PINDAH

  • 0
Hai semuanya.. terima kasih sudah mampir. Maaf ya lama nggak update. Kali ini mau ngabarin kalau blog ini untuk sementara vakum dulu. Semua isinya sudah saya pindah ke blog sebelah. Sila dicek di pusmayaayu.blogspot.com.

Terima kasih...

Salam

Muntah

  • 0
Sepertinya aku telah diracun. Malam ini aku muntah hebat. Bajuku dilumuri sumpah serapah yang ke luar bersama ludah. Selama sebulan aku mual-mual. Dan hari ini sesuatu membuatku menumpahkan segala isi usus. Mungkin karena itu perutku jadi terlihat ciut, atau rabun mataku sudah bertambah parah. Memikirkan itu membuatku ingin muntah lagi.

Aku turun dari kasur yang telah basah oleh ludah dan sumpah serapah. Meraih botol berisi air mineral dengan merangkak. Muntah ini menguras tenaga. Membuatku lemas dan nyaris dehidrasi. Aku limbung. Sepertinya aku akan mati. Sepertinya aku akan mati. Sepertinya aku akan mati. Aku bergidik sambil cepat-cepat berdoa agar tak mati hari ini. Sebab hutang puasaku tahun ini belum lunas kubayar. Aku tak mau membuat ibuku membayar hutang yang disebabkan oleh anaknya. Atau siapapun itu. Tapi sepertinya hutang itu tak kan lunas sebab aku belum memberitahu siapapun bahwa aku punya hutang selama 6 hari. Mungkin nanti aku akan membayarnya dengan darah saja ketika aku masuk ke neraka. Ah, neraka lagi.

Aku masih terlalu lemah untuk membersihkan cecer muntahan itu. Maka aku hanya mengumpulkannya dan kuletakkan di kolong tempat tidur. Baunya amit-amit. Aku yakin telah diracun. Sebab kalau tidak, mungkin baunya akan wangi. Tapi ini.. Argh.. busuk sekali.

Tahu-tahu muntahan itu bergerak-gerak dan membuat kasurku berguncang. Aku mengintip ke bawah tempat tidur dan menemukan seonggok muntahan yang berubah jadi sesuatu. Mungkin manusia atau hantu, tapi aku tak yakin karena kamar begitu gelap dan aku tak berani turun untuk menyalakan lampu. Aku takut muntahan itu akan memakanku sebagaimana ia selama ini ada dalam perutku. Akhirnya aku hanya melihatnya dalam gelap. Lalu sepertinya aku melihat mulutnya terbuka dan bergerak-gerak. Aku bisa menebak itu mulut karena aku melihat dia punya gigi yang terbuat dari emas dan lidah yang menyala merah. Mereka berpendar.

Awalnya aku hanya melihat dia komat-kamit. Hingga kemudian aku mendengar suaranya yang mendesis-desis seperti suara ular. “Komunis.. Komunis.. Komunis..” begitu katanya. Ia mengatakan berulang-ulang dan kata-kata itu memantul ke seluruh penjuru ruangan membuat gema yang tak beraturan. “Komunis.. Komunis.. Kokomumuninis.. Komukonismunis..”

Aku tidak tahu apa maksud hantu itu. Tapi karena suara itu menggagalkan usahaku untuk tidur, maka aku berteriak dalam gelap. Tapi suaraku lenyap ditelan desisan yang makin lama makin kencang. Aku menjerit makin keras. Tapi sia-sia. Aku malah mendapati tenggorokanku jadi kering dan haus luar biasa.

Akhirnya aku menyerah dan memilih untuk menutup telinga dengan bantal. Tapi terlambat. Suara itu sudah menerobos gendang telingaku dan meluncur ke syaraf-syaraf yang berhubungan dengan otak. Aku tahu mereka telah sampai ke otak setelah aku mendengar lagi suara itu dalam diriku sendiri. “Komunis.. Komunis.. Komunis..” Aku kembali mual-mual seperti sebulan yang lalu. Aku berjanji jika nanti muntah lagi, aku akan segera membuang muntahan itu.


