#6 Jati Diri

  • 0


Jember, 17 Maret 2015
Begitu pulang dari Malang aku mendapat sms dari PT Paragon. Ibu mengira itu adalah perusahaan cat, yang kemudian kujelaskan bahwa itu adalah perusahaan kosmetik. Salah satu brand terbesarnya adalah wardah. Aku memasukkan lamaran ke sana saat mengikuti jobfair di IKIP Jember beberapa minggu lalu.

Pagi ini aku bergegas berangkat ke Jember untuk memenuhi panggilan wawancara tulis dan psikotes. Bapak membantuku mengeluarkan motor dari dalam rumah. Setiap aku pergi, bapak selalu bertanya kemana aku akan, tapi selalu lupa aku darimana nanti ketika aku kembali. Ah, bapak memang sudah tua. Lalu aku berpamitan dan minta doa restunya untuk tes pagi ini di PT Paragon. “Kamu interview di perusahaan cat?”

Aku sampai tepat waktu. Tes dimulai pukul 09.30. Diawali dengan penjelasan tentang perusahaan lalu berlanjut wawancara tertulis. Ada 14 pertanyaan di lembar soal. Pertanyaan nomer satu adalah ceritakan mengenai diri anda! Aku terpaku lama memandangi pertanyaan ini. Apa yang harus kuceritakan? Nama, tempat tanggal lahir, alamat, dan semua data diri sudah kujelaskan secara rinci di CV yang kubuat. Kuteliti 13 pertanyaan lain pada selembar kertas itu. Sekilas aku bisa membayangkan jawaban dari ke 13 pertanyaan itu. Tapi tidak dengan yang satu ini. Aku nyaris kehabisan waktu hanya karena memikirkan jawaban satu soal ini saja.

Jika diminta untuk menceritakan diri sendiri, apa yang mungkin akan kau ceritakan? Tentang jati diri tentunya. Tapi apa? Bagaimana? Kapan? Dimana? Duh, ini pertanyaan paling kampret yang pernah kutemui. Ada banyak sekali cerita dalam hidupku. Bahkan seisi blog inipun belum semua kumasukkan ceritanya. Sedangkan kini aku harus menulisnya hanya di selembar kertas A4. Tentang sifat diri? Sangat tidak mungkin aku tulis kalau aku adalah orang yang malas, sensitiv, pemarah, egois, keras kepala, tukang iri, congkak, mudah putus asa, tidak bersahabat, makan terlalu banyak, dan hal-hal lain yang aku sendiri enggan membayangkannya. Kompetensi diri yang kutulis di lembar CV pun hanya sebatas mampu mengoperasikan Ms. Office yang meliputi Ms. Word, Ms. Excel, dan Ms. Power Point. Selain itu aku tidak memiliki keahlian apa-apa.

Kini aku menyadari bahwa yang menakutkan setelah lulus bukanlah akan jadi apa kita nanti, melainkan apa yang bisa kita lakukan untuk melanjutkan hidup kita. Apa yang bisa kita tukar untuk mempertahankan hidup? Tanpa skill dan kemampuan khusus, aku hanya seonggok daging yang bernama. Hidup yang tak lebih untuk sekedar menunggu mati.

Untuk memudahkan, akhirnya aku mencoba menganalisa diri sendiri berdasarkan pekerjaan yang pernah kulakukan. Aku pernah mengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar. Di awal mengajar, aku merasa senang bisa mendedikasikan ilmuku untuk anak-anak bangsa. Tapi itu hanya bertahan selama satu tahun. Rutinitas yang kujalani terlalu menyita waktu. Seminggu 4 hari dengan per hari nya 2 – 4 jam. Aku mengalami kebosanan akut. Fakta pertama, aku adalah orang yang mudah bosan dengan rutinitas.

Selanjutnya, aku mencoba untuk menjadi marketing di CV Tour & Travel. Beberapa kali menjadi Tour Leader yang mengantar rombongan untuk berwisata sungguh menggairahkan. Kebetulan aku memang suka jalan-jalan. Aku bersemangat sekali dalam pekerjaan ini. Aku mencoba membuat paket wisata sendiri yang berbau alam dan menjualnya dengan harga terjangkau. Inilah yang kusebut dengan hobi yang dibayar. Hanya saja bayaran yang kudapat tidak pasti setiap bulan. Hal itulah yang menimbulkan masalah (di keluargaku). Dan fokusku pada saat itu terpecah dengan kondisi internal rumah yang sedikit banyak menyita waktu. Aku mulai berhenti melangkah meski tidak berniat meninggalkan. Fakta kedua, aku adalah orang yang tidak bisa memegang prinsip.

