Saya suka bermimpi, suka berjuang untuk mewujudkannya, sekaligus suka tidak percaya ketika mimpi itu jadi nyata.
Sekitar jam
setengah 11, pesawat Garuda dengan kode penerbangan GA502 mendarat di Bandara
Supadio, Pontianak. Saya turun lekas-lekas. Kota yang dilewati garis
khatulistiwa ini sangat panas. Sumber panas bukan berasal dari asap seperti di
Jakarta, tapi dari matahari yang cetar di atas ubun-ubun.
Kami
berlima. Saya, Mbak Tea, Mas Mansur, Teh Ucha, dan Mas Zuki. Mbak Tea dan Mas
Mansur adalah orang yang membuat saya tak ingin pulang ke Jakarta. Karena
mereka yang mengajak saya pergi ke Kalimantan Barat. Yah, sebenarnya mereka
nggak ngajak saya, sih. Redaktur saya saja yang lagi khilaf sehingga saya yang
disuruh ikut ajakan mereka kepada Tempo.
Sementara
itu, Teh Ucha dan Mas Zuki sama seperti saya. Sama-sama jurnalis kiriman media
yang diundang yayasan perspektif baru untuk ikut jurnalis trip ke Desa Tae,
Sanggau, Pontianak, Kalimantan Barat. Tapi sepertinya redaktur mereka tidak
khilaf mengirim keduanya. Teh Ucha dari National Geographic dan Mas Zuqi dari
Media Indonesia.
Kami
dijemput oleh Bang Daeng dan Pak Nasution. Bang Daeng, dari namanya sudah
ketahuan, dia orang Makasar. Di Makasar, Daeng artinya Abang. Jadi kalau saya
manggil Daeng dengan didahului Abang, sama dengan saya manggil Abang Abang.
Tapi entahlah, orang Makasar ini suka sekali dipanggil dengan Daeng di
mana-mana. Bang Daeng adalah salah satu pendiri Mongabay yang berdomisli di
Kalimantan.
Sama dengan
Bang Daeng, nama Pak Nasution identik dengan orang Batak. Saya kira dia dari
Medan. Rupanya tidak. Dia asli Pontianak. Yang membedakan Pak Nasution dengan
orang Batak adalah, jika di Batak Nasution menjadi nama belakang, untuk yang
satu ini Nasution adalah nama depannya. Karena sering dianggap orang Medan, Pak
Nasution sering memekik, “Horas!” di jalan-jalan untuk menyapa orang.
Siang itu
kami melaju ke Sekretariat Pancur Kasih di Kubu Raya, Pontianak. Pancur Kasih
adalah yayasan yang khusus didirikan untuk merespon permasalahan sosial,
pendidikan, ekonomi, sumber daya alam, dan ekologi suku Dayak.
Setengah jam
perjalanan dari Bandara ke sekretariat. Sepanjang jalan saya membuka jendela
mobil, “Biar bisa cium udara Kalimantan,” kata saya. Norak ya? Hahaha. Bodo
amat.
Sambil
melihat ke luar, saya senyum-senyum sendiri. Berkunjung ke Borneo adalah remahan
mimpi yang tersimpan dalam. Melihat belantara Indonesia adalah mimpi yang tak
pernah saya lupakan. Rupanya saya hanya perlu menunggu waktu, hingga
remah-remah itu terkumpul menjadi satu potong yang utuh.
Sampai di
sekretariat, kami berlima ketemu dengan 5 orang jurnalis lokal yang akan ikut
dalam perjalanan ke Desa Tae. Mereka adalah Ishak, Indra, Doris, Idil, dan Edi.
Masing-masing dari Tribun Pontianak, Suara Pemred, Ruai TV, Pontianak Post, dan
Kompas. Selain itu juga ada Mas Giring dan Mbak Sumi, pengurus Perkumpulan
Pancur Kasih.
Hingga
sampai di sekretariat, sejujurnya saya masih belum tahu apa tujuan saya datang
ke Borneo. Bahkan, saya sempat salah sangka bahwa yang mengundang saya adalah
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hahaha. Saya jadi ingat bagaimana
wajah bingung Mas Mansur saat jumpa di Bandara Soekarno Hatta, saat itu saya
tanya, “Mas yang dari Kementerian Kehutanan?”
Tapi apapun
yang akan saya lakukan nanti, setidaknya saya sudah sampai dulu di Borneo. Memang
inilah enaknya jadi jurnalis. Bisa jalan-jalan gratis.
Pancur Kasih
rupanya sedang mendorong desa-desa di Kalimantan Barat untuk melakukan pemetaan
partisipatif. Menurut ceritanya, pemerintah daerah tidak kompak dengan
pemerintah pusat. Peta yang dibuat keduanya tidak sama. Jika ditumpuk dalam
satu layer, peta bikinan pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan masyarakat
tumpang tindih. Maka tak aneh jika di desa-desa kecil banyak terjadi konflik
lahan.
Usai
briefing dan makan siang, kami bersiap pergi ke Desa Tae. Dengan membawa
iring-iringan 3 mobil, kami berangkat sekitar jam 2 siang. Saya semobil dengan
Mbak Tea, Teh Ucha, dan Mas Giring. Tentunya dengan sopir dari Medan, Pak
Nasution. “Kalau sampai sana belum gelap, bisalah kita mandi di sungai,” kata
Mas Giring saat di mobil. Perjalanan itu makan waktu selama 4 jam.
To be
continued
No comments:
Post a Comment