Perkenalkan nama saya Langit. Baru tiga hari resmi
menyandang gelar sarjana. Saat ini sedang menonton TV. Saya baru saja mendapat
telepon dari pakdhe yang di Surabaya. Pakdhe ingin tahu saya sudah melamar
kerja dimana saja. Sejujurnya, pakdhe sudah sering menanyakan hal yang sama, bahkan
sebelum saya diwisuda. Dan jawaban saya selalu sama seperti sebelum-sebelumnya,
“Belum, Pakdhe.” Sepertinya beliau memiliki obsesi agar saya menjadi pegawai. Bukan
hanya pakdhe, Ibu juga sama. Setiap hari bertanya, “Nggak cari kerja?”
Sebelum saya mengulas lebih lanjut tentang dorongan untuk
mencari kerja dari keluarga saya, sebaiknya saya cerita dulu bahwa berdasarkan
keyakinan kuat saya, saya sudah bekerja. Saya menjadi freelance marketing untuk sebuah CV Tour & Travel dan tengah
merintis Trip & Adventure milik saya sendiri. Perusahaan travel khusus
wisata alam dengan harga kantong backpacker yang sedikit manja (karena backpacker
sejati tidak mungkin memakai jasa travel). Sayangnya, setiap saya pergi “bekerja”,
ibu selalu berkomentar, “mbok ya cari kerjaan itu yang bener!” Mendengar
celetukan ibu, saya diam saja. Saya tidak mengerti dimana letak ketidak-benaran
dari pekerjaan saya, ibu mengatakannya seakan-akan saya melakukan pekerjaan
yang haram.
Menjadi wirausahawan tampaknya dianggap bukan pilihan yang
bijak dalam keluarga saya. Kedua orang tua saya menjadi wirausaha. Bapak adalah
pemborong yang tidak memiliki CV, sedang ibu adalah pembuat kue yang tidak
memiliki toko. Barangkali karena usaha mereka yang tidak begitu sukses akhirnya
mereka menekan saya untuk memiliki pekerjaan yang tetap dan pasti-pasti saja. Tapi
saya merasa enggan. Saya adalah sarjana, mereka bukan. Seharusnya peluang saya
lebih besar untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Seharusnya, peran saya di
masyarakat juga lebih penting dari sekedar menjadi robot suruhan atasan.
Pada sebuah koran harian bertanggal 17 Oktober 2014, saya
menemukan bahwa Indonesia masih jauh dari predikat negara maju. Untuk menjadi negara
maju, setidaknya harus ada 2% wirausaha dari jumlah seluruh warga Indonesia. Saat
ini, yang dimiliki Indonesia hanya sebesar 1,65% dari total penduduk. Angka yang
masih jauh dari ideal dan masih kalah dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Padahal, Indonesia menempati peringkat 5 sebagai negara penyumbang sarjana
terbanyak di dunia.
Sebagai kaum intelektual dan pemuda-pemudi harapan bangsa,
sudah sepantasnya lah masyarakat menaruh harapan lebih pada seorang sarjana. Konon
masyarakat itu berharap pada kaum kami (para sarjana) agar kami mampu
menciptakan keadaan masyarakat yang lebih baik, seperti menciptakan lapangan
pekerjaan. Tapi yang terjadi adalah ketika kami sudah terjun pada kehidupan
yang nyata, kami malah berlomba mencari pekerjaan. Bukannya berpikir kreativ
dan menyalurkan ilmu kepada masyarakat, kami malah sibuk memenuhi kepentingan
pribadi. Fungsi mahasiswa sebagai agen of
change yang dulu diagung-agungkan barangkali sudah beralih makna. Slogan itu
kini hanya menjadi formalitas, hanya jadi embel-embel yang dibanggakan tapi tidak
dikerjakan.
