Ini adalah
pertama kalinya aku mencari rumah Nadiya, setelah empat tahun lebih aku kenalan
dengannya. Tepatnya di daerah Mangli, Jember. Rumah Nadiya memiliki halaman
yang luas, dengan sebuah pohon mangga di samping rumahnya. Pagar dinding putih
setinggi dada mengelilinginya. Bendera putih berlambang tanda plus (+) warna hijau berkibar-kibar di
atas pring yang menancap vertikal di
depan pagar.
Nad, walaupun sebelumnya aku belum pernah
mengunjungi rumahmu, aku tidak pernah berharap akan pergi ke rumahmu tanpa
bertemu denganmu.
Ibu Nadiya
mempersilakan kami masuk ke dalam rumah yang pernah ditinggali Nadiya. Ruang
tamu yang biasa berisi meja kursi untuk menerima tamu kini berganti dengan
karpet hijau lengkap dengan kue-kue di pusatnya.
Nad, Ibumu mirip sekali denganmu, mungkin
kamu akan serupa beliau saat kamu dewasa ya Nad?
Kami
bernostalgia saat-saat terakhir Nadiya sebelum pergi. Nadiya sakit sejak
seminggu sebelum kepergiannya. Ah, teman macam apa aku ini? Bahkan saat Nadiya
masuk rumah sakit aku tidak tahu. Aku sangat menyayangkan tidak sempat
menjenguknya saat dia dirawat di rumah sakit. Diagnosa awal Nadiya mengidap
sakit lambung, selama lima hari berada di rumah sakit A, Nadiya tak kunjung
sembuh. Selanjutnya Nadiya dipindah ke rumah sakit B. Di sanalah baru diketahui
bahwa bukan lambung saja yang bermasalah, namun usus Nadiya melintir sehingga
menyebabkan lambungnya membengkak. Hanya dua hari Nadiya dirawat di sana. Nadiya
wafat saat perjalanan kembali ke rumahnya.
Andai rumah sakit A tidak terlewat
mendiagnosa penyakit usus melilitmu, Nad.. Mungkinkah kamu masih bisa
membukakan pintu rumahmu saat aku menjengukmu?
Aku masih
ingat betul wajah Nadiya yang pucat pasi saat seminar proposalnya. Bu Agustina
keras sekali menguji Nadiya kala itu. Tapi bukan Nadiya namanya kalau hanya
karena itu dia jadi patah semangat. Dia menjawab semua pertanyaan yang memucat
itu dengan cengiran lebar. Kontras sekali dengan raut bu Agustina yang tertarik
tegang. Membuat semua audience terkakak
kikik. Nadiya adalah teman terkuat sekaligus tercerewet yang aku kenal.
Nad, aku kadang iri, kamu selalu bisa
menyegarkan suasana dimanapun kamu berada. Kamu teman yang baik, Nad.
Kabar mengenai
tutup umur Nadiya di pagi buta tentu saja mengagetkanku. Aku seperti tidak
percaya. Sekali lagi Tuhan memperingatkan kepada manusianya, bahwa mati muda
bukan hal yang mustahil, bahwa kita bisa dipanggil kapanpun Tuhan mau. Siap
atau tidak. Kita hidup di dunia ini seperti menunggu giliran. Bagaimana kelanjutan
hidup kita setelah dipanggil tergantung bagaimana kita memaknai arti hidup
selama menunggu itu.
No comments:
Post a Comment