Tempatnya
memang nyelempit di antara
bukit-bukit Teletubbies. Untuk sampai ke tempat tujuan, kita harus melompat
(jump) turun ke bawah untuk kemudian memakan (eat) bekal piknik kita. Itulah
nama lokasinya Jump Eat, dibaca Jampit. Tempat kemping ceria kami awal tahun
2015. :D
Jampit
adalah nama daerah di kaki Gunung Ijen. Masuk kawasan Bondowoso tapi jalurnya
lebih dekat bila ditempuh dari arah Banyuwangi. Jampit terkenal akan kopinya,
bahkan kopi-kopi wilayah Jampit ini sudah banyak di ekspor ke mancanegara.
Berangkat sekitar
jam 11 siang, saya beserta tim Pecinta Alam Remaja Genteng (PALAREGE) melaju
mengendarai motor. Tujuan utama kemping ceria kali ini adalah mengantarkan Mbak
Sari dan Mas Deni untuk melakukan foto prawedding
bertema outdoor. Biasaa.. pecinta
alam gitu looh. Kenapa memilih Jampit? Pertama,
Mbak Sari tidak suka pantai. Foto prewed
di pantai sudah terlalu mainstream. Kedua,
Mbak Sari tidak suka naik gunung (loh? katanya pecinta alam? :D), “Aku kan umel (lemu), munggah Ijen ae mudhun
glundungan.”
Kami sudah
hampir sampai di paltuding ketika hujan tiba-tiba deras. Karena beberapa dari
kita tidak membawa jas hujan, akhirnya kita berhenti untuk berteduh. Di sebuah
bangunan kosong yang dari sana kita bisa melihat pesisir pantai di Banyuwangi,
ada banyak wisatawan Gunung Ijen yang ikut berteduh. Ramai sekali. Kemungkinan mereka
adalah pendaki yang merayakan malam tahun baru di puncak Ijen.
Sebenarnya walaupun
tidak saat hari libur, Ijen saat ini selalu ramai pengunjung. Dulu, ketika aku mulai
mendaki ijen, sepeda motor yang terparkir bisa dihitung dengan jari. Untuk mendaki
pun tidak ada tiket masuk. Warung yang menjual makanan hanya ada satu di dalam
paltuding dan sebuah lagi tepat di depan paltuding. Sekarang Ijen sudah tampak
seperti pasar yang di pindah. Tidak tahu apakah saya harus senang atau
prihatin.
Khawatir
akan kemalaman, kami melanjutkan perjalanan walaupun hujan masih mengguyur. Setelah
melewati paltuding, kami lanjut menuju kawah wurung. Tempat menginap kita. Karena
hujan, jalan tanah dan pasir menuju kawah wurung memadat dan licin. Beberapa kali
ada jalan makadam yang penuh bebatuan. Ketika melewatinya kita seperti
melompat-lompat di atas motor. Kanan kiri kami dipenuhi oleh gerombolan pohon
kopi.
Keluar dari
kebun kopi, sampailah kita di pinggir sebuah mangkuk yang di dasarnya berisi padang
rumput yang menghampar, dengan bukit-bukit Teletubbiesnya yang timbul tenggelam.
Kawah Wurung. Hijau ranum sejauh mata memandang. Merapi, puncak sejati Ijen dan
kawah bulan sabit terlihat dari sini. Menjulang tinggi menubruk awan mendung. Dan
Raung, belum pernah aku melihatnya sedekat ini. Dapur laharnya berasap. Katanya,
kalau kita berada di kakinya, kita bisa merasakan getaran-getaran saat dia
sedang batuk.
Kita turun
ke bawah untuk mendirikan tenda di dasar kawah wurung. Pemandangan savanna yang
ajaib dari atas ternyata lebih lengkap saat kita berada di bawah. Sapi dan
kambing dilepas agar bebas merumput semaunya. Beberapa rumah gubuk berdiri di
kaki bukit. Tempat peristirahatan si gembala sapi. Persis seperti di Desa
Vrindavan dalam film kartun The Little Khrisna kata Bang Ahim.