Part 4: Hutan Adat

  • 0

Hujan semalam menyisakan udara lembab pada pagi di Desa Tae. Pagi itu kami masuk hutan yang masih basah. Jalan setapak licin. Daun keladi, layang, pakis, dan kantung semar tumbuh subur sepanjang jalan. Ada kisot melekat di batu-batu kali.

Setelah diciprat-ciprati beras kuning, kami harus mengambil lumut dan ditempelkan ke kepala sebagai tanda “kulo nuwun”. Saya ambil secuil dan saya tempelkan ke jidat. Karena repot kalau harus lepas jilbab dulu.

Satu pohon durian besar menyambut kami. Pohon itu berdiri kokoh di antara pokok-pokok karet dan manggis. Sungkai, bambu betung, aren, dan yang lain tumbuh menyebar. Mulai dari yang berdiameter kecil, sedang, hingga besar, semua ada di dalam hutan itu. Masyarakat Dayak menyebut hutan ini sebagai “tembawang”.

“Ini adalah hutan warisan,” kata Tumenggung Anuk. Ia memimpin perjalanan. Sejak berabad silam, leluhur-leluhur Dayak membagi hutan untuk anak cucunya. Satu petak untuk satu garis keturunan. Dari tembawang ini kehidupan masyarakat Dayak Tae digantungkan.


Desa Tae masih sangat kental dengan adat istiadat. Desa yang terletak di kaki Gunung Tiong Kandang ini adalah satu-satunya desa di Kalimantan Barat yang belum terjamah perusahaan perkebunan.

Suku Dayak memiliki hukum tak tertulis dalam memperlakukan hutan mereka. “Tak ada yang boleh menebang pohon di Tembawang,” ujar Tumenggung Anuk. Masyarakat Dayak percaya bahwa menebang pohon di hutan adat akan merusak keseimbangan alam. Tembawang itu dibiarkan begitu saja. Jika ada yang mati, barulah mereka boleh mengganti dengan tanaman lain. Jika ketahuan menebang pohon, hukumannya adalah dikeluarkan sebagai ahli waris.

Di perjalanan, kami bertemu dengan mata air. Tiga bambu mengalirkan air ke bawah. Di sampingnya ada jalan setapak menuju ke tembawang lain.

Ada delapan kampung yang masuk di wilayah Tae yaitu, Bangkan, Padakng, Peragong, Mak Ijing, Maet, Semangkar, Teradak, dan Tae. Masing-masing kampung punya 5 hingga 10 tembawang. Luasnya berhektar-hektar. Tapi tak ada yang tahu berapa tepatnya. Dan memang tak boleh ada yang tahu. Kata Tumenggung Anuk, “Biar tidak dijual.”

Mereka hanya boleh menjual hasil hutan pada tengkulak yang datang ke desa. “Tapi tak banyak, sebagian kami gunakan sendiri,” kata Melkianus Midi.

Tumenggung Anuk mengajarkan bahwa manusia hanya sebatas meminjam dari atas bumi. Maka manusia tak boleh serakah dalam memanfaatkan sumber daya alam. Petuah inilah yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak. Bahwa alam adalah pinjaman dari Sang Pencipta.

Sayangnya, Tae adalah salah satu dari 31 ribu desa di seluruh Indonesia yang wilayahnya masuk ke dalam kawasan hutan. Seluas 683,76 hektare wilayah Tae masuk ke kawasan hutan lindung, 1.434,87 hektare masuk ke dalam kawasan hutan produksi biasa.

Dari total luas 2.538,55 hektare, warga desa Tae hanya bisa memanfaatkan 16,54 persen saja, yaitu 419,92 hektare. Padahal jumlah penduduk Tae mencapai 1.398 Jiwa. Artinya tiap jiwa hanya bisa memanfaatkan 0,3 hektare lahan.

Kondisi ini membuat Tumenggung Anuk resah. Sebab bibit manusia tumbuh setiap hari, sedang bibit tanah, dapat dari mana?

Di jalan, kami makan buah pisang yang matang di pohon, minum air nira yang baru diambil dari pohon aren. Rasanya manis seperti air tebu. Lalu mandi di pitn terjun, air terjun. Brrr… segaar sekali. Di kaki Tiong Kandang ini, kami diberi kehidupan.


