Babak
sebelumnya saya lupa saat itu tanggal berapa. Saya berada di Malang bersama
Mega untuk menghadiri jobfair yang
kedua saya di kota itu. Fian sudah tidak bersama kami karena sudah diterima
kerja. Mega pulang sesaat setelah mengirim banyak aplikasi di Gedung Samantha
Krida, Universitas Brawijaya, tempat jobfair
berlangsung. Ia mendapat panggilan kerja di sebuah BANK di Banyuwangi. Tinggal
saya sendirian menanti kabar panggilan. Hingga malam tiba, akhirnya saya
mendapat dua panggilan. Yang satu dari jobfair,
satu lagi dari jobstreet.
Saya memilih
menghadiri tes dari perusahaan yang menerima aplikasi saya melalui jobstreet. Pertimbangannya tidak rumit.
Hanya karena saya sudah sering mengikuti tes yang seleksinya berawal dari jobfair. Siapa tahu jobstreet lebih berpihak pada saya. Pilihan saya tepat. Seminggu
kemudian saya dipanggil menghadiri interview lanjutan dari PT Mitra Citra
Mandiri.
Saya melepas
sebuah kepastian mendapatkan uang dari stand foto wisuda demi perusahaan yang
belum pasti menerima saya. Barangkali kondisi membuat saya lebih realistis
daripada idealis kala itu. Sebab sebelumnya saya menyatakan bahwa sudah tugas
sarjana lah membuka lapangan kerja. Bukan mencari kerja.
Lalu pada sore tanggal 17 April, ketika saya hendak berangkat ke
Surabaya, saya menelepon Tempo Institute. Saya bilang bahwa saya bersedia untuk
mengambil beasiswa kelas jurnalistik intensif itu. Toh saya belum tentu diterima setelah interview di Mitra Citra.
***
Pulang
interview, saya menceritakan perihal beasiswa Tempo kepada orang tua. Mereka
tidak setuju. Sebab mereka takut anaknya jadi wartawan. Menurut mereka, jadi
wartawan terlalu beresiko. “Ibu takut nanti kamu disuruh liputan ke
tempat-tempat bencana. Tempat-tempat rusuh. Ndak
suka Ibu,” kata Ibu saya. Lalu saya meyakinkan. Tujuan saya adalah andaikan
nanti saya tidak diterima kerja di Mitra Citra, lepas kursus saya bisa mendapat
sertifikat yang bisa menambah nilai untuk melamar kerja di tempat lain.
Lagipula kesempatan kerja di Jakarta juga lebih banyak daripada di daerah.
Akhirnya
mereka setuju. Saya memilih berangkat tanggal 22 April. Pasalnya saya harus
mencari kos terlebih dulu untuk hidup selama satu bulan. Hari sebelum
keberangkatan, saya mendapat telepon dari Mitra Citra. Saya diterima kerja
rupanya. Keluarga saya girang. Saya disuruh memikirkan kembali keberangkatan
saya ke Jakarta.
Pendirian
saya masih kuat. Saya sangat yakin bisa mendapatkan yang lebih baik jika
mengikuti kursus ini. Setidaknya saya akan punya sedikit bekal soft skill yang bisa dimanfaatkan. Bukan
hanya ijazah. Saya putuskan melepas Mitra Citra. Lalu berangkatlah saya dengan
sedikit memaksakan restu.
Saya sudah
nyaris sampai di Malang ketika mendapat SMS dari Tempo Institute. Rupanya
jadwal kelas diundur tanggal 2 Mei sebab gedung Tempo masih dalam renovasi.
Saya terkejut. Saya kabarkan kepada orang tua saya. Mereka marah besar. Dikira
saya kena tipu.
Saya pulang
dengan kecewa. Saya yakin tidak kena tipu. Tapi orang tua sudah terlanjur tidak
percaya. Saya belum pernah ke Jakarta sebelumnya. Akhirnya saya berangkat lagi
pada minggu depannya dengan diantar Bapak.
Lagi-lagi
ketika hendak berangkat, saya mendapat telepon dari nomor kantor. Mitra Citra
kembali menghubungi saya. Katanya mereka mau menunggu saya hingga selesai
pelatihan di Jakarta. Saya dijadwalkan untuk masuk tanggal 10 Juni. Ibu saya
menyuruh untuk menerima. Kali ini saya menurut.
Di Jakarta,
kami tinggal di rumah Kak Lila, sepupu saya, selama 3 hari. Bapak pulang pada
hari pertama saya masuk kelas. Setelah yakin bahwa saya tidak tertipu.
Hari
selanjutnya saya pindah ke rumah Mami, mertua Kak Lila, di daerah Klender, Jakarta Timur. Sebab rumah kontrakan
Kak Lila hanya punya satu kamar. Saya tidak dibolehkan mencari tempat kos.
Akhirnya selama sebulan di rantau saya menumpang makan dan tidur di sana.
No comments:
Post a Comment