Namaku Cici. Cici Paramida. Seperti nama penyanyi dangdut
kondang yang naik daun sekitar tahun 90an. Ibu memberiku nama itu karena beliau
adalah penggemar berat si pemilik nama asli Hamidah Idham. Kau percaya? Berarti
kau tertipu. Namaku bukan Cici, aku hanya sering memakai namanya saat aku
bermain rumah-rumahan bersama kawan, dulu. Sebenarnya bukan ibu yang jadi
penggemarnya, tapi aku. Nama asliku Bunga. Bunga Citra Lestari. Kau boleh tidak
percaya, karena aku memang berniat menipumu. hahaha
Panggil aku Bunga. Berjenis kelamin perempuan, dan baru saja
selesai menulis surat perceraian. Bukan, bukan aku yang mau bercerai. Aku cuma wanita
karir yang berjiwa seperti Bob Sadino. Seorang pemilik café, berumur 27 tahun,
single, berpenampilan menarik, pandai memasak, dan jago bikin anak. Jika
berminat, segera lamar ke rumah saya.
Ini adalah surat cerai milik seorang tetanggaku. Heran, dia
yang mau cerai kenapa aku yang repot bikin suratnya. Tak apalah, biar dibilang
setia kawan. Walau sebenarnya aku tidak yakin ini adalah perbuatan mulia yang
seharusnya kulakukan. Dengan menulis ini, aku merasa meluluskan keinginan cerai
dari kedua belah pihak, padahal aku sendiri tidak menginginkan pasangan itu
bercerai. Aku tidak pernah mau melihat perceraian. Siapapun mereka. Kenal atau
tidak.
Tetanggaku ini, sebut saja Rani, menikah dengan Asrul 10
tahun yang lalu. Rani menikah di usia 19 tahun sedang Asrul terpaut 3 tahun di
atas Rani. Di usia yang masih belia itu, menurutku, mereka begitu berani
menjalin komitmen sekali seumur hidup. Barangkali karena mereka sudah pacaran
selama 5 tahun. Jika diakumulasi, kini cinta mereka sudah terjalin selama 15
tahun. Entah setan mana yang membisiki mereka untuk memutuskan bercerai. Padahal
mereka telah ikut serta mensukseskan program keluarga berencana milik
pemerintah dengan menghasilkan dua anak saja.
Diawali dengan Asrul yang ketahuan berselingkuh. Tidak tanggung-tanggung,
selama 10 tahun dalam bahtera rumah tangga, ia sudah selingkuh sebanyak 7 kali.
Asrul memang terkenal suka membaptis dirinya sebagai pecinta wanita. Tapi ya
nggak gitu-gitu amat kali, Srul..
Sedang bagi Rani, Asrul adalah cinta pertamanya. Selama 15
tahun, tak pernah sekalipun Rani mencoba mencari lelaki lain yang lebih
sempurna dari Asrul. Tapi naas, Asrul malah menyia-nyiakan kesetiaan Rani. Usut
punya usut, rupanya Asrul kerap tidak puas dengan pelayanan Rani di rumah.
Menurut
curhatannya, Asrul menilai bahwa Rani sering tidak tanggap dan tidak mandiri. Apa-apa
nunggu ada Asrul, tidak pernah berinisiatif sendiri. Contohnya, Asrul minta
kopi, Rani minta antar beli bubuk. Juga menurut Asrul, Rani sering pilih kasih
terhadap keluarganya. Setiap kali keluarga Rani mengadakan acara, Asrul wajib
datang hingga habis acara. Sedang jika ganti keluarga Asrul yang memiliki
hajatan, Rani selalu minta pulang lebih cepat. Alasannya si kecil rewel. Asrul
sakit hati, kemudian selingkuh.
Coba kita cermati, bisakah masalah sepele seperti itu
menjadi pemicu perselingkuhan? Andaikan bisa, tidakkah Asrul sebelum
berselingkuh mencoba membahas hal ini dengan Rani agar Rani bisa introspeksi
dan menjadi istri seperti harapan Asrul? Jika kenyataannya Asrul tidak pernah
membicarakan hal ini secara baik-baik dengan Rani, artinya Asrul hanya
mencari-cari alasan agar perselingkuhannya menjadi hal yang benar untuk
dilakukan. Lantas, apa alasan Asrul berselingkuh sebenarnya?
Tujuh kali Asrul berselingkuh, baru kali ini sampai ada yang
dinikahi secara sah tanpa sepengetahuan Rani. Ketika Rani tahu, pernikahan
mereka sudah terjalin selama dua tahun dan sudah menghasilkan seorang anak
berumur setahun. Sebagai istri yang merasa sudah baik, tentu Rani begitu sakit
hati mengetahui suaminya berselingkuh diam-diam. Punya anak pula! Hati wanita
mana yang rela?
