Jalan Trans Kalimantan. Kanan ke Malaysia, Kiri ke Desa Tae |
Meninggalkan
Kubu Raya, kami menuju Sanggau melalui jalan Trans Kalimantan. Jalan Trans
Kalimantan lebar, lengang, dan berdebu. Tekstur tanahnya kasar. Sebagian sudah
diaspal, kebanyakan belum. Jalan tak bertuan.
Trans
Kalimantan adalah proyek gabungan antara pemerintah Indonesia, Malaysia, dan
Brunei. Saat kami melewati jalan tersebut, kondisi tanah sudah rata. Kata Mas
Giring, sebelumnya jalan itu bergelombang parah. Di Indonesia, jalan itu
menghubungkan Pontianak dan Tebedu.
Sesaat
setelah meninggalkan Pontianak, terlihat rumah-rumah penduduk terbuat dari
kayu. Rata-rata adalah rumah panggung. Di bawah rumah-rumah itu, terlihat
tanahnya hitam dan becek. Lahan gambut.
Lahan gambut
habis, kini tanah berganti warna kuning kemerahan. Kanan kiri tak lagi rumah,
melainkan pohon-pohon akasia yang habis dibakar. Lahan itu rupanya adalah
proyek hutan tanaman industri yang gagal pada era Presiden Soeharto. Lahan itu
kini mangkrak, tidak diperbaiki. “Itu karena pemerintah tak mau tahu apa yang
dibutuhkan masyarakat,” celetuk Mas Giring saat di mobil.
Pohon akasia
gosong lewat sudah. Pemandangan berganti dengan sawit, sawit, dan sawit. Ketika
saya melihatnya, mereka tampak seperti robot laba-laba dalam film-film
Hollywood. Yang sadis membunuh apapun disekelilingnya. Itulah sawit. Banyak
makan air, egois dengan sesama, sekaligus tanaman terkuat untuk bertahan hidup.
Kami sampai
di persimpangan. Jika ke kanan menuju Malaysia. Kami ambil yang kiri, menuju
Desa Tae. Dari sini jarak ke negeri seberang memang lebih dekat daripada ke Pontianak.
Di Sambas,
Kapuas Hulu. Penduduknya sering ditawari oleh Pemerintah Malaysia untuk sekolah
di sana. Kata Mas Giring, fasilitasnya wah dan gratis. Mereka juga menyediakan
asrama bagi pelajar. Maka tak heran, jika anak-anak bangsa di perbatasan banyak
yang sekolah di Malaysia. Jika sakit, berobat juga di Malaysia.
Mas Giring
tinggal di Malabo. Dari sana, naik motor 30 menit sudah sampai Malaysia. Tapi
ia memilih untuk sekolah di Indonesia. Sekolah terdekat ada di Malosa. Perjalanan
makan 7 jam, dan masih harus naik pikap 1 jam untuk sampai di kota.
Agar mudah,
orang tua Mas Giring membangunkan pondok di dekat sekolahnya. Ada banyak pondok
di sana. Tapi orang tua murid yang harus membangun sendiri. Mereka menyebutnya
bukit taruna. “Sejak kelas 1 SD saya sudah bisa hidup sendiri,” katanya sambil
terkekeh.
Jika sakit? “Diobati
sama dukun kesehatan,” tawanya meledak.
Ironis. Saya
kembali membuka jendela. Kali ini saya mencium udara Kalimantan dengan
kesedihan.
To be
continued
No comments:
Post a Comment