Riko bercerita
bahwa ia mendaftar untuk mengikuti kelas pelatihan fotografer di laman internet
yang saya lupa namanya. Alamat websitenya fotografer.net kalau tidak salah. Syaratnya
hanya mengisi formulir dan mengirimkan tiga foto bertema human interest, landscape,
dan foto terbaik yang pernah di ambil (saya kecewa foto terbaik itu bukan foto
saya). Peserta yang dipilih hanya lima dari entah berapa ekor umat yang
mengirim CV dan hasil karya.
Dua minggu
kemudian dia mendapat telepon dari seorang wanita yang dikira mau menarik
tagihan pembayaran speedy. Ternyata wanita
itu adalah suruhan Malaikat Mikail yang dikirim untuk memberitahu Riko bahwa ia
terpilih sebagai pemenang dari barangkali jutaan manusia penggila foto yang
mengikuti kontes tersebut. Bagi yang belum tahu, Malaikat Mikail adalah
malaikat yang bertugas membagi rezeki dalam kepercayaan umat Islam. Dan tentu
ini adalah rezeki yang besar.
Setelah mendapat
kabar menggembirakan itu, Riko langsung membaca ulang perihal teknis yang
menyangkut tempat, jadwal, dan hal-hal lainnya yang belum sempat ia baca ketika
dulu mendaftar. Betapa terkejutnya, ternyata masa pelatihan berlangsung selama
dua bulan dan diselenggarakan di Universitas De Rome, Italia. Peserta diambil
dari 17 negara dan masing-masing negara mengirimkan 5 delegasi. Mendapat tiket
pesawat pulang pergi dan biaya hidup selama dua bulan ditanggung penuh. Dengan kata
lain, pelatihan ini gratis seperti udara yang kita hirup. Ah.. saya merinding
saat menuliskan ini.
Sebagai mantan
yang cantik tentu saya ikut senang dan turut bangga. Jika saya jadi Riko, saya
pasti akan segera mengurus hal-hal yang menyangkut pemberangkatan. Passport,
visa, memperdalam bahasa inggris (italia juga dikit-dikit) akan saya peroleh
dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Bagaimanapun caranya. Andaikan saya jadi
Riko…
Tapi Riko
tidak seantusias saya yang cuma jadi penonton. Riko bertanya, mau dapat uang
darimana untuk sangu? Ia bingung bagaimana mendapat uang untuk mengurus passport
dan visa. Perekonomian keluarga yang tidak memungkinkan memaksanya mencari dana
sendiri untuk pegangan saat nanti di negeri orang. Selain itu, ia juga tidak
percaya diri dengan bahasa inggrisnya yang tidak lancar dan mungkin takut tidak
sanggup beradaptasi di sana. Lima hari terlewati sejak mendapat kabar dari
wanita misterius itu, dan ia belum mengambil tindakan.
Saya jadi teringat
dengan tulisan guru besar Universitas Indonesia, Rhenald Kasali. Menurut beliau,
hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi
kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula mulai bertanya
uangnya darimana, maka hampir pasti jawabannya adalah tidak ada uang, tidak
bisa, dan tidak mungkin. Padahal dunia yang terbuka bisa menawarkan sejuta
kesempatan untuk maju.
Beruntunglah
pertanyaan seperti itu tak pernah ada dalam kepala pelancong, diantaranya
adalah mahasiswa yang menyebut diri mereka kelompok backpacker. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan murah. Menggendong
ransel butut dan bersandal jepit, yang jika kekurangan uang akan bekerja
sebagai tukang cuci piring. Mereka yang tak punya ongkos pulang akan rela nggandol di bagian belakang truk. Tapi sangat
jelas pengetahuan, wawasan, dan kedewasaan mereka adalah apa-apa yang belum pernah
kita bayangkan. Selain kaya teori, mata mereka juga tajam mengendus peluang dan
memiliki rasa percaya diri tinggi.
Untuk masalah
bahasa dan hidup, kita tidak akan pernah bisa fasih berbahasa manapun jika
tidak pernah bercakap dan hidup bersama si pemilik bahasa. Lihat saja TKW yang
pendidikannya lebih rendah dari mahasiswa, bahasa inggrisnya sudah jauh
melampaui dosen. Sebelum mereka bisa lancar menggunakan bahasa inggris, tentu
bahasa tubuh dan isyarat menjadi alat komunikasi. Toh mereka tetap hidup dan
akhirnya lancar sendiri.
Pergi keluar
negeri sebenarnya tidak jauh beda seperti ketika kita akan pergi mandi. Kita tidak
perlu berpikir apakah di dalam sana sudah tersedia sabun, odol, dan shampoo. Kita
hanya perlu masuk dan melihatnya. Jika tidak ada, ya sudah mandi saja. Yang penting
basah dulu. Nanti kalau mau mandi lagi, kita bisa tahu harus membawa apa. Apabila
kita terlalu takut tidak menemukan sabun, odol, dan shampoo, lalu kapan kita
tahu rasanya mandi?
Alm. Bob
Sadino pun pernah berkelakar bahwa orang bodoh biasanya lebih berani dibanding
orang pintar, kenapa? Karena orang bodoh sering tidak berpikir panjang atau
banyak pertimbangan. Dia nothing to lose. Sebaliknya, orang pintar terlalu
banyak pertimbangan. Orang yang terlalu banyak berpikir akan berat melangkah. Dan
kebanyakan hanya berakhir diam di tempat.
Barangkali Riko
memiliki penilaian bahwa ini hanyalah sebuah pelatihan biasa yang tak
menjanjikan apa-apa ketika usai. Tapi pergi ke Italia untuk mengikuti pelatihan
selama dua bulan secara gratis tentu bukan hal biasa bagi orang yang haus
melihat dunia. Anggaplah pelatihan ini tidak turut andil membentuk visi
seseorang, mereka hanyalah perantara. Tapi cobalah lihat besar peluang yang
bisa didapatkan melalui pintu ini. Memasuki sebuah pintu tak lantas
mempertemukan kita pada sebuah jalan buntu. Cakrawala tak sesempit itu.
Rik, kita
sama-sama belum pernah ke Italia. Aku mengamini bahwa uang bisa dicari, tapi
kesempatan tak pernah berjanji untuk datang berkali-kali. Semoga kamu akan
berani pergi ke Itali seperti kamu begitu santai masuk kamar mandi.
No comments:
Post a Comment