Usai berkeliling, kami singgah di rumah Pak Asung. Di sana kami disuguhi ketopat, jajanan ketan yang dibungkus dengan kantung semar. Ada juga buah rambai, ketep, belimbing merah, dan langsat.

Kami lanjut makan siang di Kampung Peragokng. Kampung itu yang letaknya paling dekat dengan Malaysia. Nasinya dibungkus dengan daun layang. Semakin besar daunnya, semakin banyak nasi yang kau dapat. Lauk makannya adalah daun pepaya, nangka, dan sambal hijau yang enak sekali. Kampung Peragokng memang terkenal dengan rasa masakannya yang enak. Nantinya, hingga perjalanan pulang, saya tak berhenti mengunyah.


To be continued

Part 3: Bertemu Dayak


Dua hari rasanya terlalu singkat untuk mengenalmu. Aku masih ingin tahu. Aku masih ingin tinggal. Dayak, kata Matheus Pilin, adalah peradaban yang pelan tapi pasti, akan hilang akar-akarnya.


Disambut Warga Desa Tae

Senja itu kami tiba di Desa Tae. Puluhan orang berkumpul di bawah janur hijau yang tampak dibuat dari daun kelapa. Janur itu dipasang melintang dengan tinggi 2,5 meter. Posisinya diatur hingga serupa gerbang.

Tiga orang laki-laki berdiri tepat di bawahnya. Mereka disebut Paca, artinya dukun. Dua memegang mangkok berisi beras kuning, yang seorang membawa ayam jantan. Kepala diikat kain kuning. Ada sehelai bulu panjang mencuat dari belakang kepala. Melihat kami datang, mantra-mantra ke luar dari mulut ketiganya. Beras kuning diciprat-cipratkan. Ayam jantan dikebas-kebaskan. Ritual “Nyamut Muai” dimulai.

Ritual “nyamut muai” adalah upacara adat Dayak yang dilakukan untuk menyambut tamu. Dalam adat Dayak, setiap orang yang masuk kampung, hutan, maupun sumber air harus diberkati. Mereka percaya bahwa di alam sana ada kekuatan yang harus dihormati.

Kami diminta untuk menyembelih ayam jantan hitam yang tadi dikibas-kibaskan. Mas Mansur tampaknya muslim, maka ia yang diminta menyembelihnya agar semua tamu bisa makan.

Krek.. ekrek.. ekrek..

Entah pisaunya yang tak tajam atau ayamnya yang kelewat kuat. Ayam itu tak terluka. Hanya sehelai bulu yang jatuh ke dalam mangkok tempat menampung darah.

Mas Mansur mencoba lagi.
Krek.. ekrek.. ekrek…

Penonton bergidik ngeri. Antara kasian dengan ayamnya, atau kasian dengan Mas Mansur yang mereka percaya akan kena junta (musibah), sebab ia tak berhasil memotong ayam.

Pisau berpindah ke tangan seorang Dayak. Sekali sayat, darah mengucur dari leher ayam jago yang menganga. Darah yang ditampung di mangkok kemudian diambil oleh Paca.

Sambil membaca mantra, Paca memasukkan sehelai bulu ayam ke dalam mangkuk berisi darah ayam. Lalu bulu ayam itu ia tempelkan ke dahi kami satu-satu. Saya melihat ada setetes darah ayam yang ditempelkan ke jidat Mas Mansur. Saat paca beralih kepada saya, mata saya memejam.

Mas Mansur gagal motong ayam
Sekali sayat, cuuuuur.....

Seorang gadis muda berpakaian adat Dayak warna merah mendekati kami. Ia membawa nampan sajen berisi pinang yang sudah dikupas, gambir, daun sirih, kapur sirih, dan rokok dari daun nipah. Orang Dayak menyebutnya Siakng. Tamu wajib memakan sirihnya lalu merokok nipahnya. Namun, jika tak bisa, kami boleh hanya menyentuhnya saja.

