Bagian 8 : Bangkit

  • 0
Akhirnya saya belajar. Hidup ini seperti berjalan di atas batu. Saya meloncat dari satu batu ke batu yang lain. Sesekali harus membuat pilihan sulit. Batu mana yang akan saya jejak berikutnya. Tanpa tahu ada jebakan apa pada batu yang lebih depan. Tak seorangpun tahu. Hanya Tuhan.

Sangat disayangkan saya tak bisa bertanya langsung pada Ia yang katanya tahu segala. Sebab saya tak lagi yakin Ia yang membuat skenario hidup. Saya lah yang membuatnya. Saya yang berusaha mengubah nasib diri. Dia hanya menyatakan kesetujuannya. Dia lah aktor dibalik kekalahan-kekalahan saya.

Untuk selanjutnya akan sama. Ketika saya bangkit dan menyerahkan proposal nasib, Ia juga hanya sebatas menyetujui. Jika baik, saya akan dibuatnya menang. Jika buruk, Ia menggagalkan. Sampai akhirnya saya menyerahkan proposal nasib yang terbaik menurutNya. Semua tergantung seberapa keras saya mencoba.

Seperti kata Qur’an yang saya yakini kebenarannya:
“Sesungguhnnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa pada diri mereka”(QS Ar R’ad : 11)

Maka di sini saya ingin menyatakan bahwa saya tak pernah menyesal dengan hasil perjudian ini. Saya tahu saya telah berusaha. Meski orang mengatakan saya bodoh ketika tahu saya gagal. Lantas menyarankan untuk tidak berlanjut di jalan ini. Setidaknya saya punya sedikit  kebanggaan, bahwa saya pernah berjuang menjadi diri sendiri.

Barangkali semua pilihan dan tindakan saya tidak realistis menurut sebagian orang. Memang bukan prestasi yang menuntun saya, melainkan nurani. Seperti halnya Socrates, yang berkata memiliki suara ilahi dalam dirinya. Saya pun hanya berusaha mengikuti apa kata hati. Karena saya percaya, hati tidak diciptakan untuk diingkari.

Ada yang bilang bahwa hidup kita akhirnya harus bahagia. Jadi jika saya belum bahagia, artinya saya belum berakhir. Kalah bukan untuk diratapi. Ia hadir untuk membuat saya belajar menjadi lebih baik. Terbentur bukan berarti kalah tempur. Bukankah lilin mainan tak akan terbentuk sebelum ia terbentur berkali-kali? 

Bagian 7 : Kalah

  • 0


Wawancara saya berlangsung sangat singkat. Saya sedikit gelisah, sebab pengalaman saya mengatakan wawancara singkat pertanda bahwa interviewer tidak tertarik pada kita. Saya diberitahu oleh panitia bahwa hasil akan diumumkan keesokan harinya melalui facebook Tempo Recruitment. Bagi yang berhasil lolos akan mengikuti diskusi panel bersama Pemimpin Redaksi tanggal 1 Juli.

Saya mencoba melupakan wawancara saya hari itu dan menghabiskan malam dengan berdoa. Saya di rantau seorang diri. Tinggal di rumah orang Betawi yang bukan keluarga. Kepada siapa lagi saya bicara? Malam itu saya sudah pasrah. Saya ikhlaskan apapun hasilnya. Tuhan pasti tau mana yang lebih baik untuk saya.

Untuk menghabiskan waktu, esoknya saya pergi ke kantor Aliansi Jurnalistik Independen (AJI). Saya menghadiri diskusi bertema pemilihan ketua KPK. Pembicaranya adalah L.R. Baskoro, Redaktur Eksekutif Tempo, Nanang sebagai anggota KPK, dan Yenti dari 9 Srikandi Panitia Seleksi (Pansel) Ketua KPK. Setelah diskusi, acara berlanjut nonton bersama hingga buka bersama. Saya datang bersama Mbak Lovina, kawan saya dari yayasan Pantau.

Sekitar jam 8 malam saya tiba di rumah Mami. Kamis malam Jumat di depan rumah Mami selalu ramai dengan bazar. Ada yang jual makanan, pakaian, sepatu, hingga ikan hias. Kak Lila dan Nares ada di rumah Mami.

Begitu masuk rumah saya segera membuka facebook Tempo Recruitment untuk melihat hasil seleksi. Ditemani Kak Lila dan Siti di dalam kamar, saya gugup. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ketika saya gagal. Setelah semua yang saya lalui, saya tidak mungkin pulang dengan tangan kosong.

Akhirnya muncul. Beberapa baris nama yang lolos ke tahap selanjutnya. Dari huruf A hingga huruf Z, saya mencari di deret huruf M. Tak ada nama saya di sana. Saya coba cek lebih teliti lagi. Nama saya tetap tidak ada. Saya diam cukup lama. Lemas.

