Dua hari rasanya terlalu singkat untuk
mengenalmu. Aku masih ingin tahu. Aku masih ingin tinggal. Dayak, kata Matheus
Pilin, adalah peradaban yang pelan tapi pasti, akan hilang akar-akarnya.
Disambut Warga Desa Tae |
Senja itu
kami tiba di Desa Tae. Puluhan orang berkumpul di bawah janur hijau yang tampak
dibuat dari daun kelapa. Janur itu dipasang melintang dengan tinggi 2,5 meter.
Posisinya diatur hingga serupa gerbang.
Tiga orang
laki-laki berdiri tepat di bawahnya. Mereka disebut Paca, artinya dukun. Dua
memegang mangkok berisi beras kuning, yang seorang membawa ayam jantan. Kepala
diikat kain kuning. Ada sehelai bulu panjang mencuat dari belakang kepala. Melihat
kami datang, mantra-mantra ke luar dari mulut ketiganya. Beras kuning
diciprat-cipratkan. Ayam jantan dikebas-kebaskan. Ritual “Nyamut Muai” dimulai.
Ritual “nyamut
muai” adalah upacara adat Dayak yang dilakukan untuk menyambut tamu. Dalam adat
Dayak, setiap orang yang masuk kampung, hutan, maupun sumber air harus
diberkati. Mereka percaya bahwa di alam sana ada kekuatan yang harus dihormati.
Kami diminta
untuk menyembelih ayam jantan hitam yang tadi dikibas-kibaskan. Mas Mansur
tampaknya muslim, maka ia yang diminta menyembelihnya agar semua tamu bisa
makan.
Krek..
ekrek.. ekrek..
Entah
pisaunya yang tak tajam atau ayamnya yang kelewat kuat. Ayam itu tak terluka.
Hanya sehelai bulu yang jatuh ke dalam mangkok tempat menampung darah.
Mas Mansur
mencoba lagi.
Krek.. ekrek..
ekrek…
Penonton
bergidik ngeri. Antara kasian dengan ayamnya, atau kasian dengan Mas Mansur yang
mereka percaya akan kena junta (musibah), sebab ia tak berhasil memotong ayam.
Pisau
berpindah ke tangan seorang Dayak. Sekali sayat, darah mengucur dari leher ayam
jago yang menganga. Darah yang ditampung di mangkok kemudian diambil oleh Paca.
Sambil
membaca mantra, Paca memasukkan sehelai bulu ayam ke dalam mangkuk berisi darah
ayam. Lalu bulu ayam itu ia tempelkan ke dahi kami satu-satu. Saya melihat ada
setetes darah ayam yang ditempelkan ke jidat Mas Mansur. Saat paca beralih
kepada saya, mata saya memejam.
Mas Mansur gagal motong ayam |
Sekali sayat, cuuuuur..... |
Seorang
gadis muda berpakaian adat Dayak warna merah mendekati kami. Ia membawa nampan
sajen berisi pinang yang sudah dikupas, gambir, daun sirih, kapur sirih, dan
rokok dari daun nipah. Orang Dayak menyebutnya Siakng. Tamu wajib memakan
sirihnya lalu merokok nipahnya. Namun, jika tak bisa, kami boleh hanya
menyentuhnya saja.
Upacara
penyambutan dilanjutkan dengan melihat tari Ganjor yang diperagakan lima orang
gadis desa. Mereka mengenakan kebaya dan kain. Kepalanya diikat, ada satu bulu
panjang mencuat dari belakang ikat kepala. Tangan mereka berayun sesuai dengan
irama dari alat musik bambu yang dipukul-pukul. Setelah itu, pertunjukan
berganti dengan seorang pria melakukan beberapa jurus silat.
Upacara
selesai, hari sudah larut. Kami tak jadi mandi di Sungai.
Malam itu kami tidur di rumah Pak Kepala Desa. Setelah mandi dan bersih-bersih, kami makan malam. Menunya adalah rebung, singkong, dan kisot, sejenis keong sawah. Saya tak ambil lauk ayam.
Kami makan
malam bersama-sama dengan beberapa penduduk desa. Rumah Pak Kades penuh seperti
sedang ada hajatan. Tapi di desa, apalagi yang mereka ajarkan selain
kebersamaan? “Desa ini kompak,” bahkan Pak Nasution memuji.
Kami
ramai-ramai makan kisot, semacam keong sawah yang menempel di bebatuan. Karena
cangkangnya yang kecil, susah untuk mengambil dagingnya. Harus disedot
mulutnya, ditiup pantatnya, disedot lagi, tiup lagi, dan ulangi hingga dapat.
Mbak Tea dan Teh Ucha tampaknya sudah ahli. Mereka bisa mendapatkan daging
kisot hanya dengan sekali sedot. Tak ayal mereka sudah habis satu piring,
sementara yang lain menyemangati saya untuk menyedot satu kisot. “Sedot.. cup..
cup.. tiup dulu.. yak cup.. cup..” wajah saya merah kehabisan nafas.
Akhirnya
saya menyerah dan ambil ikan gabus. Sluuurp…. Sedaaap… Saat asyik makan, lampu
tiba-tiba meredup.
Klap..
klap.. klap….
“lhaaaaaa”
Gelap.
Listrik satu kampung mati.
“Di sini ada
listrik sehari 3 sampai 4 jam,” kata Emi. Dia adalah koordinator lapang
Dayakologi di Tae. Ishak bilang, masalah listrik tak hanya terjadi di desa
terpencil. Tapi juga kota Pontianak. Maka setiap rumah memiliki setidaknya satu
lampu darurat.
Usai makan
kami pergi ke balai desa. Tempatnya tak jauh dari rumah Pak Kades. Di bawah
hujan rintik-rintik, kami berjalan dalam gelap.
Di balai
desa sudah ada sekitar 20 orang. Mereka adalah warga dari kampung-kampung Desa
Tae. Tumenggung Anuk adalah tetua adat. Desa Tae memiliki 8 kampung yang
bernama Bangkan, Mak Ijing, Padakng, Peragokng, Maet, Tae, dan Teradak.
“Adil ka’
talino, bacuramin ka’ saruga, basengat ka’ Jubata..” Melkianus Midi, Kepala
Desa Tae, membuka dengan salam. Itu adalah bunyi salam pembukaan Suku Dayak di
Kalimantan Barat. Artinya harus adil sesama manusia, bercermin kepada hal-hal
surgawi, dan mengandalkan Jubata di setiap aspek kehidupan. Jubata adalah
sebutan untuk Tuhan.
Satu ruangan
menjawab, “Arruuuuss… Arus… Arus…”
Kami
berembug untuk menentukan kampung mana yang akan kami kunjungi esok hari. Sebab
tak mungkin kami mengunjungi semuanya dalam satu hari. Tempatnya berjauhan.
Medannya juga tak mudah. Tapi semua warga kampung, sepertinya berharap tim
jurnalis mendatangi kampung mereka.
Akhirnya
kami memutuskan untuk pergi ke 3 kampung, yaitu Bangkan, Padakng, dan
Peragokng. Pulang dari Balai, kami berkumpul di rumah Pak Kades. Mendengar
Tumenggung bercerita hingga larut.
Sejak masuk
Desa Tae, saya kehilangan sinyal seluler. Otomatis, ponsel saya hanya berguna
untuk mengambil gambar. Di sana, rasanya seperti terputus dari dunia luar.
Tak dicari.
Tak terganggu. Begitu lepas.
To be continued
No comments:
Post a Comment