Hujan semalam menyisakan udara lembab pada pagi di Desa Tae. Pagi itu kami masuk hutan yang masih basah. Jalan setapak licin. Daun keladi, layang, pakis, dan kantung semar tumbuh subur sepanjang jalan. Ada kisot melekat di batu-batu kali.
Setelah diciprat-ciprati
beras kuning, kami harus mengambil lumut dan ditempelkan ke kepala sebagai
tanda “kulo nuwun”. Saya ambil secuil dan saya tempelkan ke jidat. Karena repot
kalau harus lepas jilbab dulu.
Satu pohon
durian besar menyambut kami. Pohon itu berdiri kokoh di antara pokok-pokok karet
dan manggis. Sungkai, bambu betung, aren, dan yang lain tumbuh menyebar. Mulai
dari yang berdiameter kecil, sedang, hingga besar, semua ada di dalam hutan
itu. Masyarakat Dayak menyebut hutan ini sebagai “tembawang”.
“Ini adalah
hutan warisan,” kata Tumenggung Anuk. Ia memimpin perjalanan. Sejak berabad
silam, leluhur-leluhur Dayak membagi hutan untuk anak cucunya. Satu petak untuk
satu garis keturunan. Dari tembawang ini kehidupan masyarakat Dayak Tae digantungkan.
Desa Tae
masih sangat kental dengan adat istiadat. Desa yang terletak di kaki Gunung
Tiong Kandang ini adalah satu-satunya desa di Kalimantan Barat yang belum terjamah
perusahaan perkebunan.
Suku Dayak
memiliki hukum tak tertulis dalam memperlakukan hutan mereka. “Tak ada yang
boleh menebang pohon di Tembawang,” ujar Tumenggung Anuk. Masyarakat Dayak
percaya bahwa menebang pohon di hutan adat akan merusak keseimbangan alam. Tembawang
itu dibiarkan begitu saja. Jika ada yang mati, barulah mereka boleh mengganti
dengan tanaman lain. Jika ketahuan menebang pohon, hukumannya adalah
dikeluarkan sebagai ahli waris.
Di
perjalanan, kami bertemu dengan mata air. Tiga bambu mengalirkan air ke bawah.
Di sampingnya ada jalan setapak menuju ke tembawang lain.
Ada delapan
kampung yang masuk di wilayah Tae yaitu, Bangkan, Padakng, Peragong, Mak Ijing,
Maet, Semangkar, Teradak, dan Tae. Masing-masing kampung punya 5 hingga 10
tembawang. Luasnya berhektar-hektar. Tapi tak ada yang tahu berapa tepatnya.
Dan memang tak boleh ada yang tahu. Kata Tumenggung Anuk, “Biar tidak dijual.”
Mereka hanya
boleh menjual hasil hutan pada tengkulak yang datang ke desa. “Tapi tak banyak,
sebagian kami gunakan sendiri,” kata Melkianus Midi.
Tumenggung
Anuk mengajarkan bahwa manusia hanya sebatas meminjam dari atas bumi. Maka
manusia tak boleh serakah dalam memanfaatkan sumber daya alam. Petuah inilah
yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak. Bahwa alam adalah
pinjaman dari Sang Pencipta.
Sayangnya,
Tae adalah salah satu dari 31 ribu desa di seluruh Indonesia yang wilayahnya
masuk ke dalam kawasan hutan. Seluas 683,76 hektare wilayah Tae masuk ke
kawasan hutan lindung, 1.434,87 hektare masuk ke dalam kawasan hutan produksi
biasa.
Dari total
luas 2.538,55 hektare, warga desa Tae hanya bisa memanfaatkan 16,54 persen
saja, yaitu 419,92 hektare. Padahal jumlah penduduk Tae mencapai 1.398 Jiwa.
Artinya tiap jiwa hanya bisa memanfaatkan 0,3 hektare lahan.
Kondisi ini
membuat Tumenggung Anuk resah. Sebab bibit manusia tumbuh setiap hari, sedang
bibit tanah, dapat dari mana?
Di jalan,
kami makan buah pisang yang matang di pohon, minum air nira yang baru diambil dari
pohon aren. Rasanya manis seperti air tebu. Lalu mandi di pitn terjun, air terjun. Brrr… segaar sekali. Di kaki Tiong Kandang
ini, kami diberi kehidupan.
Usai
berkeliling, kami singgah di rumah Pak Asung. Di sana kami disuguhi ketopat, jajanan
ketan yang dibungkus dengan kantung semar. Ada juga buah rambai, ketep,
belimbing merah, dan langsat.
Kami lanjut
makan siang di Kampung Peragokng. Kampung itu yang letaknya paling dekat dengan
Malaysia. Nasinya dibungkus dengan daun layang. Semakin besar daunnya, semakin
banyak nasi yang kau dapat. Lauk makannya adalah daun pepaya, nangka, dan
sambal hijau yang enak sekali. Kampung Peragokng memang terkenal dengan rasa
masakannya yang enak. Nantinya, hingga perjalanan pulang, saya tak berhenti
mengunyah.
To be
continued
No comments:
Post a Comment