Anggaplah aku gagal dalam dua pekerjaan itu. Kini aku mencoba mencari pekerjaan lain yang masih sesuai hobi tapi dengan bayaran yang tetap. Hobiku menulis. Barangkali pekerjaan yang sesuai adalah menjadi wartawan. Aku mulai memasukkan lamaran-lamaran menjadi reporter di media-media. Aku juga meminta tolong kawanku di persma, Sadam, untuk menjadi editor tulisanku. Dia pernah memintaku menulis opini tentang KPK vs Polri. Topik yang sedang hangat kala itu tapi tidak menarik perhatianku. Dia memberiku waktu satu minggu dan hanya kugunakan satu hari pada hari terakhir. Terang saja, tulisanku harus dirombak habis-habisan. Sayang sekali waktu aku ingin  menyerahkan revisi tulisanku, Sadam terkena musibah. Kuputuskan untuk mencari editor lain. Bersama Mas Yudha yang saat itu juga ingin belajar menulis, kami meminta tolong Mas Ulil untuk menjadi editor kami. Tugas awal adalah menulis resensi film Whiplash. Hingga detik aku menulis tulisan ini, resensi itu hanya jadi satu paragraf. Fakta ketiga, aku tidak bisa menulis apa yang diinginkan orang lain.

Karena tidak menemukan jati diri positif yang bisa kujual untuk meyakinkan HRD agar mempekerjakan aku, percayalah, pada soal nomer satu aku menjawab:
Saya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dari kecil saya hobi membaca.

Aku sudah merasa tahu tidak akan lolos sebelum diumumkan. Dan yang membuat sedih bukanlah karena pada akhirnya aku tidak akan lolos, tapi lebih kepada aku yang ternyata belum mengenal diriku sendiri dengan baik.


“Ah, sudara, manusia ini kenal satu sama lain,
Tapi tidak dengan dirinya sendiri…”
-Pramoedya Ananta Toer-

#5 Terbentur, Terbentur, Terbentur, Terbentuk

  • 0


Malang, 13 Maret 2015
Setelah mendapat sms dari tiga perusahaan pada malam sebelumnya, pagi ini (yang seharusnya kuhabiskan waktu untuk jalan-jalan) aku bersiap-siap mengikuti psikotest dari MPM Finance dan Metrodata Informatika. Yang satu adalah perusahaan pembiayaan, bahasa kerennya kredit. Satu lagi adalah perusahaan IT (percaya atau tidak, aku melamar sebagai programmer dan sangat terkejut ketika tau-tau aku lolos administrasi). Tokopedia, toko online terbesar di Indonesia (katanya) memberikan jadwal untukku mengikuti interview keesokan harinya. Mega dan Fian yang tidak mendapat panggilan darimanapun merasa panas dengan keberuntunganku. Akhirnya hari ini mereka memilih masuk kembali ke gedung Samantha Krida untuk memasukkan lamaran sebanyak mungkin.

Psikotes pertama yang kuikuti adalah milik MPM Finance, bertempat di gedung Lab Ilmu Hayati Universitas Brawijaya dan dimulai pada pukul 09.30. Hanya 57 orang yang mengikuti psikotes hari itu. Psikotes berlangsung selama 1,5 jam. Tidak sampai satu jam hasil psikotes dipasang di papan pengumuman. Aku mendapat teman baru, namanya Dahniar. Dipanggil Mencit. Kami berdua lolos. Tahap selanjutnya untuk yang berhasil lolos adalah tes Forum Group Discussion (FGD) yang akan dilaksanakan pada pukul 13.15.

Aku memiliki jadwal psikotes di Metrodata jam 13.30. Aku bimbang mana yang harus kulepas antara MPM yang sudah lolos psikotes tapi hanya perusahaan kredit, atau Metrodata yang masih akan psikotes tapi perusahaan IT. Kuputuskan untuk melepas Metrodata (yang nantinya aku diledek habis-habisan gara-gara mengambil keputusan ini). Alasannya adalah karena pengalaman. Aku sudah tahu rasanya psikotes dan aku ingin tahu bagaimana rasanya mengikuti tes FGD. Jika aku mengikuti psikotes di Metrodata dan tidak lolos, aku akan kehilangan kesempatan memiliki pengalaman mengikuti tes FGD pada hari itu. Meski bekerja di perusahaan IT jelas lebih bergengsi daripada hanya di kantor pengkreditan, aku tidak peduli. Toh pada keduanya aku cuma jadi jongos.

