Terhapus Hujan

  • 4


Kamis, 4 Februari 2016

Hari ini aku libur. Di luar hujan. Deras sekali. Aku suka hujan siang-siang. Sebab kamarku jadi dingin. Kalau tak hujan, jam 9 aku sudah menggeliat di atas kasur seperti cacing kepanasan. Aku akan segera mandi lantas pergi ke perpustakaan kantor untuk mendinginkan badan. Hanya perlu menyeberang jalan untuk sampai kantor dari kosanku di Jalan Palmerah Barat. Panas Jakarta tak tertahankan jika musim kemarau. Tapi hari ini hujan deras. Kamarku dingin. Aku tidur 11 jam.

Aku bangun saat hujan sudah reda. Kuambil smartphoneku dan kutemukan ratusan pesan whatsapp dari belasan grup yang aku ikuti. Ada beberapa kontak yang mengirim pesan pribadi. Aku menemukan nama Avit Hidayat, teman kerjaku di Tempo.

“Maaf May, aku nggak jadi ikut kemping. May, bilang ke temen-temen ya. Aku ada keperluan penting, pada hari Sabtu. Terima kasih,” tulis Avit.

Segera aku membalas pesannya. “Kita berangkat Minggu pagi aja deh Vit,” kataku. Lama. Avit tak membalas. Aku galau. Mestinya hari ini aku belanja untuk persiapan kemping ke Situ Gunung Sabtu depan. Tempatnya ada di Sukabumi, Jawa Barat. Tapi pesan Avit membuat moodku hilang.

Aku ingin kemping. Avit juga. Mawar, teman di Tempo, mau ikut saat kuajak. Kami bertiga janjian pesan libur di hari yang sama. Enaknya kerja di Tempo, bisa pesan libur. Tapi aku suka kemping ramai-ramai. Akhirnya kuajak sahabat-sahabatku yang kebetulan kerja di Bekasi, Argo dan Fani yang mengajak Lai dan seorang temannya yang tak kuingat namanya. Mawar mengajak Arkhe yang juga teman kerja kami. Terkumpul 8 orang.

Hari ini hujan deras. Avit batal ikut liburan. Hampir siang ia membalas pesanku. Ia mau pergi ke luar kota katanya. Aku tak percaya ia begitu saja meninggalkan rencana yang sudah kita bikin berbulan sebelumnya. Seperti hujan yang tiba-tiba turun. Menghapus debu tebal yang dibiarkan berhari-hari di jalanan.

Aku kesal sendiri. Sebab rindu pada ketinggian dan bau hutan sudah tak terbendung. Masih ada tujuh orang tersisa. Tapi aku selalu sedih jika ada yang tertinggal. Meski hanya satu. Karena perjalanan indah bukan karena tempatnya, tapi karena manusianya. Rencana yang tersusun matang luluh lantak. Seperti mentega meleleh. Meski hanya separo. Maya lebay deh, kata Avit. Maaf, aku memang terlahir sebagai drama queen.

Aku bertanya, apakah ini karena aku mengajak sahabat-sahabatku hingga kau merasa terganggu? Bukan, katamu. Lalu aku teringat Alit, mantan pacarku. Dulu ia pernah marah sebab aku mengajak enam sahabatku naik Gunung Semeru tahun 2014. Pendakian yang kami rencanakan bersama segelintir kawannya. Ia marah karena seharusnya ini menjadi perjalanan kami saja. Bukan perjalananku dengan para sahabatku.

Hai Alit.. Aku menyapamu di BBM. Aku yakin marahmu padaku hari itu sudah hilang. Seperti debu di jalanan yang dihapus air hujan. Aku ingin bilang rindu berjalan-jalan bersamamu. Tapi tak jadi. Aku takut kamu sudah punya pacar dan nanti dia marah jika membaca pesanku untukmu.

Aku baru dua kali mendaki gunung dengan ketinggian di atas 3.000 meter di atas permukaan laut. Itu semua berkat Alit. Ia mengajakku saat kami masih pacaran zaman kuliah dulu. Kemudian aku jadi ketagihan mendaki. Ia pernah berjanji mengajakku ke manapun aku mau. Tapi janji itu kini terseret banjir akibat hujan yang tak reda-reda.

Hari itu aku dibuat semakin jengkel. Alit pamer ia baru saja mendaki Gunung Gede Pangrango. Dekat sekali dengan kediamanku saat ini. Ia tak mengajakku sebab takut mengganggu kesibukanku. Omong kosong. Jelas ia memang tak mau aku ikut, pikirku. Sebab hari ini hujan. Deras sekali. Aku jadi ingin tidur lagi dan melupakan semua rencana jalan-jalan.