Sebelum ingatan saya memudar, ijinkan saya menyusun kembali memori yang kini tinggal serpihnya. Masih tentang kehidupan yang barangkali sudah jemu kau baca. Maka agar kita bisa bersama-sama segera membuat cerita dengan genre yang baru, saya akan mengabarkan berita ini dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Sesingkat pidato proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dirayakan tepat pada dua hari yang lalu.
***
Akhir Juni
saya masih ada di Jakarta. Siang itu saya hendak pergi ke Salihara untuk mengikuti
piknik sastra bersama Ayu Utami. Sebelum pergi ke Salihara yang berada di
Jakarta Selatan, saya mampir dulu ke stasiun Jatinegara untuk membeli tiket
mudik. Berkat bujuk rayu orang tua, saya setuju untuk pulang saat lebaran.
Dengan catatan saya akan kembali lagi ke Jakarta usai hari raya.
Saya
berencana pulang tanggal 7 Juli, H-10 idul fitri. Tiket sudah ditangan ketika
saya menunggu commuter line jurusan Pasar Minggu, menuju
Salihara. Ketika menunggu itu saya mendapat sms dari Tempo yang memberitakan bahwa
saya lolos interview ke tahap selanjutnya. Saya terkejut. Sebab sangat jelas
bahwa di pengumuman beberapa hari yang lalu nama saya tidak tertera di sana.
Saya balas sms itu untuk memastikan kebenaran berita itu. Ternyata saya memang
lolos. Pihak Tempo meminta maaf karena telah selip tidak memasukkan nama saya
ke daftar hasil seleksi.
Beruntung
wawancara panel dilakukan sebelum tanggal kepulangan saya. Setelah wawancara
panel, masih ada dua tes lagi. Saya tetap pulang sesuai jadwal karena
pelaksanaan tes dilakukan setelah lebaran. Bagi yang lolos.
Tanggal 10
Juli saya sudah berada di rumah ketika saya mendapat telepon dari Tempo. Saya
lolos untuk kemudian mengikuti tes toefl tanggal 27 Juli. Akhirnya saya
berangkat lagi ke Jakarta tanggal 24 Juli.
Tes toefl
yang bertempat di British Institute dihadiri oleh 41 orang. Menurut kabar,
hanya 20 orang yang akan diambil hingga akhir. Seminggu lebih kami menunggu
kabar dari Tempo yang tak kunjung ada.
Saya sedikit
pesimis. Sebab saat tes banyak nomer yang tidak benar-benar saya pikirkan.
Apalagi soal listening. Saya seperti sedang mendengarkan orang yang bicara
sambil berkumur.
Seminggu
menunggu saya putuskan untuk membuat rencana lain. Selain menunggu keputusan Tempo, saya juga menunggu panggilan dari media-media lain. Ada belasan media yang saya kirimi lamaran. Majalah Kartini, Geotimes, Magazine, Suara.com, Kontan, Gramedia, dan media lain di Jakarta. Saya juga mendaftar Jelajah 1000 Jurnalis dan Sail Tomini 2015.
Kali itu mental saya lebih
siap dengan apapun yang akan terjadi. Saya datang ke Jakarta Kota pada suatu
hari. Saat itu saya teringat pada novel berjudul From Batavia with Love yang saya
baca saat SMA. Dari novel itu saya terinspirasi untuk membuat novel fiksi
sejarah. Lantas saya mengunjungi museum-museum yang berada di Kota Tua untuk
melakukan riset. Tak harus jadi wartawan untuk jadi seorang penulis.
Hari-hari
selanjutnya, saya menyibukkan diri dengan mengikuti diskusi di Yayasan Pantau,
briefing media di Hotel Century, serta aksi Kamisan di Monas yang
diselenggarakan KontraS. Setelah meliput demonstrasi penolakan rekonsiliasi di
gedung Kejaksaan Agung bulan lalu, saya tertarik juga menjadi aktivis Hak Asasi
Manusia. Kebetulan saya kenal dengan salah satu anggota KontraS. Saya ditawari
untuk menjadi relawan LSM tersebut.
Ketika saya
beritahu Ibu perihal keinginan saya bergabung dengan KontraS, Ibu menolak
terang-terangan. Beliau takut nasib saya akan sama seperti Munir. Tapi saya
berkeras bahwa saya ingin bekerja untuk kemanusiaan. Masalah hidup dan mati
sudah ada yang mengatur.
Tapi niat
saya untuk menjadi relawan Hak Asasi Manusia harus diurungkan. Sore saat saya
mengikuti aksi kamisan di Monas itu saya mendapat telepon dari Tempo bahwa saya
lolos dan harus melakukan tes kesehatan keesokan harinya. Hanya ada 15 orang
yang lolos rupanya.
Hasil tes
kesehatan akan diumumkan setelah tiga hari kerja. Jika lolos, saya bisa tanda
tangan kontrak dengan Tempo pada tanggal 24 Agustus. Dua minggu lagi. Saya
putuskan untuk pulang dan menunggu di rumah. Dua hari berada di rumah, saya
dinyatakan bisa bergabung dengan Tempo dan tanggal 24 Agustus dihitung sebagai
hari pertama kerja.
***
Saya memang
sengaja menyembunyikan berita ini hingga akhir. Bukan apa-apa, saya hanya tidak
mau mengecewakan penggemar untuk kesekian kalinya. Hahaha.
Tapi saya
tetap tidak melupakan orang-orang yang selama ini berdiri di samping saya. Memapah
dan mendorong agar saya segera bangkit. Kepada mereka, sungguh terima kasih
yang tak ada habisnya. Akhirnya saya mendapatkan tiket itu. Sebuah tiket yang
akan mengantar saya menuju apa yang mereka sebut cita-cita. Memang ini hanya
sebuah pencapaian kecil, tapi tidak akan mampu saya raih tanpa adanya kamu.
Iya, kamu. Kamu semua.
Untuk
selanjutnya..
Biarlah, biarlah
perjuanganku menjadi kebisuan dan nanti keberhasilanku yang akan menjadi berisik.