Hai semuanya.. terima kasih sudah mampir. Maaf ya lama nggak update. Kali ini mau ngabarin kalau blog ini untuk sementara vakum dulu. Semua isinya sudah saya pindah ke blog sebelah. Sila dicek di pusmayaayu.blogspot.com.
Terima kasih...
Salam
Muntah
Sepertinya
aku telah diracun. Malam ini aku muntah hebat. Bajuku dilumuri sumpah serapah
yang ke luar bersama ludah. Selama sebulan aku mual-mual. Dan hari ini sesuatu
membuatku menumpahkan segala isi usus. Mungkin karena itu perutku jadi terlihat
ciut, atau rabun mataku sudah bertambah parah. Memikirkan itu membuatku ingin
muntah lagi.
Aku turun
dari kasur yang telah basah oleh ludah dan sumpah serapah. Meraih botol berisi
air mineral dengan merangkak. Muntah ini menguras tenaga. Membuatku lemas dan
nyaris dehidrasi. Aku limbung. Sepertinya aku akan mati. Sepertinya aku akan mati. Sepertinya aku akan mati. Aku bergidik
sambil cepat-cepat berdoa agar tak mati hari ini. Sebab hutang puasaku tahun
ini belum lunas kubayar. Aku tak mau membuat ibuku membayar hutang yang
disebabkan oleh anaknya. Atau siapapun itu. Tapi sepertinya hutang itu tak kan
lunas sebab aku belum memberitahu siapapun bahwa aku punya hutang selama 6
hari. Mungkin nanti aku akan membayarnya dengan darah saja ketika aku masuk ke
neraka. Ah, neraka lagi.
Aku masih
terlalu lemah untuk membersihkan cecer muntahan itu. Maka aku hanya
mengumpulkannya dan kuletakkan di kolong tempat tidur. Baunya amit-amit. Aku
yakin telah diracun. Sebab kalau tidak, mungkin baunya akan wangi. Tapi ini..
Argh.. busuk sekali.
Tahu-tahu
muntahan itu bergerak-gerak dan membuat kasurku berguncang. Aku mengintip ke
bawah tempat tidur dan menemukan seonggok muntahan yang berubah jadi sesuatu.
Mungkin manusia atau hantu, tapi aku tak yakin karena kamar begitu gelap dan
aku tak berani turun untuk menyalakan lampu. Aku takut muntahan itu akan
memakanku sebagaimana ia selama ini ada dalam perutku. Akhirnya aku hanya
melihatnya dalam gelap. Lalu sepertinya aku melihat mulutnya terbuka dan
bergerak-gerak. Aku bisa menebak itu mulut karena aku melihat dia punya gigi
yang terbuat dari emas dan lidah yang menyala merah. Mereka berpendar.
Awalnya aku
hanya melihat dia komat-kamit. Hingga kemudian aku mendengar suaranya yang
mendesis-desis seperti suara ular. “Komunis.. Komunis.. Komunis..” begitu
katanya. Ia mengatakan berulang-ulang dan kata-kata itu memantul ke seluruh
penjuru ruangan membuat gema yang tak beraturan. “Komunis..
Komunis.. Kokomumuninis.. Komukonismunis..”
Aku tidak
tahu apa maksud hantu itu. Tapi karena suara itu menggagalkan usahaku untuk
tidur, maka aku berteriak dalam gelap. Tapi suaraku lenyap ditelan desisan yang
makin lama makin kencang. Aku menjerit makin keras. Tapi sia-sia. Aku malah
mendapati tenggorokanku jadi kering dan haus luar biasa.
Akhirnya aku
menyerah dan memilih untuk menutup telinga dengan bantal. Tapi terlambat. Suara
itu sudah menerobos gendang telingaku dan meluncur ke syaraf-syaraf yang
berhubungan dengan otak. Aku tahu mereka telah sampai ke otak setelah aku
mendengar lagi suara itu dalam diriku sendiri. “Komunis.. Komunis.. Komunis..” Aku
kembali mual-mual seperti sebulan yang lalu. Aku berjanji jika nanti muntah
lagi, aku akan segera membuang muntahan itu.
