“Tulis.” Kata Wisnu dalam sebuah chatt BBM suatu sore. Sebuah kata yang bisa menjadi kata benda bila
disisipi akhiran –an dan berubah menjadi kata kerja bila diberi awalan me-.
Sebuah kata yang sudah lama kutinggalkan namun tak pernah kulupakan.
Ada semacam luapan euforia dalam otakku ketika aku mulai
berniat menulis lagi. Rasanya otakku ingin memuntahkan semua imajinasi yang
selama ini disumpal kesibukan dan keengganan yang cukup lama. Sebenarnya, selalu
ada jeda yang berpola sama untuk (mungkin bisa disebut hobi) gaya menulisku
ini. “Dasar penulis musiman!” Demikianlah Alit mengolokku. Yang kuterima dengan
ikhlas karena memang begitulah adanya. Tapi aku punya istilah yang lebih halus,
titik jenuh. Setiap orang pasti punya kukira.
Penulis dengan banyak titik jenuh sepertiku hanya akan
menulis dalam tiga musim. Pertama, ketika aku sedang sakit hati. Jangan
identikkan sakit hati dengan pikiran yang galau. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) galau berarti pikiran yang kacau tidak karuan, sedang sakit
hati berarti hati yang tidak sehat. Itu sangat berbeda, kawan. Galau hanya
terjadi ketika ada sesuatu yang sulit diputuskan oleh otak dan mengakibatkan
stress, macet pikir, dan rawan obesitas. Loh? Karena galau menghabiskan banyak
energi dan glukosa yang menyebabkan rasa lapar berkepanjangan. Setidaknya itu
yang kualami.
Sedang sakit hati mengakibatkan dada sesak, mata bengkak,
nafsu makan turun, dan pikiran nyalang. Sakit hati karena tidak bisa memiliki,
memaksaku berimajinasi untuk memiliki. Dan saat aku menuliskan ini, hanya seseorang dari langitlah yang mendominasi alam sadar hingga alam tak sadarku. Sebut saja Bunga. Sialan! Ketika tidur
yang kukira akan membebaskanku dari rindu, dia suka datang dengan jumawa. Seakan
tak rela jika aku tidak merindukannya barang sedetik. Aku memang kerap mengarunginya
meski ia mengurangiku. Mungkin itu sebab Tuhan mengurung niat mengarang kisah
kami. Begitu yang dikatakan Dewi pada sebuah status BBMnya.
Rindu merupakan sebuah bentuk rasa sakit pada hati. Hingga
detik inipun, aku belum tau bagaimana cara memperlakukan rindu. Kata orang,
telepati itu ada. Pikirkan orang yang kau rindukan teramat sangat, maka orang
itu akan memikirkanmu juga. Ah, cara itu hanya akan menumbuhkan harapan yang
akan membuatku semakin sakit jika ternyata tidak berwujud. Dan seberapa besar
harapan yang boleh kugenggam adalah sebesar hatiku mampu menampung kekecewaan.
Sayangnya, aku terlalu anti pada rasa sakit. Maka biarlah kekesalan yang
disebabkan oleh rindu tak sampai ini kulampiaskan pada barisan kata yang bisa
jadi tak layak dibaca.
Kedua, ketika musim hujan. Hujan adalah suplemen alami yang
bisa membuat seseorang menjadi melankolis romantis. Lihat saja ketika hujan
tiba, akan banyak pujangga dadakan yang bermunculan di media sosial. Katanya,
seseorang yang paling tidak romantis pun akan tidak tahan untuk tidak
membikinkan kekasihnya secarik puisi. Entah itu karya sendiri, entah itu berkat
menjarah makhluk tak kasat mata yang bernama internet. Yang penting, bikin
puisi!
Tapi sepertinya hal itu hanya berlaku untuk mereka yang
memiliki seseorang dihati. Dan seorang yang berhati kosong selamanya akan mengutuki
hujan yang membuatnya terjebak di suatu tempat dan bersyukur ketika hujan tiba
di sabtu malam.
Bagiku, hujan adalah guru yang terbaik. Dia masih terus
gigih datang kembali meski tau rasanya jatuh berkali-kali. Dan itu cukup
memotivasi diriku yang sangatlah rentan kesepian. Yup. Hujan dan sepi adalah
perpaduan paling romantis yang bisa membuatku sangat melankolis. Ketika tak ada
seorangpun yang bisa memahamiku, terjadilah dialog antar “aku” melalui tulisan
yang lagi-lagi masih tak layak dibaca.
Ketiga, aku menulis ketika aku ingin. Inilah hambatan luar
biasa berat bagi seorang berdarah O yang cantik jelita sepertiku. Aku tidak
menulis untuk dipuja, aku menulis tidak untuk dibayar. Aku menulis karena aku
ingin. Bukan berarti aku tidak peduli sebagai pembaca, aku hanya tidak ingin
memunculkan mindset sebagai penjual,
sebagai pemuas. Yang aku juga akan merasa terpuaskan bila tulisanku dibaca ribuan orang. Karena
itu berarti aku harus sangat berhati-hati agar pembaca senang dengan tulisanku
dan bisa jadi aku melupakan “aku”. Aku tidak suka tuntutan.
Aku menulis karena aku butuh tempat untuk mewadahi
imajinasiku yang meluber, dan otakku terlalu sempit menampung memori puluhan
tahun. Aku menulis hanya untuk merajut kenangan masa silam. Bagiku, setiap
kenangan adalah sejarah yang pantas diberi tempat agar tidak dilupakan. Meskipun
pahitnya seperti buah pare, aku tidak akan menjadi aku yang hari ini tanpa aku
yang hari lalu. Bukankah begitu? Menulislah, maka kau pun ada.
Here we go..
Begitulah
hingga pada akhirnya blog ini tercipta. Sebuah rentetan
tulisan pada setiap perjalanan dari seorang perempuan pecinta dongeng
yang
sedang dalam perjalanan membuat dongengnya sendiri. Inilah langkah
pertamanya. Sebuah
Safarnama, bukan Safarnama milik Nasir Khusraw (1003 - 1077), buku
perjalanan yang memberi pengaruh pada penulisan catatan perjalanan
Persia klasik. Ini juga bukan Safarnama milik Agustinus Wibowo dalam buku-buku perjalanannya. Ini adalah Safarnamaku. Perjalananku.
Selamat menikmati, untuk entah siapa..
Haaa akhirnya lanjut lagii
ReplyDeleteKeep writing braii ..