Cangar, 18
April 2014
Sebelum
berangkat kita semua berdoa kepada Tuhan agar diberi keselamatan dan kelancaran
dalam perjalanan. Hari ini kita akan masuk hutan, tempat yang bukan rumah kita
sendiri. Sama halnya ketika kita berkunjung ke rumah orang, ada banyak hal yang
harus diperhatikan. Selalu rendah hati dan meminta ijin kalau hendak
meninggalkan hajat. Tidak semaunya sendiri dan melakukan hal-hal yang tidak
disukai orang lain. Don’t forget, this is
the jungle !
to be continued...
#part 1: Menuju 3676 mdpl
#part 2: Terpisah
#part 3: Menggelandang Malang
#part 4: Menjalankan Rencana B
#part 5: Terlelap di Ujung Ladang
#part 6: Mendaki Gunung
#part 7: Badai Pasti Berlalu
#part 8: Di Dalam Awan
#part 9: Hal yang Wajib Dilakukan ketika Naik Gunung
10 meter
dari tempat pemberangkatan kita
*Thunder
light*
CETTAAAAAAARR……GLUDUG..GLUDUG..
Kita dilepas
dengan petir yang menggelegar.
Ketika kami
berangkat saat itu sudah hampir maghrib. Bapak penjaga pos meyarankan agar kami
menginap dulu di pos baru besok paginya berangkat. Tapi kami tetap ngeyel berangkat saat itu juga. Takut
kehabisan waktu. Kata Mas Penceng kita nanti akan menginap di ujung ladang.
Kami melewati
ladang penduduk. Jalannya licin dan mulai gelap. Aku dan kawan-kawan yang
membawa senter menyalakan senter kami. Senterku dibawa Icham karena dia berada
di depanku dan dia tidak memegang senter. Aku sering terjatuh karena cahaya
terhalang oleh postur tubuh Icham yang tinggi.
Walaupun
masih permulaan, sebagian dari kami yang tidak pernah naik gunung dan jarang
olahraga sudah ngos-ngosan. Semakin lama jalannya semakin menanjak. Tiap ada
lahan yang luas, kita berhenti untuk beristirahat. Saat berada di depan
bangunan yang tampaknya gudang, tiba-tiba Icham bilang,”Eh, aku tadi di jalan
bau melati loh.” Kemudian yang lain tiba-tiba ikutan bercerita hal-hal yang
membuatku merinding. Huuush… sudah cukup! Ayo jalan lagi.
Beberapa
meter sebelum ujung ladang, kubangan air di jalan setapak membuat kita harus
menepi ke pinggiran sawah. Aku saat itu berada tepat di depan Alit. Jujur saja
keseimbanganku memang parah. Aku mencoba menggapai-gapai rerumputan tinggi untuk
kujadikan pegangan. Alit berusaha membantuku. Dia memegang sambil mendorong
tubuhku ke depan. Bukannya tertolong aku malah kehilangan keseimbangan. “Jangan
didorong!” aku berseru sambil melepaskan pegangan tangan Alit dari tanganku. Dia
terhempas dan kakinya terjatuh ke dalam kubangan. Sepatunya penuh dengan
lumpur. Dia menggerutu keras-keras. Aku tidak berani melihatnya. Tapi aku
benar-benar menyesal saat itu.
Sampai di
ujung ladang, laki-laki segera mendirikan tenda, sedangkan yang perempuan
memasak nasi dan membuat sup. Sambil menunggu nasi matang, aku membersihkan
kakiku. Kulihat Alit sedang membersihkan sepatunya. Aku berniat membantu. “Nggak
usah!” tolaknya. Sepertinya dia marah. Sepanjang malam itu dia tidak mau
menyapaku.
Selesai
makan malam, kami masuk ke tenda masing-masing. Kami mendirikan tiga tenda. Satu
tenda untuk enam orang, dan dua tenda masing-masing empat orang. Nenek, Icham,
Fian, dan Wisnu berada dalam satu tenda. Malam itu aku, Fani, dan Cepi berada
dalam satu tenda. Kami hanya bertiga, sedangkan delapan orang yang lain berada
dalam tenda yang paling besar.
