Saya duduk
dengan perasaan tak karuan. Baru satu minggu saya pulang dari Jakarta. Baru
satu hari saya memantapkan diri bekerja sebagai orang kantoran. Ujian itu
datang lagi. Kali ini semakin sulit. Saya sudah terlanjur masuk meski belum
diikat apapun. Walaupun dalam status masa percobaan tiga bulan, tidak ada dalam
peraturan perusahaan bahwa saya tidak boleh mundur. Lantas saya pergi ke
ruangan Rellas untuk meminta pertimbangan.
Menurut
Rellas, saya dinilai tidak beretika jika sampai mengundurkan diri dari Mitra
Citra. Sebab perusahaan itu telah berbaik hati menunggu saya hingga satu bulan
lebih. Selain itu, Rellas mengatakan bahwa masuknya saya di perusahaan itu atas
permintaan Direktur Mitra Citra, Michael namanya. Tidak biasanya seorang
Direktur mau memberi waktu selama itu untuk menunggu seorang karyawan masuk.
Rellas merasa tidak enak dengannya.
Kemudian
saya dipertemukan dengan Bu Susi, atasan Rellas. Menurut Bu Susi, pilihan ada
ditangan saya. Ia tidak mau memaksa. Ketika saya meminta pertimbangan bagaimana
jika berada di posisi saya. Ia menjawab akan memilih stay di perusahaan ini. Pertimbangannya adalah perusahaan memberi
kepastian. Sedang di Jakarta, saya harus berjudi dengan ketidakpastian sekali
lagi. Tampaknya Bu Susi adalah orang yang suka bermain aman.
Namun saya
tidak sependapat. Menurut saya, menyia-nyiakan kesempatan berarti
menyia-nyiakan umur. Bayangkan saja andaikan saat ini saya tetap tinggal dan
melepas kesempatan. Berapa lama saya harus menunggu kesempatan yang sama itu
datang lagi? Andaikan kesempatan itu akhirnya datang, siapa yang bisa menjamin
nyali saya masih sebesar saat ini? Apakah Bu Susi yang akan menjamin?
Barangkali
ini adalah pilihan tersulit yang pernah saya temui. Ini bukan lagi tentang
keinginan saya pribadi. Tapi sudah masuk pada tahap hubungan saya dengan
masyarakat luar. Dalam hati saya ingin pergi tapi tidak dengan melukai. Bukan
karena masalah ketidakpastian yang menahan saya. Tapi perkara etika. Andai saya
tak harus peduli dengan etika, saya pasti sudah melenggang.
Dengan berat
hati, akhirnya saya memutuskan untuk tinggal. Sekali lagi bukan karena saya tak
mau ambil resiko. Tapi lebih karena saya tak ingin melukai. Barangkali saya
harus menempuh jalan ini terlebih dulu sebelum melanjutkan ke jalan yang sesuai
dengan hati saya.
Lepas
istirahat, saya duduk di meja Iga, kawan baru saya. Ia mengajari saya bagaimana
memproses sebuah pesanan untuk disampaikan ke bagian produksi. Sulit sekali
menangkap penjelasan Iga waktu itu. Hati saya masih belum ikhlas. Pekerjaan
saya jadi tak beres. Saya kepikiran kata-kata Rellas. Mengapa Pak Michael rela
menunggu saya selama satu bulan lebih? Apa istimewanya saya?
Lalu saya
berinisiatif menemui Pak Michael di ruangannya. Saya bercerita bagaimana
kondisi saya dan meminta pertimbangan. Andaikan saya benar-benar dibutuhkan di
perusahaan ini, saya katakan bahwa saya akan tinggal. Pak Michael menjawab,
“Kalau kamu sudah ngomongin passion
saya bisa apa? Saya tidak suka menahan-nahan orang. Kalau HRD yang menahan kamu
ya itu wajar. Nama mereka bisa jelek.”
”Saya
kemarin bersedia menunggu kamu sebenarnya ya karena posisimu itu sedang tidak urgent. Tim sebanyak itu sudah cukup
buat saya. Jadi kalau kamu mau keluar, saya tidak ada masalah,” ia melanjutkan.
“Sudah, tidak apa-apa kamu berangkat. Saya di sini juga tidak bisa menjanjikan
apa-apa ke kamu. Kamu jadi jurnalis barangkali nanti bisa membantu promosikan
perusahaan saya. Hahaha.”
Setelah itu
ia menelepon Bu Susi agar datang ke ruangannya. Ia mengatakan bahwa saya ingin
keluar dari perusahaan ini. Setelah berulang kali mengucap maaf dan terima
kasih, saya kembali ke meja saya. Segera saya membuka email dan mengirim konfirmasi
kehadiran untuk datang tes tahap awal calon reporter Tempo.
No comments:
Post a Comment