Kali ini
saya ingin membuat sebuah memoar. Memang, pada dasarnya semua yang pernah saya
tulis dimaksudkan untuk menjadi bagian dari sejarah. Namun ini adalah runtutan
sejarah dengan huruf s kecil yang bukan untuk dijilid menjadi buku diktat anak sekolahan.
Siapalah saya yang tak pernah berbuat hal prestisius hingga berani membuat
otobiografi diri sendiri. Tapi setidaknya saya ingin 100 tahun dari sekarang,
ada yang tahu bahwa saya pernah hidup.
17 Juni
2015, hari pertama bulan Ramadhan tahun itu menjadi awal cerita. Pada hari itu
saya mendapat pekerjaan di PT Mitra Citra Mandiri yang terletak di kota
Surabaya. Di hari pertama saya bekerja, saya harus membuat keputusan paling
sulit selama 22 tahun hidup saya di dunia.
Beberapa jam
sebelum keputusan itu diambil, saya memberi paraf pada beberapa lembar kertas
yang memuat peraturan perusahaan. Setelah itu saya diajak berkeliling
perusahaan oleh HRD yang menerima saya masuk. Masih lekat betul diingatan
bagaimana Rellas, nama HRD itu begitu riang memperkenalkan saya sebagai
karyawan baru. Hingga sampailah saya di sebuah meja dalam ruangan internal
marketing. Ruang kerja saya. “Perkenalkan, ini anggota tim internal marketing
yang baru,” kata Rellas sembari tersenyum lebar. “Itu meja Ibu, silakan duduk.”
Setelah
menyalami seisi ruangan yang seluruhnya berisi kaum hawa, saya meletakkan tas
di atas meja baru saya. Saya belum sempat duduk ketika handphone saya berdering keras. Duh, seharusnya saya matikan dulu
nada deringnya. Gerutu saya pada diri sendiri. Saya melihat layar untuk me-reject telepon itu. Tapi itu adalah
sebuah nomor rumah. Barangkali kantor. Kemudian saya angkat sambil berbisik
karena tidak enak dengan yang lain.
Rupanya dari
Tempo. Salah satu media besar di Indonesia yang sudah dua kali dibredel pada
zaman orde baru. Suara wanita di seberang memberitahu bahwa surat lamaran saya
telah diterima. Tes tahap awal dijadwalkan hari Selasa, 23 Juni di Jakarta.
Saya bertanya apakah tes bisa dilakukan via online?
Pertanyaan bodoh. Tentu saja tidak. Saya beritahu bahwa saya akan konfirmasi
paling lambat esok hari. Betapa
lucunya, saya ingat bagaimana dua bulan yang lalu saya mengalami kejadian
serupa.
***
April
tanggal 17 sore saya berangkat ke Surabaya untuk interview lanjutan dengan PT
Mitra Citra Mandiri. Ketika dalam perjalanan menuju stasiun, saya mendapat
telepon dari sebuah nomor rumah. Barangkali kantor. Kemudian saya angkat sambil
teriak karena di jalan bising sekali.
Rupanya dari
Tempo Institute. Small bisnis Tempo
Inti Media yang bergerak diranah edukasi jurnalistik. Tahun ini mereka membuka
banyak kelas menulis untuk umum. Biayanya beragam. Mulai dari 2 juta hingga 5
juta. Tanggal 27 Februari silam saya mengirim proposal pengajuan beasiswa untuk
kelas jurnalistik intensif. Sore itu, suara wanita di seberang memberitahu
bahwa proposal saya lolos seleksi. Kelas akan dimulai pada hari Sabtu tanggal
25 April. Saya diminta konfirmasi kesediaan hari itu. Jika tidak, beasiswa akan
dialihkan pada orang lain. Saya beritahu bahwa saya akan konfirmasi paling
lambat jam 4 sore. Betapa hidup selalu berupa pilihan-pilihan tak terduga.
Seharusnya, pada tanggal 17 April ini saya harus membuka stand foto
wisuda bersama Alit, kawan saya. Ketika seminggu sebelumnya saya mendapat
panggilan untuk interview lanjutan dengan PT Mitra Citra, saya memilih
meninggalkan bisnis itu.
Pertimbangannya adalah bisnis foto wisuda ini hanya berlangsung satu
hari. Meski saya sudah pasti akan mendapatkan uang (sebelumnya sudah ada yang
mendaftar dengan memberikan DP), saya belum bisa mengandalkan bisnis ini untuk
mencukupi kebutuhan saya di masa mendatang. Kedua, meski belum tentu diterima
di perusahaan itu, setidaknya saya sudah berusaha untuk mencoba mengambil
pilihan yang akan membuat hidup saya lebih baik. Tidak ada penyesalan bagi
mereka yang berani mencoba.
No comments:
Post a Comment