Aku baru
saja selesai menggoreng pisang ketika pintu depan rumah membuka. Seorang bocah
laki-laki tau-tau menyeruak masuk tanpa mengucap salam. Bocah laki-laki yang
lebih tinggi ikut masuk sambil menenteng koper-koper besar dan masuk ke dalam
kamar. Ada seorang bocah lagi yang tingginya hampir mencapai bagian atas pintu,
hanya senyum-senyum sambil tangannya meraih tanganku untuk disalami. Penampilan
bocah yang satu ini sangat berbeda dengan kedua adiknya. Memakai seragam taruna
lengkap dengan bet-bet besi di lengan dan bahu, serta topi khas polisi yang
menutupi mata, tak ketinggalan sepatu fantofel hitam yang saking mengkilatnya
membuatku curiga jangan-jangan aku bisa bercermin pada sepatu itu. Seorang wanita
memakai baju krem dengan kerudung panjang mencapai perut masuk membawa tas-tas
kresek besar. Dibelakangnya, seorang laki-laki berusia sekitar 50 tahun ikut
masuk ke dalam rumah kecil itu. Tamu yang membuat Mbah Uti repot memasak
seharian ini telah tiba. Satu-satunya anak lelaki Mbah Uti dari empat
bersaudara. Aku memanggilnya Pakdhe Wiwit. Wanita dan tiga bocah lelaki
jangkung tadi adalah istri dan hasil karyanya.
Naufal atau
Nau, anak Pakdhe yang pertama berhasil lolos di seleksi penerimaan Loka Pengembangan
dan Penelitian Penerbangan Banyuwangi (LP3B). Tinggal selangkah lagi, cita-cita
masa kecilnya untuk menjadi pilot akan segera terwujud. Sore itu Pakdhe dan
Budhe hendak mengantar Naufal kembali ke sekolahnya setelah libur panjang. Tak
ketinggalan dua adik kecilnya turut mengantar kakak kebanggaan untuk menempa
ilmu di tanah kelahiran Papanya. Sebelum mengantar putranya kembali menempa
pendidikan, Pakdhe dan keluarganya berniat menginap dulu di rumah Mbah Uti.
Aura
kebanggaan dan haru yang tak habis-habis sangat kentara keluar dari keluarga
itu. Sebagai saudara sekakek-nenek, tentu saja rasa itu juga menular padaku. Siapa
yang tidak bangga mempunyai sepupu yang berprofesi pilot? Sementara di luar
sana banyak pesawat yang hilang atau jatuh. Dan saat aku menulis ini, pesawat
AirAsia yang membawa 160 penumpang dari Surabaya menuju Singapura baru saja
jatuh ke laut dan tidak ada yang selamat sementara MH730 yang hilang beberapa
bulan lalu masih belum ditemukan. Melihat semua tragedi itu, sepupuku tak
gentar dengan resiko besar yang harus ditanggung demi cita-cita masa kecilnya. Setiap
pekerjaan pasti memiliki resiko, dan perihal nyawa selamanya milik Tuhan adalah
harga mati. Oh, sungguh mulia anak itu.
Malam itu
kita kedatangan tamu lain dari Jakarta. Teman-teman Nau sesama Taruna di LP3B.
Namanya Gilang dan Yudis. Yudis berumur 16 tahun ketika lulus SMA tahun lalu. Dia
siswa cerdas berprestasi dan menjadi salah satu siswa akselerasi. Sama seperti
Nau yang berambisi menjadi pilot, dia langsung fokus pada satu tujuan tanpa
menoleh kiri kanan. Tidak ada alternatif pilihan andai mereka tidak diterima
sebagai taruna di LP3B. Walaupun sempat gagal masuk di sekolah penerbangan di
Jakarta, optimisme tinggi menuntun mereka menuju apa yang mereka impikan sedari
cilik. Barangkali jawaban asal mereka dulu saat ditanya “kalau besar mau jadi
apa?” adalah jawaban yang konsisten sehingga berakhir menjadi doa yang tak
sengaja dirapal. Doa itu kini terkabul.
Gilang
berumur 22 tahun. Dia baru saja lulus kuliah. Dari kecil dia sudah kepingin
jadi pilot, tapi tidak direstui oleh Mamanya. Keluar SMA, Gilang dipaksa kuliah
ekonomi di salah satu perguruan tinggi negeri. Barangkali karena tidak ingin
dikutuk jadi batu, Gilang menurut. Empat tahun dia bertahan untuk menjadi anak
yang patuh terhadap orang tua. Masa yang dinanti-nantipun tiba. Gilang lulus
tepat waktu. Seketika ijazahnya dia persembahkan kepada mama tercinta sambil
meminta restu,”Ma, ini ijazah yang mama pingin. Sekarang ijinin Gilang untuk
kejar mimpi Gilang jadi pilot.” Terdamparlah ia kini di sekolah penerbangan
yang sama dengan sepupuku.
Malam itu
Pakdhe dan Budhe tak henti-hentinya bercerita bagaimana putra terbesarnya
ditempa sedemikian keras hingga sikapnya yang dulu manja dan ketergantungan kini
sudah terpangkas habis. Mulai dari memanggang badan di atas aspal panas,
mengepel dengan mulut, berendam di laut selama 15 jam, hingga minum darah dan
makan daging ular tak bosannya mereka ulang pada setiap orang yang bertandang. Aku
turut menikmati serpihan cerita yang bisa kupastikan kelak tak akan pernah
dilupakan bocah yang tingginya hampir 2 meter itu.
Kabar gembira
tak hanya datang dari keluarga kakak Ibuku itu. Aldhy, adik pertamaku baru saja
memenangkan lomba desain banner yang diselenggarakan UBI beberapa hari yang
lalu. Akhirnya.. hobi menggambarnya mulai tersalurkan. Aldhy suka menggambar
dari kecil, saat SMP dia sering diminta membuat desain untuk dekorasi
acara-acara di sekolahnya. Lulus SMP dia tidak mau bersekolah di SMA, dia
meminta masuk SMK agar dia bisa belajar desain grafis lebih intim. Pilihan tepat.
Sebagai kakak yang menyebalkan aku tidak bisa untuk tidak ikut terharu. Adik
kecilku sudah menemukan jalan hidupnya. Ah, anak pendiam itu.. diam-diam
membanggakan.
Beruntungnya
anak-anak itu. Mereka yang berani bermimpi besar, lantas tak larut dalam tidur
untuk menikmati mimpinya. Mereka segera bangun untuk merapalnya sebelum realita
membuat mereka lupa pada mimpi semalam. Dan kemudian membuat mimpi itu
menjadi nyata.
Selamat Menjadi :
K
No comments:
Post a Comment