Kak Lila dan Siti merebut smartphone saya untuk membuktikan. Mereka juga terdiam. Lalu saya telepon Ibu untuk mengabarkan kegagalan saya. “Terus gimana rencanamu?” tanya Ibu kecewa. Berat. Saya pun tak tahu apa yang harus dilakukan. Tapi saya yakinkan Ibu bahwa pasti ada kesempatan lain yang akan datang. Saya bilang saya mau menunggu di sini. Saya tak mau pulang.

“Kamu mau tinggal dimana? Masak mau numpang Mami terus?” Ibu kembali bertanya. Saya katakan bahwa saya nanti akan berpindah-pindah. Barangkali ke rumah Tante Susi yang berada di Tangerang. Atau ke rumah Om Wito di Bekasi. Meski saya belum pernah bertemu dengannya sekalipun.

Saya tahu bagaimana kecewa dan sedihnya Ibu. Saya tidak berpikir hasilnya akan sesulit ini karena awalnya saya begitu optimis. Tidak hanya Ibu, semua orang bertanya apa rencana saya selanjutnya. Saya tidak tahu. Pertanyaan itu terasa menyudutkan. Tak bolehkah saya bersedih barang sebentar?

Saya tak mau bertemu dengan orang-orang di rumah malam itu. Tak mau mendengar atau bicara apapun. Jakarta terlalu sesak. Bahkan saya tak punya tempat untuk menyepi. Barangkali di sini bersedih adalah membuang waktu. Akhirnya saya keluar menuju bazar malam untuk jajan. Mencari kesibukan untuk melupakan.

Saya masih enggan bertemu manusia saat kembali ke rumah. Lalu saya mandi dan berwudhu. Saya tidak berdoa seperti biasanya. Saya tidak marah pada Tuhan. Hanya malas bicara dengannya. Jika Tuhan berwujud, barangkali saya akan terlihat seperti seorang anak yang dongkol pada ayahnya karena tak dibelikan mainan.


Bagian 6 : Tahap Satu



Keesokan harinya tes berlangsung mulai pukul 08.00 WIB. Saya berangkat ke Stasiun Klender jam 6 lewat. Hingga jam setengah 7, akhirnya ada KRL yang datang dari Bekasi menuju Jakarta Kota. Jam berangkat kerja selalu penuh sesak. Saya berhasil masuk walau harus tertahan di ambang pintu. Lama. KRL tak juga berangkat. Rupanya KRL mogok. Tak mau jalan maju. Hingga jam 7, KRL tak juga bisa jalan. Akhirnya KRL dikembalikan ke arah datangnya. Menuju Bekasi.

Semua orang turun. Saya bergegas mencari ojek untuk pergi ke stasiun berikutnya. Manggarai. Saya kurang beruntung. Ojek sudah laku semua. Lalu saya naik angkutan kota ke Rawamangun. Dari Rawamangun saya naik Metromini menuju Stasiun Manggarai. Gila! Sudah jam 8. Saya masih belum sampai di Manggarai. Saya terjebak macet.

Saya menghubungi pihak Tempo untuk memberitahu keterlambatan saya. Tapi tidak bisa tersambung. Duh, Gusti.. Saya sudah jauh-jauh datang ke Jakarta. Sudah rela kehilangan pekerjaan. Masak iya saya harus gagal sebelum mencoba. Tak henti-henti mulut saya berdoa agar masih diberi kesempatan.

Sampai di Manggarai saya naik KRL tujuan Tanah Abang. Turun di Sudirman. Dari sana saya masih harus naik metromini lagi ke Bendungan Hilir. Untungnya Bendungan Hilir tak jauh dari Unika Atma Jaya. Sekitar jam 9 saya berlarian menuju Gedung Yustinus Lantai 15.

Ketika saya tiba, ada beberapa orang yang masih berada di luar. Saya mengisi daftar registrasi dan mendapat nomor urut 278. Di belakang saya masih ada orang yang baru datang rupanya. Kemudian kami semua dipersilakan masuk.

Saya ketinggalan 2 sesi soal psikotes. Tapi di akhir tes, Tempo memberi kesempatan bagi yang terlambat untuk mengikuti tes susulan. Puji syukur Tuhan.

Hasil tes diumumkan hari itu juga. Dari sekitar 300 peserta, sekitar 150 orang gugur ke tahap selanjutnya. Alhamdulillah, saya termasuk peserta yang lolos. Tes kedua adalah interview dengan redaktur yang berlangsung keesokan harinya.

Tempat interview adalah gedung Tempo lantai 5. Saya tidak kesulitan pergi ke sana karena sebelumnya sudah sering. Sebelum pergi ke lantai 5, saya menyempatkan untuk mengunjungi ruang Tempo Institute.