Wawancara
saya berlangsung sangat singkat. Saya sedikit gelisah, sebab pengalaman saya
mengatakan wawancara singkat pertanda bahwa interviewer tidak tertarik pada
kita. Saya diberitahu oleh panitia bahwa hasil akan diumumkan keesokan harinya
melalui facebook Tempo Recruitment. Bagi yang berhasil lolos akan mengikuti
diskusi panel bersama Pemimpin Redaksi tanggal 1 Juli.
Saya mencoba
melupakan wawancara saya hari itu dan menghabiskan malam dengan berdoa. Saya di
rantau seorang diri. Tinggal di rumah orang Betawi yang bukan keluarga. Kepada
siapa lagi saya bicara? Malam itu saya sudah pasrah. Saya ikhlaskan apapun
hasilnya. Tuhan pasti tau mana yang lebih baik untuk saya.
Untuk
menghabiskan waktu, esoknya saya pergi ke kantor Aliansi Jurnalistik Independen
(AJI). Saya menghadiri diskusi bertema pemilihan ketua KPK. Pembicaranya adalah
L.R. Baskoro, Redaktur Eksekutif Tempo, Nanang sebagai anggota KPK, dan Yenti
dari 9 Srikandi Panitia Seleksi (Pansel) Ketua KPK. Setelah diskusi, acara
berlanjut nonton bersama hingga buka bersama. Saya datang bersama Mbak Lovina,
kawan saya dari yayasan Pantau.
Sekitar jam
8 malam saya tiba di rumah Mami. Kamis malam Jumat di depan rumah Mami selalu
ramai dengan bazar. Ada yang jual makanan, pakaian, sepatu, hingga ikan hias.
Kak Lila dan Nares ada di rumah Mami.
Begitu masuk
rumah saya segera membuka facebook Tempo Recruitment untuk melihat hasil
seleksi. Ditemani Kak Lila dan Siti di dalam kamar, saya gugup. Saya tidak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi ketika saya gagal. Setelah semua yang saya
lalui, saya tidak mungkin pulang dengan tangan kosong.
Akhirnya
muncul. Beberapa baris nama yang lolos ke tahap selanjutnya. Dari huruf A
hingga huruf Z, saya mencari di deret huruf M. Tak ada nama saya di sana. Saya
coba cek lebih teliti lagi. Nama saya tetap tidak ada. Saya diam cukup lama.
Lemas.
Kak Lila dan
Siti merebut smartphone saya untuk
membuktikan. Mereka juga terdiam. Lalu saya telepon Ibu untuk mengabarkan
kegagalan saya. “Terus gimana rencanamu?” tanya Ibu kecewa. Berat. Saya pun tak
tahu apa yang harus dilakukan. Tapi saya yakinkan Ibu bahwa pasti ada
kesempatan lain yang akan datang. Saya bilang saya mau menunggu di sini. Saya
tak mau pulang.
“Kamu mau
tinggal dimana? Masak mau numpang Mami terus?” Ibu kembali bertanya. Saya
katakan bahwa saya nanti akan berpindah-pindah. Barangkali ke rumah Tante Susi
yang berada di Tangerang. Atau ke rumah Om Wito di Bekasi. Meski saya belum
pernah bertemu dengannya sekalipun.
Saya tahu
bagaimana kecewa dan sedihnya Ibu. Saya tidak berpikir hasilnya akan sesulit
ini karena awalnya saya begitu optimis. Tidak hanya Ibu, semua orang bertanya
apa rencana saya selanjutnya. Saya tidak tahu. Pertanyaan itu terasa
menyudutkan. Tak bolehkah saya bersedih barang sebentar?
Saya tak mau
bertemu dengan orang-orang di rumah malam itu. Tak mau mendengar atau bicara
apapun. Jakarta terlalu sesak. Bahkan saya tak punya tempat untuk menyepi. Barangkali
di sini bersedih adalah membuang waktu. Akhirnya saya keluar menuju bazar malam
untuk jajan. Mencari kesibukan untuk melupakan.
Saya masih
enggan bertemu manusia saat kembali ke rumah. Lalu saya mandi dan berwudhu.
Saya tidak berdoa seperti biasanya. Saya tidak marah pada Tuhan. Hanya malas
bicara dengannya. Jika Tuhan berwujud, barangkali saya akan terlihat seperti
seorang anak yang dongkol pada ayahnya karena tak dibelikan mainan.
No comments:
Post a Comment