Sialnya, tidak sedikit perusahaan-perusahaan yang
mensyaratkan calon pegawai berpendidikan terakhir sarjana. Bahkan tidak jarang
pula yang mengharuskan memiliki IPK di atas 3,00. Alhasil, kebanyakan entrepreneur yang tercipta di Indonesia
bukan berasal dari kaum berijazah perguruan tinggi. Tidak diterima jadi
pegawai, mereka membuka lapangan pekerjaan. Naas, pegawai yang direkrutnya
adalah para sarjana. Cobalah tengok pengusaha terkenal macam Alm Bob Sadino dan Ibu Susi, menteri eksentrik yang kini ramai diperbincangkan. Adakah beliau tamat SMA? Ijazahnya barangkali tidak terlampir di atas kertas, tapi terlampir di atas pundak jutaan warga Indonesia yang turut kecipratan ilmu-ilmunya. Merekalah the real agen of change.
Maka dengan sangat sadar, saya merasa semakin tidak cocoklah status kaum intelektual disandingkan dengan para sarjana seperti kami. Karena kaum intelektual memakai pemikiran dan kecerdasan untuk meraih sukses, bukan memakai ijazah. Dan karena status agen of change dan kaum intelektual sudah tidak layak disandang, sepertinya masyarakat juga sudah berangsur tidak menaruh harapan lagi kepada kami.
Maka dengan sangat sadar, saya merasa semakin tidak cocoklah status kaum intelektual disandingkan dengan para sarjana seperti kami. Karena kaum intelektual memakai pemikiran dan kecerdasan untuk meraih sukses, bukan memakai ijazah. Dan karena status agen of change dan kaum intelektual sudah tidak layak disandang, sepertinya masyarakat juga sudah berangsur tidak menaruh harapan lagi kepada kami.
Kalau ingin, sebenarnya saya bisa melamar pekerjaan seperti
harapan keluarga. Dengan IPK di atas 3,00 dan tampang standar nasional,
setidaknya saya bisa mendapat pekerjaan di atas level office boy. Tapi apalah artinya saya bekerja jika yang dikejar
hanya semata uang? Jika bekerja hanya semata kerja, kerbau di sawah juga bekerja.
Hidungnya dicocok tali kekang, berbelok kanan kiri sesuai setiran Pak Tani. Apa
bedanya dengan pegawai yang memegang teguh asas ABS, Asal Bos Senang? Berangkat
pagi, pulang malam. Sehari 8 jam bahkan lebih jika harus lembur. Seminggu 6
hari, hanya satu hari libur. Kalau tidak taat bagaimana? Pecat! Kalau tidak mau
dipecat, harus ikut kemana arah tali kekang membawa. Agar Bos Senang.
Saya bukannya ingin ungkang-ungkang kaki saja di rumah, lalu
dianggap meresahkan keluarga karena menjadi sarjana pengangguran. Saya juga
bukan hendak menyelamatkan negara dengan sok berteriak lantang “menolak mencari
kerja” agar memotivasi sarjana lain untuk menjadi entrepreneur. Cita-cita saya sederhana. Tidak tinggi, tapi
setidaknya tidak meresahkan warga karena harus rebutan kursi kepegawaian. Saya hanya
ingin punya pekerjaan sesuai dengan hobi. Hobi saya jalan-jalan. Lalu apa
salahnya kalau saya dibayar karena saya suka bepergian? Gaji saya memang tidak
seberapa, datangnya pun tidak tiap bulan, tapi setidaknya saya sadar bahwa saya
seorang sarjana. Bukan seekor kerbau.
Yang saya sayangkan adalah, saya baru menyadari ini ketika
saya sudah bergelar sarjana. Beruntunglah mereka yang masih berstatus mahasiswa
tapi sudah masuk dalam pemahaman mereka bahwa mereka diharapkan lebih dari seorang
siswa.
-Langit, di bawah atap gerimis-
woowww banget...
ReplyDeleteapalagi jika sarjananya pria, akan lebih kejam celotehan orang sekitar
entahlah, karena saya belum pernah benar-benar menjadi pria walaupun saya merasa berjiwa pria :P
Delete