Malang,
11 Maret 2015
Kami bertiga
baru saja sampai di stasiun kota baru, Malang. Saat itu sekitar jam satu siang.
Aku dan Mega berencana menginap di rumah Mbak Ika yang tidak berpenghuni.
Sedang Fian akan menuju kosan teman kami yang bernama Iswara Adhi Dharma. Aku memanggilnya
Dachong dan kini sedang kuliah di Malang. Berhubung Dachong masih kuliah, aku
mengajak Fian untuk beristirahat dulu di rumah bersama kami. Fian setuju. Lalu
kami bertiga naik angkot menuju Jalan Raya Sulfat, alamat rumah Mbak Ika.
Cuaca mendung.
Bau hujan sudah tercium. Kami tidak tahu angkot mana yang harus kami tumpangi.
Akhirnya kami bertanya pada sopir-sopir angkot sekitar. Ternyata, tidak ada
angkot yang melewati Jalan Raya Sulfat. Kami mulai resah ketika gerimis datang.
Naik ojek pasti basah kuyup. Tau-tau ada sebuah angkot yang menawari untuk
mengantar kami ke daerah Sulfat. Meski aku tidak pernah naik angkot di Malang,
aku tahu harga angkot di sana hanya 3000 hingga 4000. Dan untuk menuju rute
yang tidak dilewati biasanya bertarif lebih mahal dari biasanya. Untuk
memperoleh informasi itu, aku bertanya kepada sopir berapa tarif ke Sulfat.
“Gampang
itu, Mbak. Seikhlasnya saja.”
Kami
menimang-nimang berapa kira-kira harga keikhlasan yang bisa kami bayar untuk sopir
angkot itu. Lebih tepatnya, berapa minimal nominal yang mampu diterima bapak sopir
angkot dengan ikhlas. Kami tidak tahu. Takut panjang dibelakang dengan
informasi yang masih ambigu. Akhirnya kami memutuskan untuk turun di rute yang
biasa dilalui angkot, yang terdekat dengan sulfat tentunya.
Di dalam
angkot hanya ada dua orang dewasa dan kami bertiga. Mega bercerita saat dia
masih kuliah di Bogor dulu ia adalah penumpang setia angkutan kota. Itu karena
dia takut mengendarai motor sendiri. Aku sendiri dulu saat berada di Jember
sangat jarang menggunakan jasa angkot. Aku lebih suka menggunakan kendaraan
pribadi tapi juga suka mengkritik perokok yang berjasa meningkatkan pemanasan
global. Padahal satu motor digunakan oleh satu orang sama saja dengan
pemborosan bahan bakar.
Sadar atau
tidak, banyaknya penumpang angkot barangkali kini sudah bisa dijadikan
parameter perubahan iklim kota Malang. Dulu, hanya sedikit orang yang memiliki
kendaraan pribadi. Angkutan kota selalu penuh dengan orang yang berwara-wiri. Jalanan
terlihat luas tanpa ada kemacetan dan Iklim kota apel ini juga masih dingin. Sekarang,
banyak orang lebih suka memakai kendaraan pribadi. Sopir angkutan kota
kesulitan mencari penumpang. Jalanan menjadi sempit karena penuhnya volume
kendaraan dan rentan kemacetan. Tinggal tunggu waktu, Malang yang dingin akan
serupa Jakarta atau Surabaya. Aku sadar pemanasan global tidak hanya disebabkan
oleh seorang perokok, tapi juga disebabkan oleh seorang pengguna kendaraan
pribadi yang egois sepertiku. Sadar tapi tetap diteruskan. Suatu inkonsistensi
diri yang perlu dihancurkan.
Sebenarnya yang
membuatku enggan naik angkot adalah meluasnya berita di televisi tentang
kejahatan yang terjadi di dalam angkot. Selain pemanasan global, semakin sepinya
penumpang barangkali juga menjadi salah satu pemicu maraknya kasus pencopetan
dan pemerkosaan yang dilakukan oleh sopir angkot. Aku sering mendengar seorang
wanita dirampok kemudian diperkosa oleh sopir angkot dan beberapa kawannya yang
berpura-pura menjadi penumpang. Alasannya merampok adalah karena jumlah yang
harus disetorkan masih kurang. Dan pemerkosaan itu hanyalah sebagai bonus
karena korbannya seorang wanita. Andaikan kesejahteraan sopir angkot masih sama
seperti dulu, barangkali hal semacam ini tidak perlu terjadi. Sungguh sedih melihat
bahwa keadaan bisa mengendalikan manusia untuk mengambil jalan yang gelap.
Sampai di
lokasi, kami harus berhenti di depan Jalan Raya Sulfat, tidak masuk ke sana
sesuai perjanjian awal. Kami hanya berhenti sampai jalan yang dilalui angkot.
Di luar hujan deras.
“Turun sini,
Mbak. Itu Sulfat tinggal nyebrang aja. Tiga orang 30.000.”
“Hah?
Bukannya angkot biasanya cuma 3000 ya Pak? Naik-naik paling 4000.”
“Itu harga
taun berapa Mbak?”
“Ya tapi
masak 10.000 per orang sih, Pak?”
“Kalau mau
turun sini, 30.000. Kalau mau saya antar sampai depan rumah, tambah 10.000,
jadi 40.000.”
“Yah, Bapak.
Mahal amat. Kurangilah, Pak.”
“Nggak bisa,
Mbak. Sudah pas.”
“30.000
nyampek depan rumah saya maunya.”
“30.000
turun sini, Mbak.”
“35.000
nyampek depan rumah saya.”
“Iya sudah.”
“Itu tapi
saya bayarnya nggak pake ikhlas lo, Pak.”
Aku baru
menyadari bahwa ada banyak perumahan di jalan itu. Aku pernah ke sana satu
kali, tapi tidak ingat letak perumahannya dimana. Mbak Ika hanya mengirim
alamat lengkap yang parahnya, pak sopir angkot itu tidak mengetahui daerah itu.
Tentulah, angkot kan tidak lewat situ. Setelah beberapa kali salah masuk jalan,
akhirnya kami menemukan perumahan yang kami cari. Diluar masih hujan deras. Kami
turun di rumah nomor blok B12. Rumah Mbak Ika. Diam-diam aku bersyukur ada sopir
angkot baik hati yang rela nyasar-nyasar tapi mau mengantar kami hingga persis
di depan rumah. Itu pasti karena hujan dan karena ketidaktahuan si sopir bahwa
penumpangnya buta alamat. Kini ia harus bersusah payah bertanya pada sana sini
dimana letak rumah yang kucari. Kuanggap kita impas. Malah, aku jadi berpikir
upah segitu menjadi sangat murah melihat kondisi kami bertiga yang benar-benar
polos. Dan berakhir pada sopir angkot yang menjadi apes karena harus mengantar
kami pada alamat yang tidak diketahuinya. Pintar, tapi kurang beruntung.
Hahaha.
Andaikan
cuaca panas dan aku tau jalan, kemungkinan besar aku mengutuki si sopir angkot
malang karena menaikkan harga seenak udelnya. Tapi akan aku urungkan niat pada
saat itu juga, karena Malang sudah semakin panas, dan aku berkeinginan kuat
untuk membuat angkot penuh penumpang agar bisa membuatnya kembali dingin. Andai
bisa..
No comments:
Post a Comment