Part 4: Hutan Adat
Hujan semalam menyisakan udara lembab pada pagi di Desa Tae. Pagi itu kami masuk hutan yang masih basah. Jalan setapak licin. Daun keladi, layang, pakis, dan kantung semar tumbuh subur sepanjang jalan. Ada kisot melekat di batu-batu kali.
Setelah diciprat-ciprati
beras kuning, kami harus mengambil lumut dan ditempelkan ke kepala sebagai
tanda “kulo nuwun”. Saya ambil secuil dan saya tempelkan ke jidat. Karena repot
kalau harus lepas jilbab dulu.
Satu pohon
durian besar menyambut kami. Pohon itu berdiri kokoh di antara pokok-pokok karet
dan manggis. Sungkai, bambu betung, aren, dan yang lain tumbuh menyebar. Mulai
dari yang berdiameter kecil, sedang, hingga besar, semua ada di dalam hutan
itu. Masyarakat Dayak menyebut hutan ini sebagai “tembawang”.
“Ini adalah
hutan warisan,” kata Tumenggung Anuk. Ia memimpin perjalanan. Sejak berabad
silam, leluhur-leluhur Dayak membagi hutan untuk anak cucunya. Satu petak untuk
satu garis keturunan. Dari tembawang ini kehidupan masyarakat Dayak Tae digantungkan.
Desa Tae
masih sangat kental dengan adat istiadat. Desa yang terletak di kaki Gunung
Tiong Kandang ini adalah satu-satunya desa di Kalimantan Barat yang belum terjamah
perusahaan perkebunan.
Suku Dayak
memiliki hukum tak tertulis dalam memperlakukan hutan mereka. “Tak ada yang
boleh menebang pohon di Tembawang,” ujar Tumenggung Anuk. Masyarakat Dayak
percaya bahwa menebang pohon di hutan adat akan merusak keseimbangan alam. Tembawang
itu dibiarkan begitu saja. Jika ada yang mati, barulah mereka boleh mengganti
dengan tanaman lain. Jika ketahuan menebang pohon, hukumannya adalah
dikeluarkan sebagai ahli waris.
Di
perjalanan, kami bertemu dengan mata air. Tiga bambu mengalirkan air ke bawah.
Di sampingnya ada jalan setapak menuju ke tembawang lain.
Ada delapan
kampung yang masuk di wilayah Tae yaitu, Bangkan, Padakng, Peragong, Mak Ijing,
Maet, Semangkar, Teradak, dan Tae. Masing-masing kampung punya 5 hingga 10
tembawang. Luasnya berhektar-hektar. Tapi tak ada yang tahu berapa tepatnya.
Dan memang tak boleh ada yang tahu. Kata Tumenggung Anuk, “Biar tidak dijual.”
Mereka hanya
boleh menjual hasil hutan pada tengkulak yang datang ke desa. “Tapi tak banyak,
sebagian kami gunakan sendiri,” kata Melkianus Midi.
Tumenggung
Anuk mengajarkan bahwa manusia hanya sebatas meminjam dari atas bumi. Maka
manusia tak boleh serakah dalam memanfaatkan sumber daya alam. Petuah inilah
yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak. Bahwa alam adalah
pinjaman dari Sang Pencipta.
Sayangnya,
Tae adalah salah satu dari 31 ribu desa di seluruh Indonesia yang wilayahnya
masuk ke dalam kawasan hutan. Seluas 683,76 hektare wilayah Tae masuk ke
kawasan hutan lindung, 1.434,87 hektare masuk ke dalam kawasan hutan produksi
biasa.
Dari total
luas 2.538,55 hektare, warga desa Tae hanya bisa memanfaatkan 16,54 persen
saja, yaitu 419,92 hektare. Padahal jumlah penduduk Tae mencapai 1.398 Jiwa.
Artinya tiap jiwa hanya bisa memanfaatkan 0,3 hektare lahan.
Kondisi ini
membuat Tumenggung Anuk resah. Sebab bibit manusia tumbuh setiap hari, sedang
bibit tanah, dapat dari mana?
Di jalan,
kami makan buah pisang yang matang di pohon, minum air nira yang baru diambil dari
pohon aren. Rasanya manis seperti air tebu. Lalu mandi di pitn terjun, air terjun. Brrr… segaar sekali. Di kaki Tiong Kandang
ini, kami diberi kehidupan.
