Sepertinya
aku telah diracun. Malam ini aku muntah hebat. Bajuku dilumuri sumpah serapah
yang ke luar bersama ludah. Selama sebulan aku mual-mual. Dan hari ini sesuatu
membuatku menumpahkan segala isi usus. Mungkin karena itu perutku jadi terlihat
ciut, atau rabun mataku sudah bertambah parah. Memikirkan itu membuatku ingin
muntah lagi.
Aku turun
dari kasur yang telah basah oleh ludah dan sumpah serapah. Meraih botol berisi
air mineral dengan merangkak. Muntah ini menguras tenaga. Membuatku lemas dan
nyaris dehidrasi. Aku limbung. Sepertinya aku akan mati. Sepertinya aku akan mati. Sepertinya aku akan mati. Aku bergidik
sambil cepat-cepat berdoa agar tak mati hari ini. Sebab hutang puasaku tahun
ini belum lunas kubayar. Aku tak mau membuat ibuku membayar hutang yang
disebabkan oleh anaknya. Atau siapapun itu. Tapi sepertinya hutang itu tak kan
lunas sebab aku belum memberitahu siapapun bahwa aku punya hutang selama 6
hari. Mungkin nanti aku akan membayarnya dengan darah saja ketika aku masuk ke
neraka. Ah, neraka lagi.
Aku masih
terlalu lemah untuk membersihkan cecer muntahan itu. Maka aku hanya
mengumpulkannya dan kuletakkan di kolong tempat tidur. Baunya amit-amit. Aku
yakin telah diracun. Sebab kalau tidak, mungkin baunya akan wangi. Tapi ini..
Argh.. busuk sekali.
Tahu-tahu
muntahan itu bergerak-gerak dan membuat kasurku berguncang. Aku mengintip ke
bawah tempat tidur dan menemukan seonggok muntahan yang berubah jadi sesuatu.
Mungkin manusia atau hantu, tapi aku tak yakin karena kamar begitu gelap dan
aku tak berani turun untuk menyalakan lampu. Aku takut muntahan itu akan
memakanku sebagaimana ia selama ini ada dalam perutku. Akhirnya aku hanya
melihatnya dalam gelap. Lalu sepertinya aku melihat mulutnya terbuka dan
bergerak-gerak. Aku bisa menebak itu mulut karena aku melihat dia punya gigi
yang terbuat dari emas dan lidah yang menyala merah. Mereka berpendar.
Awalnya aku
hanya melihat dia komat-kamit. Hingga kemudian aku mendengar suaranya yang
mendesis-desis seperti suara ular. “Komunis.. Komunis.. Komunis..” begitu
katanya. Ia mengatakan berulang-ulang dan kata-kata itu memantul ke seluruh
penjuru ruangan membuat gema yang tak beraturan. “Komunis..
Komunis.. Kokomumuninis.. Komukonismunis..”
Aku tidak
tahu apa maksud hantu itu. Tapi karena suara itu menggagalkan usahaku untuk
tidur, maka aku berteriak dalam gelap. Tapi suaraku lenyap ditelan desisan yang
makin lama makin kencang. Aku menjerit makin keras. Tapi sia-sia. Aku malah
mendapati tenggorokanku jadi kering dan haus luar biasa.
Akhirnya aku
menyerah dan memilih untuk menutup telinga dengan bantal. Tapi terlambat. Suara
itu sudah menerobos gendang telingaku dan meluncur ke syaraf-syaraf yang
berhubungan dengan otak. Aku tahu mereka telah sampai ke otak setelah aku
mendengar lagi suara itu dalam diriku sendiri. “Komunis.. Komunis.. Komunis..” Aku
kembali mual-mual seperti sebulan yang lalu. Aku berjanji jika nanti muntah
lagi, aku akan segera membuang muntahan itu.