas tahun kemudian, tepatnya tahun 1597, gunung ini menunjukkan kemurkaannya lagi. Letusan kedua tak kalah dahsyatnya dan kembali mengambil nyawa manusia. Letusan dahsyat kembali keluar dari gunung yang berada di perbatasan Banyuwangi, Jember, Situbondo, dan Bondowoso pada tahun 1638. Banjir lahar menerjang di daerah antara Kali Setail Kecamatan Sempu dan Kali Klatak Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi. Namun letusan paling dahsyat terjadi pada tahun 1730. Wilayah yang terkena dampak ledakan lebih luas daripada letusan pertama, kedua, dan ketiga. Dan lagi-lagi, Sang Gunung meminta nyawa sebagai tumbalnya. Letusan demi letusan terjadi hingga tahun 1815. Selanjutnya, Gunung Raung relatif tenang. Kejadian yang terlihat hanyalah gempa bumi berskala kecil, semburan asap membara, dan adanya aliran lava di kaldera. Tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Hingga sekarang, statusnya kembali waspada.

Gunung itu masih megah walau sudah meletus berkali-kali dan masih membuatku tersipu manakala ada yang mengajakku mendakinya. Mengajakku mendaki gunung mungkin sama halnya dengan mengajak seorang wanita untuk makan malam romantis di pinggir pantai Jimbaran, Bali. Sang wanita akan berdandan sedemikian cantik, menghabiskan seluruh pagi untuk mencoba pakaian mana yang pas, kemudian tidak bisa tenang hingga malam datang. Aku juga sama. Ketika ada yang mengajakku mendaki, aku akan melatih fisikku sedemikian kuat, menghabiskan seluruh pagi untuk berolahraga, makan makanan yang bergizi, dan tidak bisa tidur hingga hari pemberangkatan. Aku tak pernah sabar untuk segera bertemu sang pujaan.

Perkenalanku dengan gunung terjadi saat aku duduk di bangku TK. Saat itu, Bu Annis menggambar dua bentuk garis lengkung yang sedikit lancip ke atas saling berjejer. “Anak-anak, ini adalah gunung,” Bu Annis memperkenalkan dua garis lengkung itu. Aku hanya mengangguk-angguk saja dan meniru gambar Sang Master. Setelah itu, hingga tamat SMP, ketika pelajaran menggambar, aku selalu menggambar gunung lengkap dengan teman-temannya. Sawah, sungai, dan hutan. Terkadang aku juga menyisipkan lautan di kaki gunung. Selama itu, aku hanya bisa meraba wajah gunung, tanpa tahu rupa yang sebenarnya. Aku selalu takjub melihat puncak Gunung Raung yang menyembul di antara deretan rumah di sekitar rumah mbahku. Apalagi ketika cuaca cerah tanpa awan, aku bisa melihat jelas lekuk-lekuk tubuhnya. Begitu dekat, tapi tak terjangkau. Saat itu, aku tidak tahu, bahwa mendaki gunung adalah mungkin. Bahkan untuk aku si kutu buku.

Aku sering melihat di televisi orang-orang yang gemar mendaki gunung. Mereka membawa tas besar yang baru kutahu ketika aku berumur 18 tahun bahwa itu namanya tas carrier. Pemandangan yang disorot kamera itu selalu berhasil memukau mata. Tapi aku tak pernah percaya pada gambar yang terekam televisi. Aku lebih percaya pada apa yang ditangkap lensa alami pemberian Tuhan. Tidak ada kamera yang resolusinya lebih besar daripada mata manusia. Panorama itu pastilah jauh lebih indah jika aku melihatnya sendiri. Lalu aku membayangkan diriku mencangklong tas carrier.

Hingga datanglah hari itu. Sebuah siang di bulan Maret pada tahun 2013. Seorang teman mengajakku mendaki Gunung Ijen. Gunung yang terletak di perbatasan Bondowoso dan Banyuwangi. Tingginya memang tidak seberapa, hanya 2.443 mdpl. Tapi walaupun begitu, namanya tetaplah gunung. Tentu saja aku menerima tawaran itu dengan suka cita. Siang itu aku membatalkan janji kencan dengan Alit dan langsung melaju dari Jember ke Banyuwangi. Alit adalah pacarku kala itu, dan aku tidak pernah bermimpi mendapatkan kesempatan mendaki gunung untuk yang kedua kali hingga akhirnya aku berani melanggar janji kencanku. Toh aku masih bisa ketemu dia kapanpun aku mau, begitu pikirku. Demi melihat raut muka dia yang selama ini hanya bisa kugambar.

Kami berangkat bersebelas dari Genteng sekitar jam dua siang. Sampai di paltuding sudah hampir maghrib. Malamnya, kami tidur di shelter terbesar yang berada di pinggir lapangan. Aku kedinginan, teman-temanku kedinginan. Begitu dingin. Seperti masuk ke dalam kulkas raksasa. Malam itu kami membuat api unggun, dan bercengkrama di bawah atap hotel bintang sejuta. Langit.

