Kepada yang terhormat Bapak Menteri Pariwisata beserta seluruh jajaran kewisataan,
Kepada yang
tersayang para pengelola tempat wisata di tanah air,
Kepada yang
tercinta para pelancong yang beredar di seluruh pesisir negeri,
Kepada yang
teruntung para pedagang dan jukir di sekitar tempat wisata,
Dan kepada
yang tertindas alam raya yang tidak berbahagia.
Sebelumnya saya
ingin bercerita tentang perjalanan saya ke Pulau Menjangan dua minggu yang
lalu. Terletak sekitar 10 km di lepas pantai Barat Laut Bali, pulau kecil
Menjangan merupakan bagian dari Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Menjangan
terkenal dengan pesona alam bawah lautnya. Dari Bangsring, Banyuwangi, saya bersama
rekan-rekan menyebrang dengan menggunakan boat. Selama di perjalanan, kami
dibuat takjub dengan banyaknya ikan terbang yang bermunculan dari bawah
permukaan. Semakin mendekati garis pantai, airnya semakin bening dan dasar laut
mulai terlihat. Tapi, semakin dekat daratan, airnya semakin keruh. Banyak buih
dan minyak mengapung-apung di sekitar boat kami yang sudah memelan, tanda mau
berlabuh. Tidak hanya itu, saya melihat banyak sekali bungkus rinso, mie sedap,
popmie, dan sampah-sampah plastik lainnya.
Begitu sampai
di pos pemberhentian pertama, kami disambut oleh gapura bertuliskan selamat
datang di Pulau Menjangan Taman Nasional Bali Barat lengkap dengan
sampah-sampah yang bertebaran di bawahnya. Betapa kecewanya, pasir putih dan
hijaunya laut hanya bisa dinikmati dari kejauhan. Saya kira, karena ada resort
di pos 1 yang bisa digunakan untuk beristirahat, maka banyak orang yang
membuang bekas bekal mereka di situ. Tapi ternyata pusat sampah tidak hanya
berada di pos 1. Ketika kami berpindah di pos snorkeling 3, letaknya dekat
dengan hutan bakau, sampah juga bertebaran di sana. Terapung-apung dan menempel
pada akar tanaman bakau. Duh, Gusti.. Heran saya. Kok ndak eman, alam secantik
ini dijadikan tempat sampah.
Tidak hanya
di Menjangan. Lihat saja rupa Ranukumbolo saat musim agustusan. Atau coba
tengok Teluk Ijo dan Pulau Merah saat tahun baru atau hari libur. Begitu
santainya manusia-manusia itu meninggalkan jejak yang tak indah. Bukan rahasia
lagi kalau tempat wisata akan menjelma jadi TPS ketika sudah banyak pengunjung.
Khususnya di tempat wisata alam terpencil yang dikelola oleh penduduk sekitar.
Jika anda
semua mengamati, tidak hanya sampah plastik yang disebar. Sampah tulisan-tulisan
tak senonoh pun banyak ditemukan didinding-dinding atau pohon-pohon. Bahkan saya
menemukan batu-batuan di puncak Gunung Arjuna sudah penuh tanda tangan
orang-orang ndeso. Dikira ini papan
tulis?
Pemerintah
saat ini begitu gencar mengekspos pantai-pantai virgin atau hutan-hutan cantik agar
menarik wisatawan mancanegara. Perekonomian penduduk sekitar meningkat drastis seiring
bertambahnya jumlah pelancong. Backpacker,
hiker, hingga diver menjamur dimana-mana. Menjelajahi alam-alam eksotis yang
kerap ditampilkan di televisi masa kini.
Saya jadi merasa
tertipu sekali dengan gambar-gambar eksotis yang beredar di internet dan
televisi. Sepertinya mereka benar-benar lihai memainkan photoshop. Barangkali gambar-gambar
itu memang asli. Lantas tampilan aslinya berubah bentuk ketika sudah terjamah
manusia. Kalau sudah begini, siapa mau disalahkan? Pemerintah? Pengelola? Wisatawan?
Atau tukang jaga toilet umum?
Entah siapa
yang salah, dan entah siapa yang merasa perlu bertanggung jawab. Saya juga bukan
orang suci yang tidak pernah menyampah, saya hanya orang biasa yang sedang berusaha untuk selalu
membuang sampah pada tempatnya. Surat cinta ini adalah bentuk rasa sayang saya
kepada alam sekaligus bentuk protes pada manusia yang tidak tahu terima kasih
pada jagat yang tanpa mereka, manusia tidak ada.
Pernah tidak
anda berpikir, jika suatu hari tidak ada lagi hutan bakau yang menjadi rumah
bagi puluhan spesies serangga air asin. Bagaimana jika ikan-ikan badut macam
nemo tak lagi muncul karena keracunan minyak dan zat kimia limbah? Bagaimana jika
tidak ada lagi pohon-pohon yang menghasilkan oksigen di gunung maupun hutan? Gara-gara
apa? Sampah! Jika hari itu terjadi, saya harap anda semua tidak menyesal karena
terlambat menyadari bahwa uang tak bisa dimakan. Bahwa uang tidak bisa membeli
kekayaan alam yang diberikan kepada kita dengan cuma-cuma. Karena ini gratis,
maka tak ada yang dapat dibayarkan untuk memperolehnya kembali.
Sekian surat
absurd ini saya tulis dengan penuh cinta dan rasa syukur pada alam yang telah
memberi saya kehidupan. Jika ada kata-kata yang menyinggung SARA, mohon
diterima saja. Karena sama dengan alam, saya juga lelah berhadapan dengan
manusia.
No comments:
Post a Comment