Untuk mengikuti tes FGD, kami dibentuk ke dalam grup. Satu grup berisi 6 orang. Aku berada dalam grup yang berbeda dengan Mencit. Sebagai gantinya aku mendapat kawan baru yang bernama Syahril yang nantinya akan satu grup denganku. Kami mengobrol panjang tentang pengalamannya mencari kerja. Jam terbangnya sudah tinggi rupanya. Dia sudah berpengalaman mengikuti tes dimana-mana. Dia memberitahuku bahwa saat tes FGD jangan pernah terlihat mencolok. Hasil FGD yang baik adalah ketika anggota timnya mampu bekerja dengan berdiskusi, menjadi pendengar yang baik dan mampu menekan ego masing-masing, bukan berdebat atau adu argumentasi. “Biasa aja, jangan sampai kelihatan mendominasi.”

Akhirnya tiba giliran grup kami yang harus masuk ke dalam. Di dalam ruangan, kami diberi sebuah permasalahan yang terjadi di sebuah perusahaan. Selanjutnya, kami diberi waktu selama 20 menit untuk berdiskusi dan mencari solusi dari permasalahan di atas. Selama berdiskusi, Syahril mendominasi percakapan.

Tes FGD selesai jam 15.00. Keluar ruangan rasanya aku ingin tertawa. Ah, bisa-bisanya si Syahril itu. Menyabotase peluangku dengan membuatku bungkam seperti yang disarankannya. Aku baru menyadari kepolosanku saat Mega bercerita bahwa untuk menjadi supervisor dibutuhkan orang bertipe leader, maka selama tes FGD haruslah orang itu bisa mendominasi dan mengarahkan yang lain. Dan selama tes yang kulakukan malah menjadi pendengar yang baik. Aku lupa kalau disini kawan yang sudah belasan tahun bisa menjadi lawan. Apalagi yang baru kenal beberapa jam.

Hasil tes FGD akan diumumkan sore itu juga melalui sms. Hanya orang-orang yang berhasil lolos saja yang akan menerima pemberitahuan lewat sms dan boleh mengikuti interview esok harinya. Hingga malam tiba, aku tidak mendapat pemberitahuan itu.

Malang, 14 Maret 2015
Yakin tidak akan lanjut pada proses seleksi MPM Finance, aku mengikuti interview di Tokopedia pada jam 08.00 pagi ini. Aku mendapat nomer urut belasan untuk langsung interview dengan sang HRD. Ketika giliranku tiba, aku menyerahkan CV dan memperkenalkan diri.
Aku (A) : (memperkenalkan diri)
HRD (H) : Jadi, apa yang anda tahu tentang Tokopedia?
A : Tokopedia adalah online shop terbesar di Indonesia.
H : (mengawasiku)
A : (mikir keras) Eerr…. Jadi secara teknis, Tokopedia itu seperti mall besar. Didalamnya ada banyak toko yang menjual barang bermacam-macam. Nah, bedanya disini prosesnya online dan Tokopedia itu sebagai wadah yang didalamnya tersedia online shop beraneka ragam.
H : Apa harapan Anda kepada kami untuk 5 tahun ke depan?
A : Saya berharap Tokopedia bisa go international.
H : Anda ingin berada di posisi apa?
A : Operational Customer Care.
H : Sudah pernah berbelanja di Tokopedia?
A : (Aduh) Belum. Hehehe.
H : Hmmm…
A : Tapi saya pernah buka kok.
H : Sudah punya akun di Tokopedia?
A : (Double aduh) Belum. Hhe.
H : Baik, saya ingin tahu kemampuan komunikasi Anda. Sekarang coba jelaskan pada saya bagaimana caranya masuk ke akun facebook!
A : Untuk masuk ke akun facebook sangat mudah. Jika sudah pernah mendaftar, langsung login dengan cara memasukkan username dan password di bagian kotak login yang berada di pojok kiri atas. Jika belum memiliki akun, langkah yang harus dilakukan adalah klik tombol register, kemudian anda harus mengisi form pendaftaran facebook yang disitu nanti akan berisi nama Anda, email Anda, dan hal-hal lain yang diperlukan facebook untuk mendata anggota baru. Setelah Anda memiliki akun, baru Anda bisa langsung login seperti yang sudah saya jelaskan di awal tadi.
H : Selanjutnya berapa gaji yang Anda harapkan jika Anda diterima kerja disini?
A : Senilai standard gaji yang ditetapkan oleh perusahaan untuk fresh graduate.
H : Terakhir, apakah ada pertanyaan untuk saya?
A : Kalau saya diterima kerja disini, boleh sampai umur berapa?

