Part 2: Jalan Tak Bertuan

  • 0
Jalan itu panjang dan berliku. Warnanya hitam dan merah. Di persimpangan, orang harus memilih. Mau ke surga atau neraka.


Jalan Trans Kalimantan. Kanan ke Malaysia, Kiri ke Desa Tae

Meninggalkan Kubu Raya, kami menuju Sanggau melalui jalan Trans Kalimantan. Jalan Trans Kalimantan lebar, lengang, dan berdebu. Tekstur tanahnya kasar. Sebagian sudah diaspal, kebanyakan belum. Jalan tak bertuan.

Trans Kalimantan adalah proyek gabungan antara pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Saat kami melewati jalan tersebut, kondisi tanah sudah rata. Kata Mas Giring, sebelumnya jalan itu bergelombang parah. Di Indonesia, jalan itu menghubungkan Pontianak dan Tebedu.

Sesaat setelah meninggalkan Pontianak, terlihat rumah-rumah penduduk terbuat dari kayu. Rata-rata adalah rumah panggung. Di bawah rumah-rumah itu, terlihat tanahnya hitam dan becek. Lahan gambut.

Lahan gambut habis, kini tanah berganti warna kuning kemerahan. Kanan kiri tak lagi rumah, melainkan pohon-pohon akasia yang habis dibakar. Lahan itu rupanya adalah proyek hutan tanaman industri yang gagal pada era Presiden Soeharto. Lahan itu kini mangkrak, tidak diperbaiki. “Itu karena pemerintah tak mau tahu apa yang dibutuhkan masyarakat,” celetuk Mas Giring saat di mobil.

Pohon akasia gosong lewat sudah. Pemandangan berganti dengan sawit, sawit, dan sawit. Ketika saya melihatnya, mereka tampak seperti robot laba-laba dalam film-film Hollywood. Yang sadis membunuh apapun disekelilingnya. Itulah sawit. Banyak makan air, egois dengan sesama, sekaligus tanaman terkuat untuk bertahan hidup.

Kami sampai di persimpangan. Jika ke kanan menuju Malaysia. Kami ambil yang kiri, menuju Desa Tae. Dari sini jarak ke negeri seberang memang lebih dekat daripada ke Pontianak.

Di Sambas, Kapuas Hulu. Penduduknya sering ditawari oleh Pemerintah Malaysia untuk sekolah di sana. Kata Mas Giring, fasilitasnya wah dan gratis. Mereka juga menyediakan asrama bagi pelajar. Maka tak heran, jika anak-anak bangsa di perbatasan banyak yang sekolah di Malaysia. Jika sakit, berobat juga di Malaysia.

Mas Giring tinggal di Malabo. Dari sana, naik motor 30 menit sudah sampai Malaysia. Tapi ia memilih untuk sekolah di Indonesia. Sekolah terdekat ada di Malosa. Perjalanan makan 7 jam, dan masih harus naik pikap 1 jam untuk sampai di kota.

Agar mudah, orang tua Mas Giring membangunkan pondok di dekat sekolahnya. Ada banyak pondok di sana. Tapi orang tua murid yang harus membangun sendiri. Mereka menyebutnya bukit taruna. “Sejak kelas 1 SD saya sudah bisa hidup sendiri,” katanya sambil terkekeh.

Jika sakit? “Diobati sama dukun kesehatan,” tawanya meledak.

Ironis. Saya kembali membuka jendela. Kali ini saya mencium udara Kalimantan dengan kesedihan.

To be continued

No comments:

Post a Comment