sumber: google |
Jam sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB, Maria masih setia
melaju motornya meski sudah berjam-jam dihabiskannya untuk mencari sebuah
alamat. Tak ada alamat pasti, hanya sebuah nama. Satu demi satu rumah-rumah di
desa itu dikunjunginya. Untuk menanyakan alamat rumah dari seseorang yang dia bahkan
tak tahu rupanya.
Ingatannya kembali pada 18 tahun yang lalu. Umurnya 4 tahun.
Maria gadis cilik yang centil dan manja. Rambutnya ikal nan lebat, kulitnya
putih, matanya sipit. Membuat siapapun yang melihat ingin mencubit pipinya yang
berlesung. Bibir mungilnya tak pernah berhenti bicara. Cerewet dan cengeng,
begitu kata tetangga yang sering dititipi dia.
Ibunya bekerja sebagai sales kosmetik, tidak mungkin
membawanya keliling kampung untuk menawarkan produk. Akhirnya dia harus
dititip-titipkan pada tetangga-tetangga yang sedang nganggur. Bahkan tak jarang
dia dititipkan di pangkalan becak dekat rumah. Seringkali dia diajak ikut ke
rumah tukang-tukang becak itu jika waktu mbecak
telah usai. Beruntung, Maria kecil tak pernah rewel tiap ditinggal ibunya, dan ia
mau diajak siapa saja. Lepas dari semua tingkah kanaknya, dia hanya seorang
gadis kecil biasa, yang memiliki hutan rindu pada ayah yang tak kunjung pulang.
Sejak kecil, Maria dan ibunya tinggal bersama kakek dan
neneknya. Kakeknya lah yang berperan sebagai ayah selama ayahnya pergi. Maria
memanggilnya Mbah kung. Hingga sampai kelas 2 SD nanti, Mbah kung lah yang
selalu mengantar Maria sekolah, les, bahkan mengaji. Cuma Mbah kung yang bisa mengajari
Maria bandel bahasa jawa yang begitu susah. Sayang sekali Mbah kung tutup usia
saat Maria kelas 6 SD.
Maria tidak pernah tahu pasti kemana perginya ayah. Ketika ditanya,
ibunya selalu bilang kalau ayahnya pergi bekerja di tempat yang jauh. Maria tidak
punya ide lain selain menerima cerita dari ibunya. Dia pun tidak pernah
menghitung sudah berapa lama sang ayah pergi. Tentu saja, karena dia belum bisa
berhitung kala itu.
Tapi hutan rindu itu semakin lebat, sungainya mengalir
deras, dan lautnya berdebur. Sangat kuat seperti kehidupan. Lalu tibalah hari
itu, dimana Maria mulai berinisiatif untuk menjemput ayahnya. Tapi dimana dia
bisa bertemu? Hanya ada satu tempat yang bisa dipikirkan Maria saat itu.
Terminal. Disitulah pemberhentian pertama orang-orang dari berpergian jauh.
Sejak hari itu, setiap sore Maria mengajak Mbah kung pergi
ke terminal. Untuk menjemput ayah yang bahkan dia tidak tahu akan menaiki bus
yang mana. Untuk menunggu ayah yang bahkan dia tidak tahu apakah akan pulang
atau tidak. Tapi dia tidak peduli. Dia terus rutin pergi ke terminal untuk
menjemput ayah tersayang.
Jantungnya berdegup setiap melihat ada bus yang datang. Posisinya
siaga, siap-siap berlari jika ada orang yang dinantinya turun dari bus. Diamati
satu-persatu orang yang turun. Hingga sampai orang terakhir yang turun bukan
laki-laki yang dicarinya, dia akan kembali duduk. Kembali menunggu bus
selanjutnya. Begitu seterusnya.
“Ndug, ayo pulang.. sudah sore”
“Bentar Mbah kung, satuuuu lagi”
Begitulah jawabannya setiap kali Mbah kung mengajaknya untuk kembali ke rumah. Dia tidak pernah ingin pulang. Kalau boleh, hingga bus terakhir yang datang hari itu ia rela menunggu. Untuk bertemu dengan ayah tercinta.
