Ada yang
mengatakan saya berani. Ada yang bilang gila. Ada juga yang mengatakan saya
bodoh. Yang mana saja boleh benar. Saya terlalu sibuk memikirkan hal lain
daripada komentar itu.
Saya pulang
ke rumah Pakdhe di Pandaan keesokan harinya. Pakdhe menilai saya membuat
kekeliruan. Menurutnya, saya seharusnya menunggu hingga dua atau tiga hari
sebelum memutuskan untuk resign. Alasan
resign adalah karena tidak cocok
dengan lingkungan pekerjaan. Tapi kan
bukan itu faktanya. Saya sudah merasa tidak enak perkara etika. Bagaimana
mungkin saya juga harus berbohong?
Tapi
keputusan saya memang beresiko tinggi. Selain saya kehilangan pekerjaan, Pakdhe
takut Direktur Mitra Citra sakit hati dengan tindakan saya. Sehingga ia lalu
menyarankan perusahaan lain untuk mem-black
list saya jika melamar di perusahaan-perusahaan tersebut.
Malamnya
saya sedikit resah. Saya kepikiran dengan kata-kata Pakdhe. Tapi bukannya
karyawan keluar adalah resiko perusahaan? Mau satu hari, satu minggu, 10 tahun
pun, andai ada karyawan keluar, apakah mereka juga bisa dibilang tidak
beretika? Karena memang tidak ada dalam peraturan perusahaan yang mengikat
karyawan tidak boleh keluar dalam masa waktu tertentu. Ah, sudahlah. Jika
akhirnya mereka berniat jahat pada saya dengan menghubungi partner-partner mereka agar mem-black
list saya, itu adalah urusan mereka dengan Tuhan.
Tanggal 21
Juni saya berangkat ke Jakarta seorang diri. Saya telepon Ibu dan mengabarkan
bahwa saya akan langsung ke Jakarta tanpa pulang ke rumah lebih dulu. Ibu sudah
restu dengan pilihan-pilihan saya rupanya.
Saya sampai
di rumah Mami keesokan harinya. Sesaat setelah datang, saya langsung pergi ke
Universitas Katolik Atma Jaya, tempat berlangsungnya tes. Tempat saya memulai
perjudian. Saya tak mau langsung gagal hanya karena saya kesasar.
Saya
menempuh perjalanan selama 2 jam dengan busway.
Letaknya di Jakarta Pusat, dekat dengan Stasiun Sudirman. Sepertinya akan
lebih cepat kalau saya naik Commuter Line
(KRL).
No comments:
Post a Comment