Upacara penyambutan dilanjutkan dengan melihat tari Ganjor yang diperagakan lima orang gadis desa. Mereka mengenakan kebaya dan kain. Kepalanya diikat, ada satu bulu panjang mencuat dari belakang ikat kepala. Tangan mereka berayun sesuai dengan irama dari alat musik bambu yang dipukul-pukul. Setelah itu, pertunjukan berganti dengan seorang pria melakukan beberapa jurus silat.

Upacara selesai, hari sudah larut. Kami tak jadi mandi di Sungai.

 
                       Paca

                   Siakng                                                                   Tari Ganjor

Malam itu kami tidur di rumah Pak Kepala Desa. Setelah mandi dan bersih-bersih, kami makan malam. Menunya adalah rebung, singkong, dan kisot, sejenis keong sawah. Saya tak ambil lauk ayam.

Kami makan malam bersama-sama dengan beberapa penduduk desa. Rumah Pak Kades penuh seperti sedang ada hajatan. Tapi di desa, apalagi yang mereka ajarkan selain kebersamaan? “Desa ini kompak,” bahkan Pak Nasution memuji.

Kami ramai-ramai makan kisot, semacam keong sawah yang menempel di bebatuan. Karena cangkangnya yang kecil, susah untuk mengambil dagingnya. Harus disedot mulutnya, ditiup pantatnya, disedot lagi, tiup lagi, dan ulangi hingga dapat. Mbak Tea dan Teh Ucha tampaknya sudah ahli. Mereka bisa mendapatkan daging kisot hanya dengan sekali sedot. Tak ayal mereka sudah habis satu piring, sementara yang lain menyemangati saya untuk menyedot satu kisot. “Sedot.. cup.. cup.. tiup dulu.. yak cup.. cup..” wajah saya merah kehabisan nafas.

Akhirnya saya menyerah dan ambil ikan gabus. Sluuurp…. Sedaaap… Saat asyik makan, lampu tiba-tiba meredup.
Klap.. klap.. klap….
“lhaaaaaa”
Gelap. Listrik satu kampung mati.

“Di sini ada listrik sehari 3 sampai 4 jam,” kata Emi. Dia adalah koordinator lapang Dayakologi di Tae. Ishak bilang, masalah listrik tak hanya terjadi di desa terpencil. Tapi juga kota Pontianak. Maka setiap rumah memiliki setidaknya satu lampu darurat.

Usai makan kami pergi ke balai desa. Tempatnya tak jauh dari rumah Pak Kades. Di bawah hujan rintik-rintik, kami berjalan dalam gelap.

Di balai desa sudah ada sekitar 20 orang. Mereka adalah warga dari kampung-kampung Desa Tae. Tumenggung Anuk adalah tetua adat. Desa Tae memiliki 8 kampung yang bernama Bangkan, Mak Ijing, Padakng, Peragokng, Maet, Tae, dan Teradak.

“Adil ka’ talino, bacuramin ka’ saruga, basengat ka’ Jubata..” Melkianus Midi, Kepala Desa Tae, membuka dengan salam. Itu adalah bunyi salam pembukaan Suku Dayak di Kalimantan Barat. Artinya harus adil sesama manusia, bercermin kepada hal-hal surgawi, dan mengandalkan Jubata di setiap aspek kehidupan. Jubata adalah sebutan untuk Tuhan.

Satu ruangan menjawab, “Arruuuuss… Arus… Arus…”

Kami berembug untuk menentukan kampung mana yang akan kami kunjungi esok hari. Sebab tak mungkin kami mengunjungi semuanya dalam satu hari. Tempatnya berjauhan. Medannya juga tak mudah. Tapi semua warga kampung, sepertinya berharap tim jurnalis mendatangi kampung mereka.

Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke 3 kampung, yaitu Bangkan, Padakng, dan Peragokng. Pulang dari Balai, kami berkumpul di rumah Pak Kades. Mendengar Tumenggung bercerita hingga larut.

Sejak masuk Desa Tae, saya kehilangan sinyal seluler. Otomatis, ponsel saya hanya berguna untuk mengambil gambar. Di sana, rasanya seperti terputus dari dunia luar.

Tak dicari. Tak terganggu. Begitu lepas.

To be continued