Asrul yang tertangkap basah memiliki istri lagi hanya bisa
diam saja. Entah merasa bersalah, atau hanya bingung apa yang harus dilakukan
selanjutnya. Aku rasa dia merasakan keduanya. Akhirnya Rani memaksa Asrul untuk
menceraikan Wina, istri simpanannya, jika memang Asrul masih menginginkan rumah
tangga mereka utuh. Asrul menyanggupi, ia berjanji akan segera menceraikan
Wina.
Setelah Asrul menceraikan Wina, keluarga mereka kembali
utuh. Hanya saja, Asrul sudah tidak tampak seperti Asrul yang dulu. Ia sering
murung dan tidak pernah tersenyum. Layaknya seseorang yang dipisahkan jauh dari
kekasih hatinya. Asrul gundah gulana, tidur tak nyenyak, makan tak nafsu. Barangkali
ia rindu pada mantan kekasihnya dan juga pada anaknya. Tapi Asrul tak pernah
mau mengakui, bahwa hatinya sudah terbagi. Bahwa kali ini perselingkuhannya
bukan hanya berlandaskan nafsu, melainkan cinta. Tentu saja hal itu tak akan
terdengar dari bibirnya. Bibirnya terlalu keras kepala untuk mendengarkan hati,
tapi coba kau lihat matanya. Kau akan melihat samudra di sana, sedalam itulah
rindunya yang tak bisa disampaikan.
Empat bulan kemudian, Asrul sudah tampak bugar. Seperti orang
yang baru berhasil move on. Makannya kembali
lahap, tidurnya sepulas bajing saat musim hibernasi. Hari-hari Asrul dan Rani
telah membaik, mereka sering berpergian ke tempat-tempat wisata. Hingga sampai
suatu hari, Rani mendapat kabar dari kakaknya bahwa kakaknya baru saja melihat
Asrul pergi dengan Wina. Seketika itu Rani langsung mengorek informasi lebih
dalam. Dia berlari kesana kemari demi mendapat berita yang akurat. Menangislah ia,
selama ini Asrul berbohong. Ia tak pernah menceraikan Wina.
Sebab itulah akhirnya aku kini menulis surat cerai. Sebenarnya,
aku saat ini sedang menulis dua surat cerai. Surat cerai yang ditujukan Rani
untuk Asrul dan surat cerai yang ditujukan Asrul untuk Wina.
Rani memintaku
untuk membuat dua surat dan meminta Asrul memilih, surat mana yang mau ia tanda
tangani. Sejujurnya, walaupun Rani sudah disakiti sedemikian sangat, ia masih
mengharapkan laki-laki yang menjadi cinta pertamanya itu tetap memilihnya. Tanpa
mempedulikan hati lelakinya yang tinggal separuh, atau bahkan sudah tidak
disisakan untuknya. Bersama Wina, Asrul adalah air. Ia lunak dan sabar menembus
bebatuan untuk tetap mengalir. Tapi bersama Rani, Asrul adalah batu. Ia akan
menghantam jika ada yang menghalangi. Ah, Rani.. tidakkah kau sadar, bahwa
cintamu sudah bertepuk sebelah tangan? Dan kau masih saja tetap memaksa. Bukan berarti
aku membela Asrul, tapi hati sudah terlanjur dipilih, kini tinggal menunggu
untuk dibuatkan jalan ceritanya. Manusia boleh memilih menikahi siapapun, tapi
manusia tidak dapat memutuskan untuk mencintai siapa.
Kau boleh saja benar Rani, untuk bersetia pada komitmen. Komitmenlah
yang melahirkan kompromi. Yang akhirnya membuatmu bertahan dengan perih tak
berkesudahan. Kau tau Rani, sebab itulah aku takut untuk berkomitmen. Aku takut
kepalaku terlalu keras untuk bisa menerima kompromi. Terutama masalah hati.
Lalu bagaimana dengan Asrul? Bolehkah kita menyalahkan
Asrul? Apa salahnya? Dia kan hanya jatuh cinta. Di saat yang tidak tepat. Disitulah
letak kesalahanmu, Srul. Kalau boleh
saran, jika kau jatuh cinta pada dua orang pada saat yang sama, pilihlah yang
kedua, karena jika kamu benar-benar cinta pada yang pertama, kau tidak akan
jatuh pada yang kedua. Mengenai komitmen, sudah terlambat, Srul. Kamu sudah
melanggarnya saat awal kau jatuh cinta pada Wina. Mungkin saat itu kau tidak
pernah berencana untuk mencintai Wina, tapi sangat jelas sekali kau punya
kesempatan untuk tidak menumbuhkan benih cintamu. Jika kamu berat meninggalkan
Rani, maka berlakulah adil pada keduanya, Srul. Jangan menjadi air bagi Wina
lantas menjadi batu bagi Rani.
Kini aku hanya berharap surat cerai ini tidak pernah
ditandatangani oleh siapapun. Semoga kau ikhlas, Ran. Memang mudah berbicara,
tapi berlaku rendah itu memang akan jauh lebih mendamaikan.
manusia boleh memilih menikahi siapapun, tapi manusia tidak dapat memutuskan mencintai siapa.
ReplyDeletecuma Tuhan Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia nya..
Deleteouch.... :D