Usai
berkeliling, kami singgah di rumah Pak Asung. Di sana kami disuguhi ketopat, jajanan
ketan yang dibungkus dengan kantung semar. Ada juga buah rambai, ketep,
belimbing merah, dan langsat.
Kami lanjut
makan siang di Kampung Peragokng. Kampung itu yang letaknya paling dekat dengan
Malaysia. Nasinya dibungkus dengan daun layang. Semakin besar daunnya, semakin
banyak nasi yang kau dapat. Lauk makannya adalah daun pepaya, nangka, dan
sambal hijau yang enak sekali. Kampung Peragokng memang terkenal dengan rasa
masakannya yang enak. Nantinya, hingga perjalanan pulang, saya tak berhenti
mengunyah.
To be
continued
Part 3: Bertemu Dayak
Dua hari rasanya terlalu singkat untuk
mengenalmu. Aku masih ingin tahu. Aku masih ingin tinggal. Dayak, kata Matheus
Pilin, adalah peradaban yang pelan tapi pasti, akan hilang akar-akarnya.
Disambut Warga Desa Tae |
Senja itu
kami tiba di Desa Tae. Puluhan orang berkumpul di bawah janur hijau yang tampak
dibuat dari daun kelapa. Janur itu dipasang melintang dengan tinggi 2,5 meter.
Posisinya diatur hingga serupa gerbang.
Tiga orang
laki-laki berdiri tepat di bawahnya. Mereka disebut Paca, artinya dukun. Dua
memegang mangkok berisi beras kuning, yang seorang membawa ayam jantan. Kepala
diikat kain kuning. Ada sehelai bulu panjang mencuat dari belakang kepala. Melihat
kami datang, mantra-mantra ke luar dari mulut ketiganya. Beras kuning
diciprat-cipratkan. Ayam jantan dikebas-kebaskan. Ritual “Nyamut Muai” dimulai.
Ritual “nyamut
muai” adalah upacara adat Dayak yang dilakukan untuk menyambut tamu. Dalam adat
Dayak, setiap orang yang masuk kampung, hutan, maupun sumber air harus
diberkati. Mereka percaya bahwa di alam sana ada kekuatan yang harus dihormati.
Kami diminta
untuk menyembelih ayam jantan hitam yang tadi dikibas-kibaskan. Mas Mansur
tampaknya muslim, maka ia yang diminta menyembelihnya agar semua tamu bisa
makan.
Krek..
ekrek.. ekrek..
Entah
pisaunya yang tak tajam atau ayamnya yang kelewat kuat. Ayam itu tak terluka.
Hanya sehelai bulu yang jatuh ke dalam mangkok tempat menampung darah.
Mas Mansur
mencoba lagi.
Krek.. ekrek..
ekrek…
Penonton
bergidik ngeri. Antara kasian dengan ayamnya, atau kasian dengan Mas Mansur yang
mereka percaya akan kena junta (musibah), sebab ia tak berhasil memotong ayam.
Pisau
berpindah ke tangan seorang Dayak. Sekali sayat, darah mengucur dari leher ayam
jago yang menganga. Darah yang ditampung di mangkok kemudian diambil oleh Paca.
Sambil
membaca mantra, Paca memasukkan sehelai bulu ayam ke dalam mangkuk berisi darah
ayam. Lalu bulu ayam itu ia tempelkan ke dahi kami satu-satu. Saya melihat ada
setetes darah ayam yang ditempelkan ke jidat Mas Mansur. Saat paca beralih
kepada saya, mata saya memejam.
Mas Mansur gagal motong ayam |
Sekali sayat, cuuuuur..... |
Seorang
gadis muda berpakaian adat Dayak warna merah mendekati kami. Ia membawa nampan
sajen berisi pinang yang sudah dikupas, gambir, daun sirih, kapur sirih, dan
rokok dari daun nipah. Orang Dayak menyebutnya Siakng. Tamu wajib memakan
sirihnya lalu merokok nipahnya. Namun, jika tak bisa, kami boleh hanya
menyentuhnya saja.