Sekitar pukul 03.00 kita memulai pendakian. Jalan yang semula datar tiba-tiba menanjak ketika mulai masuk hutan. Loh? Loh? Kok naik? Aku tidak siap. Aku lupa kalau gunung itu tidak datar. Di dahiku mulai muncul keringat dingin. Perjalanan pertamaku ini ditempuh dengan sangat lama, karena sebentar-sebentar berhenti. Ditambah ada seorang temanku yang hampir pingsan. Semakin siputlah jalan kita. Aku sendiri juga merasa mual. Tapi kupaksakan langkahku. Aku tidak mau berhenti sebelum sampai di garis finish.

Akhirnya, sampailah kita tepat saat matahari mulai terbit. Puncak Kawah Ijen. Rasanya seperti menyembul ke atas awan. Aku melihat gumpalan kapas yang bertebaran di bawahku. Di depanku, kaldera seluas 1.200 meter persegi menjadi mangkuk bagi si danau hijau yang berasap. Dari bawah sana bermunculan lelaki perkasa memanggul belerang seberat 80 kg. Para penambang belerang. Setelah lelah berjalan dan mengambil gambar, kami tertidur di pinggir kaldera. Saat itu, aku sadar, bahwa mendaki gunung adalah mungkin. Bahkan untuk aku si kutu buku.

Aku tiba-tiba merasa menang dari televisi. Sudah kubilang, tak ada yang lebih cantik dari apa yang dilihat mata. Seperti bertemu kekasih yang lama terpisah.  Aku tidak rela lekas beranjak dari dingin dan ketinggiannya. Pada pertemuan pertama itu, aku jatuh cinta. Cinta pertamaku.

Selama ini aku selalu skeptis pada orang-orang yang suka mendaki gunung. Untuk apa sih mendaki gunung? Setelah ketemu puncak, trus ngapain? Turun? Udah, gitu aja? Tapi hari itu, aku mengerti. Makna mendaki gunung tidak berhenti sampai kita sudah berhasil turun. Pelajaran dan pengalaman yang kita peroleh selama perjalanan akan selamanya hidup dan membekas. Kamu mengerti kan? Jika belum, tunggulah aku menceritakan perjalanan lain yang mungkin akan membuatmu mati karena bosan.

Cinta ini adalah murni, bukan mengada-ada. Aku bisa saja menikahi samudra, tapi aku tidak bisa memilih untuk tidak mencintai gunung.

dari kiri: jarot, wisnu, gege', billy, maya, ricahk, cephi, lupa, hanif, mugar, lintang


Pagi itu kita memijak daratan yang lebih tinggi dari biasanya
Sejengkal saja kepalaku di bawah langit
Mendekat aku padamu
Meredam dingin yang hangat
Malam lalu kita di bawah bintang yang sama
Menuju ke atas awan
Kita bertatap muka
Memudarkan dinding jarak yang menghalangi
Hanya sunyi terdengar
Hingga canda meleburkan perseteruan kala lalu
Aku dan kamu
Kepada bara kita bercerita
Berbagi panas untuk melelehkan es dalam hati
Bergandengan pada setiap tarikan nafas yang putus-putus
Aku dan kamu
Tertidurlah di atas puncak itu
Hati yang berkelana
Di bawah persatuan matahari dan embun
Di atas awan


Langkah Pertama

 “Tulis.” Kata Wisnu dalam sebuah chatt BBM suatu sore. Sebuah kata yang bisa menjadi kata benda bila disisipi akhiran –an dan berubah menjadi kata kerja bila diberi awalan me-. Sebuah kata yang sudah lama kutinggalkan namun tak pernah kulupakan.

Ada semacam luapan euforia dalam otakku ketika aku mulai berniat menulis lagi. Rasanya otakku ingin memuntahkan semua imajinasi yang selama ini disumpal kesibukan dan keengganan yang cukup lama. Sebenarnya, selalu ada jeda yang berpola sama untuk (mungkin bisa disebut hobi) gaya menulisku ini. “Dasar penulis musiman!” Demikianlah Alit mengolokku. Yang kuterima dengan ikhlas karena memang begitulah adanya. Tapi aku punya istilah yang lebih halus, titik jenuh. Setiap orang pasti punya kukira.

Penulis dengan banyak titik jenuh sepertiku hanya akan menulis dalam tiga musim. Pertama, ketika aku sedang sakit hati. Jangan identikkan sakit hati dengan pikiran yang galau. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) galau berarti pikiran yang kacau tidak karuan, sedang sakit hati berarti hati yang tidak sehat. Itu sangat berbeda, kawan. Galau hanya terjadi ketika ada sesuatu yang sulit diputuskan oleh otak dan mengakibatkan stress, macet pikir, dan rawan obesitas. Loh? Karena galau menghabiskan banyak energi dan glukosa yang menyebabkan rasa lapar berkepanjangan. Setidaknya itu yang kualami.