Kita memilih
kaki sebuah bukit yang lumayan datar dan ber-view cantik untuk tempat mendirikan tenda. Saat itu sekitar jam 4
sore dan hujan mulai datang lagi. Lekas-lekas kita mendirikan tenda untuk
tempat tidur kami nanti malam.
Malam itu,
kami hanya memasak mie instan menimbang kompor yang dibawa hanya satu dan mulut
kami berdua belas sudah “ciap-ciap” seperti anak ayam minta cacing. Setelah makan
yang tidak kenyang, mulailah sesi pemotretan kala senja oleh fotografer Inka
dengan modelnya Mbak Sari dan Mas Deni. Sayang sekali cuaca mendung, sunset yang menjadi latar belakang bukit
tempat menginap kami berwarna abu.
Malam hari
di Kawah Wurung tidak sedingin di Paltuding. Mungkin karena biasanya aku tidak
pernah membawa sleepingbag saat
kemping di Ijen, sedang kali ini aku bawa sendiri. Entahlah. Malam itu para
lelaki masih berada di luar tenda, membuat api unggun dan bersuara-suara
berisik yang membikin aku ngikik. Aku tidur di sebelah Mbak sari. Aku bercerita
tentang pengalaman kempingku di Arjuna dan Semeru. Kemudian aku mendengar ada
suara orang bernyanyi membawa gitar di luar tenda. Hah? Ada pengamen? Semakin lama
semakin keras. Suara laki-laki. Tiba-tiba tendaku berubah menjadi sebuah ruang
kelas. Gilang, Ami’, dan Riska masuk ke dalam kelasku. Riska sekarang berambut
pendek. Dia berdiri di ambang pintu dan melambai ke arahku. Aku mendekat. Oh,
astaga.. Riska hanya memakai hot pan berwarna hitam. Perutnya yang sedang hamil
dibiarkan telanjang dan dingin. Dia mengeluarkan suara-suara yang aku tidak
tahu apa maksudnya.
Paginya,
Inka bercerita kalau semalam ada seorang (yang dituduh penggembala sapi oleh
Inka) yang melewati tenda sambil bernyanyi-nyanyi. Lalu Mas Deni melihat ada
babi liar yang berkeliaran di sekitar tenda.
Mbak Sari
dan aku mulai menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak. Aku menawarkan diri
untuk memasak nasi. Karena api kompor yang terlalu besar, jadilah nasi yang
kumasak gosong sebelum sempat ku aduk. Akhirnya aku membuang bagian yang gosong
dan memasak kembali bagian yang masih putih. Setelah kucoba menambahkan air
kembali, nasi yang kumasak kembali gosong untuk yang kedua kalinya. Nasi berubah
warna menjadi kuning, berbau sangit, dan jemek. Bang Ahim menyuruhku
membuangnya dan ganti beras baru saja. Kali ini dia yang menawarkan diri untuk
memasak, “Buru iki kemping, masak segone
gosong. Sopo meneh lek gak karo Maya?” hahaha..
Seharusnya
pagi ini kita melihat sunrise, tapi
lagi-lagi langit yang menjadi latar belakang bukit tempat menginap kami
berwarna abu. Hujan gerimis mulai jam 4 subuh masih belum reda hingga jam 6
pagi. Terpaksalah Mbak Sari dan Mas Deni harus mencari background lain untuk foto di undangan mereka. Dan pilihannya jatuh
kepada…
eng,ing,eng….
tenda biru
yang berhasil kupinjam dari Fian.
Yup, mereka
akan melakukan sesi pemotretan di dalam tenda pinjaman lengkap dengan tas carrier, jaket, dan sepatu yang menjadi
kostum pendukung. Benar-benar terlihat seperti promosi peralatan outdoor. Haha
Aku sendiri
pergi ke puncak bukit, menikmati detik-detik kabut pagi yang berubah menjadi
embun. Begitu rela. Sang kabut dilenyapkan oleh sinar matahari. Membuat karpet
hijau yang luas dan kepulan asap Raung kembali terlihat.
Tiba-tiba
aku rindu naik gunung bersama Alit.
No comments:
Post a Comment