Upacara
penyambutan dilanjutkan dengan melihat tari Ganjor yang diperagakan lima orang
gadis desa. Mereka mengenakan kebaya dan kain. Kepalanya diikat, ada satu bulu
panjang mencuat dari belakang ikat kepala. Tangan mereka berayun sesuai dengan
irama dari alat musik bambu yang dipukul-pukul. Setelah itu, pertunjukan
berganti dengan seorang pria melakukan beberapa jurus silat.
Upacara
selesai, hari sudah larut. Kami tak jadi mandi di Sungai.
Malam itu kami tidur di rumah Pak Kepala Desa. Setelah mandi dan bersih-bersih, kami makan malam. Menunya adalah rebung, singkong, dan kisot, sejenis keong sawah. Saya tak ambil lauk ayam.
Kami makan
malam bersama-sama dengan beberapa penduduk desa. Rumah Pak Kades penuh seperti
sedang ada hajatan. Tapi di desa, apalagi yang mereka ajarkan selain
kebersamaan? “Desa ini kompak,” bahkan Pak Nasution memuji.
Kami
ramai-ramai makan kisot, semacam keong sawah yang menempel di bebatuan. Karena
cangkangnya yang kecil, susah untuk mengambil dagingnya. Harus disedot
mulutnya, ditiup pantatnya, disedot lagi, tiup lagi, dan ulangi hingga dapat.
Mbak Tea dan Teh Ucha tampaknya sudah ahli. Mereka bisa mendapatkan daging
kisot hanya dengan sekali sedot. Tak ayal mereka sudah habis satu piring,
sementara yang lain menyemangati saya untuk menyedot satu kisot. “Sedot.. cup..
cup.. tiup dulu.. yak cup.. cup..” wajah saya merah kehabisan nafas.
Akhirnya
saya menyerah dan ambil ikan gabus. Sluuurp…. Sedaaap… Saat asyik makan, lampu
tiba-tiba meredup.
Klap..
klap.. klap….
“lhaaaaaa”
Gelap.
Listrik satu kampung mati.
“Di sini ada
listrik sehari 3 sampai 4 jam,” kata Emi. Dia adalah koordinator lapang
Dayakologi di Tae. Ishak bilang, masalah listrik tak hanya terjadi di desa
terpencil. Tapi juga kota Pontianak. Maka setiap rumah memiliki setidaknya satu
lampu darurat.
Usai makan
kami pergi ke balai desa. Tempatnya tak jauh dari rumah Pak Kades. Di bawah
hujan rintik-rintik, kami berjalan dalam gelap.
Di balai
desa sudah ada sekitar 20 orang. Mereka adalah warga dari kampung-kampung Desa
Tae. Tumenggung Anuk adalah tetua adat. Desa Tae memiliki 8 kampung yang
bernama Bangkan, Mak Ijing, Padakng, Peragokng, Maet, Tae, dan Teradak.
“Adil ka’
talino, bacuramin ka’ saruga, basengat ka’ Jubata..” Melkianus Midi, Kepala
Desa Tae, membuka dengan salam. Itu adalah bunyi salam pembukaan Suku Dayak di
Kalimantan Barat. Artinya harus adil sesama manusia, bercermin kepada hal-hal
surgawi, dan mengandalkan Jubata di setiap aspek kehidupan. Jubata adalah
sebutan untuk Tuhan.
Satu ruangan
menjawab, “Arruuuuss… Arus… Arus…”
Kami
berembug untuk menentukan kampung mana yang akan kami kunjungi esok hari. Sebab
tak mungkin kami mengunjungi semuanya dalam satu hari. Tempatnya berjauhan.
Medannya juga tak mudah. Tapi semua warga kampung, sepertinya berharap tim
jurnalis mendatangi kampung mereka.
Akhirnya
kami memutuskan untuk pergi ke 3 kampung, yaitu Bangkan, Padakng, dan
Peragokng. Pulang dari Balai, kami berkumpul di rumah Pak Kades. Mendengar
Tumenggung bercerita hingga larut.
Sejak masuk
Desa Tae, saya kehilangan sinyal seluler. Otomatis, ponsel saya hanya berguna
untuk mengambil gambar. Di sana, rasanya seperti terputus dari dunia luar.
Tak dicari.
Tak terganggu. Begitu lepas.
To be continued
Subscribe to:
Posts (Atom)