Sedang sakit hati mengakibatkan dada sesak, mata bengkak, nafsu makan turun, dan pikiran nyalang. Sakit hati karena tidak bisa memiliki, memaksaku berimajinasi untuk memiliki. Dan saat aku menuliskan ini, hanya seseorang dari langitlah yang mendominasi alam sadar hingga alam tak sadarku. Sebut saja Bunga. Sialan! Ketika tidur yang kukira akan membebaskanku dari rindu, dia suka datang dengan jumawa. Seakan tak rela jika aku tidak merindukannya barang sedetik. Aku memang kerap mengarunginya meski ia mengurangiku. Mungkin itu sebab Tuhan mengurung niat mengarang kisah kami. Begitu yang dikatakan Dewi pada sebuah status BBMnya.

Rindu merupakan sebuah bentuk rasa sakit pada hati. Hingga detik inipun, aku belum tau bagaimana cara memperlakukan rindu. Kata orang, telepati itu ada. Pikirkan orang yang kau rindukan teramat sangat, maka orang itu akan memikirkanmu juga. Ah, cara itu hanya akan menumbuhkan harapan yang akan membuatku semakin sakit jika ternyata tidak berwujud. Dan seberapa besar harapan yang boleh kugenggam adalah sebesar hatiku mampu menampung kekecewaan. Sayangnya, aku terlalu anti pada rasa sakit. Maka biarlah kekesalan yang disebabkan oleh rindu tak sampai ini kulampiaskan pada barisan kata yang bisa jadi tak layak dibaca.

Kedua, ketika musim hujan. Hujan adalah suplemen alami yang bisa membuat seseorang menjadi melankolis romantis. Lihat saja ketika hujan tiba, akan banyak pujangga dadakan yang bermunculan di media sosial. Katanya, seseorang yang paling tidak romantis pun akan tidak tahan untuk tidak membikinkan kekasihnya secarik puisi. Entah itu karya sendiri, entah itu berkat menjarah makhluk tak kasat mata yang bernama internet. Yang penting, bikin puisi!

Tapi sepertinya hal itu hanya berlaku untuk mereka yang memiliki seseorang dihati. Dan seorang yang berhati kosong selamanya akan mengutuki hujan yang membuatnya terjebak di suatu tempat dan bersyukur ketika hujan tiba di sabtu malam.

Bagiku, hujan adalah guru yang terbaik. Dia masih terus gigih datang kembali meski tau rasanya jatuh berkali-kali. Dan itu cukup memotivasi diriku yang sangatlah rentan kesepian. Yup. Hujan dan sepi adalah perpaduan paling romantis yang bisa membuatku sangat melankolis. Ketika tak ada seorangpun yang bisa memahamiku, terjadilah dialog antar “aku” melalui tulisan yang lagi-lagi masih tak layak dibaca.

Ketiga, aku menulis ketika aku ingin. Inilah hambatan luar biasa berat bagi seorang berdarah O yang cantik jelita sepertiku. Aku tidak menulis untuk dipuja, aku menulis tidak untuk dibayar. Aku menulis karena aku ingin. Bukan berarti aku tidak peduli sebagai pembaca, aku hanya tidak ingin memunculkan mindset sebagai penjual, sebagai pemuas. Yang aku juga akan merasa terpuaskan bila tulisanku dibaca ribuan orang. Karena itu berarti aku harus sangat berhati-hati agar pembaca senang dengan tulisanku dan bisa jadi aku melupakan “aku”. Aku tidak suka tuntutan.

Aku menulis karena aku butuh tempat untuk mewadahi imajinasiku yang meluber, dan otakku terlalu sempit menampung memori puluhan tahun. Aku menulis hanya untuk merajut kenangan masa silam. Bagiku, setiap kenangan adalah sejarah yang pantas diberi tempat agar tidak dilupakan. Meskipun pahitnya seperti buah pare, aku tidak akan menjadi aku yang hari ini tanpa aku yang hari lalu. Bukankah begitu? Menulislah, maka kau pun ada.

Here we go..

Begitulah hingga pada akhirnya blog ini tercipta. Sebuah rentetan tulisan pada setiap perjalanan dari seorang perempuan pecinta dongeng yang sedang dalam perjalanan membuat dongengnya sendiri. Inilah langkah pertamanya. Sebuah Safarnama, bukan Safarnama milik Nasir Khusraw (1003 - 1077), buku perjalanan yang memberi pengaruh pada penulisan catatan perjalanan Persia klasik. Ini juga bukan Safarnama milik Agustinus Wibowo dalam buku-buku perjalanannya. Ini adalah Safarnamaku. Perjalananku.

Selamat menikmati, untuk entah siapa..