Hingga belasan tahun kemudian, barulah ia tahu bahwa Mbah
kung selalu meneteskan air mata tiap mengantarnya ke terminal. Hatinya tersayat
melihat cucunya dikecewakan oleh ketidaktahuan. Ah, anak kecil itu.. apa dia akan mengerti pembicaraan orang dewasa? Tentu
tidak. Maka biarlah Mbah kungmu ini menurutimu agar kau senang. Agar kau merasa
sudah berusaha untuk mencari. Agar kau tidak menangis karena tidak bisa bertemu
bapakmu. Apalagi yang bisa dilakukan orang renta yang begitu sayang padamu ini,
nak? Kau begitu membuat iba.
Berbeda dengan Maria kecil, Maria dewasa sudah tahu mau
kemana. Dia sudah bisa bertindak. Tidak hanya menunggu bus-bus yang belum tentu
ditumpangi oleh ayahnya. Tidak perlu mengajak Mbah kungnya untuk menjemput
ayahnya.
Kalau Mbah kung masih hidup, barangkali Mbah kung akan tetap
diam. Melakukan apapun untuk menyenangkan cucu kesayangan. Tapi gadis ini sudah
mengerti pembicaraan orang dewasa. Ibunya sudah mau bercerita. Maka kali ini ia
pergi sendirian untuk menjemput sang ayah.
Melalui seorang lelaki renta, akhirnya tibalah ia di alamat
yang dicarinya. Sebuah rumah besar dipinggir jalan dengan sebuah toko kecil
yang menjorok ke belakang di samping rumahnya. Maria ragu. Ia menunggu di luar
pagar. Bukan ragu karena takut salah alamat, lebih karena ragu akan kesiapannya
untuk memaafkan. Hingga satu jam lamanya ia hanya berdiri di depan pagar. Hei, kemana Maria yang dulu begitu antusias
ingin bertemu dengan bapaknya? Sekarang kau hanya terhalang pintu, bukan
bus-bus yang tak jelas membawa siapa. Masuklah, Maria. Masuklah. Temui bapakmu.
Jantungnya berdegup lebih kencang daripada saat ia menunggu
di terminal. Inilah saatnya. Tidak lama lagi matanya akan menangkap kejujuran. Kejujuran
yang barangkali tak bisa dibenarkan, sekaligus sia-sia jika disalahkan.
Tiba-tiba ada yang muncul dari dalam. Seorang wanita berusia
sekitar 45 tahun memakai setelan T-shirt putih dan celana jeans di atas lutut
membuka pintu rumah. Rambut lurusnya dikuncir seadanya.
“Bapak saya ada?” tanya Maria.
“Kamu Maria?” dia terperangah. Tidak menyangka akan kedatangan tamu yang barangkali tak pernah diharapkan. Lalu muncul seorang laki-laki dari belakang. Tingginya sekitar 170 cm, kepalanya gundul tapi kumisnya lebat. Ditangannya ada seorang bocah laki-laki berumur 2 tahun bergelayut manja. Rambutnya ikal seperti rambut Maria, bibirnya tipis. Itu bibir Maria. Juga bibir ayah mereka berdua yang sedang menggendong si bocah laki-laki.
“Kamu Maria?” dia terperangah. Tidak menyangka akan kedatangan tamu yang barangkali tak pernah diharapkan. Lalu muncul seorang laki-laki dari belakang. Tingginya sekitar 170 cm, kepalanya gundul tapi kumisnya lebat. Ditangannya ada seorang bocah laki-laki berumur 2 tahun bergelayut manja. Rambutnya ikal seperti rambut Maria, bibirnya tipis. Itu bibir Maria. Juga bibir ayah mereka berdua yang sedang menggendong si bocah laki-laki.
Maria berdiri di ambang pintu. Tidak mengucap apapun. Diam mematung
dan menerima kejujuran. Andai yang berada di ambang pintu ini adalah Maria
kecil, tentu tidak akan sesulit ini. Dia pasti akan riang memanggil-manggil
nama bapaknya dengan segala keterbatasan pengetahuan. Bagaimanapun pahitnya
pengetahuan itu, Maria kecil tidak akan mengerti. Dia tidak punya kehendak
untuk merasa perlu memaafkan.
No comments:
Post a Comment