Malam itu
aku merasa kedinginan sekali. Mungkin karena belum terbiasa. Selain
keseimbanganku yang loyo, kemampuan adaptasiku memang lemah. Aku tidak kuat
udara dingin. Ditambah lagi dengan sedikitnya orang di dalam tendaku. Luasnya rongga
kosong yang diisi dengan udara dingin membuat gigiku semakin bergemeletuk. Aku
menggigil luar biasa. Dadaku sesak. Aku tidak bisa berbaring. Akhirnya aku
duduk dan memeluk kakiku yang berada di dalam sleeping bag.
Tiba-tiba
ada yang membuka pintu tenda. Alit muncul di depanku,“Heh, kamu kenapa?”
Aku hanya
diam. Masih menggigil. Kulihat dia memakai jas hujan. “Kamu mau pakai jas hujan
juga? Anget lo,” dia menawarkan. Aku menggeleng, tapi dia memaksa. Akhirnya aku
mengambil jas hujanku. “Cep, kamu dingin
juga Cep? Ini pake jas hujanku!” Dia memberikan jas hujannya kepada Cepi. Aku
tau dia tidak membawa sleeping bag. Sleeping bag yang dibawanya dipinjamkan
kepada Nenek. Dan sekarang dia mau memberikan satu-satunya yang membuatnya
hangat kepada orang lain. Ya, dia memang baik. Tapi aku benci dia melakukannya.
Aku benci melihatnya berkorban untuk hal-hal yang tidak perlu. Untuk sleeping bag? Oke itu perlu. Untuk jas
hujan? Oh, ayolah.. kita semua yang ada di situ membawa jas hujan. Jadi kenapa
dia tidak menawarkan untuk mengambilkan jas hujan didalam tas daripada harus
meminjamkan jas hujan miliknya? Ah, sudahlah.. Aku mau istirahat saja.
Keesokan
harinya, aku bangun ketika matahari sudah benar-benar muncul. Mungkin jam
setengah enam pagi aku keluar dari tenda. Kulihat tenda paling besar yang
berada di depan tendaku. Ada dua manusia yang tidur di depannya, satu berada di
sleeping bag, itu Gosong. Satu lagi
hanya melungker dengan jaket
gunungnya, Alit. Aku semakin kesal kepadanya. Kenapa semalam dia tidak mau
masuk ke tendaku? Padahal dia tahu banyak ruang kosong di dalamnya. Entahlah,
aku juga tidak paham kenapa dia hobi sekali menyakiti diri sendiri.
Pagi itu
kami segera membongkar tenda karena tanah tempat kami tidur semalam adalah
jalan yang digunakan petani Cangar berlalu lalang. Tepat di bawah lahan kami
berkemah terdapat sumber air. Beberapa turun ke bawah untuk memenuhi isi
jurigen yang sudah berkurang. Sambil menunggu para lelaki berkemas, aku dan
Cepi memasak nasi. Karena waktu yang mepet, menu pagi hari ini adalah nasi
putih, sambal goreng tempe, dan telur asin.
Ayo ndang dibongkar, gae lewat pak tani iki dalane rek.. |
maen masak-masakan yok Cep.. |
tada... our breakfeast !!! |
Perjalanan
kita masih panjang. Kita harus cepat-cepat berangkat agar tidak kemalaman. Aku
tidak mau mendengarkan Icham atau siapapun bercerita kalau baru saja mencium
aroma-aroma ganjil bahkan melihat sesuatu yang tidak diinginkan. Lebih dari
itu, perjalanan malam hari memang tidak aman.
Jam 09.30
kami selesai berkemas dan siap menuju ke tempat pengungsian selanjutnya, Lembah
Kembar. Tampaknya kulkas carrier yang dibawa oleh Mamel luar biasa
beratnya. Dia tidak mampu berdiri tanpa bantuan dari yang lain. Akhirnya dia
meminta pembalut kepada Nenek untuk diletakkan di atas bahunya. Hehe kasian
sekali.
Kanan : Mamel dan carrier kulkasnya. Kiri : memasang pembalut
to be continued...
#part 1: Menuju 3676 mdpl
#part 2: Terpisah
#part 3: Menggelandang Malang
#part 4: Menjalankan Rencana B
#part 5: Terlelap di Ujung Ladang
#part 6: Mendaki Gunung
#part 7: Badai Pasti Berlalu
#part 8: Di Dalam Awan
#part 9: Hal yang Wajib Dilakukan ketika Naik Gunung
No comments:
Post a Comment