Setelah menjawab pertanyaan terakhirku dengan singkat, si HRD menutup wawancara dengan berjanji akan mengirim pemberitahuan lewat sms dua minggu lagi. Bagi mereka yang lolos.

Berakhirnya wawancaraku hari itu bersamaan dengan berakhirnya tes FGD yang diikuti Fian. Fian dan Mega mendapat panggilan di BFI Finance setelah memasukkan lamaran di hari kedua jobfair. Hanya Fian yang lolos psikotes dan lanjut ke tahap tes FGD. Mega menunggui kami berdua sehari itu. Karena pemberitahuan Fian akan dikirim 3 hari lagi dan aku 2 minggu lagi, kami memutuskan untuk pulang ke tanah kelahiran, Banyuwangi. Kami menaiki kereta yang sama seperti saat pemberangkatan 3 hari yang lalu.

Kali ini kita berempat. Mas Munir, pacar Mega yang bekerja di Pandaan sedang ingin mudik dan mengajak kita pulang bersama-sama. Di dalam kereta aku menceritakan proses interview yang kujalani di Tokopedia. Mas Munir bertanya apa kata-kata terakhir yang diucapkan oleh HRD. Kujawab kalau HRD menyuruhku menunggu pemberitahuan maksimal dua minggu, jika tidak ada kabar setelah dua minggu artinya aku tidak lolos. “Biasanya, kalau HRD bilang suruh nunggu gitu, itu tanda kalau kamu ditolak secara halus.”

Aku tertawa mendengar pernyataan Mas Munir. Baiklah, akan kuanggap tidak ada perusahaan yang mau menerimaku hari itu. Lagipula aku juga tidak berharap langsung ada perusahaan malang yang memilihku jadi karyawannya. Karena itu tidak adil menurutku. Ada banyak sarjana yang bersusah-susah jauh-jauh hari sebelumku untuk berjuang mencari kerja. Sedang jika aku yang masih merah tiba-tiba dapat kerja, entah bagaimana ada perasaan tidak enak yang menyusup. Selain itu, aku adalah pribadi yang terbiasa berlari di jalan berliku. Bukan berarti aku tidak akan bersyukur jika suatu hari nanti mendapat kemudahan. Tentu aku akan sangat bersyukur, aku hanya tidak keberatan jika diberi kesempatan untuk berjuang. Aku sudah biasa dan bisa menerima kegagalan. Setiap kegagalan yang kualami membuatku semakin kuat. Dan aku percaya kalau pelaut yang handal tidak dilahirkan di laut yang tenang. Serupa dengan lilin mainan, yang tidak akan terbentuk sebelum terbentur berkali-kali.

"Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk."
-Tan Malaka-

#4 GPS

  • 0


Malang, 12 Maret 2015
Siang ini hujan turun lebih awal. Aku masih berada di dalam gedung Samantha Krida Universitas Brawijaya bersama Fian. Mega sudah lebih dulu keluar karena ia tidak kuat menahan lapar. Ketika masih menjadi bagian tubuh ular-ularan di stan BANK Mandiri, Mega meneleponku. Ia bilang tidak enak badan dan ingin segera pulang. Aku berjanji untuk mengantarnya pulang terlebih dulu setelah tiba di ujung antrian panjang ini.

Begitu keluar dari stan aku bergegas mencari Fian untuk meminta kunci motor. Pagi tadi kami berangkat menggunakan motor Mbak Ika dan seorang temanku, Natiq, berbaik hati menjemputku di rumah sehingga kami bertiga tidak perlu susah mencari angkot yang mau mengantar sampai depan gedung. Saat ini Natiq sedang menemui dosen untuk bimbingan skripsinya, jadi aku harus kembali untuk menjemput Fian setelah mengantar Mega pulang nanti.

Sejujurnya, aku tidak hafal jalan untuk pulang walaupun tadi sudah melewatinya. Otakku benar-benar payah dalam mengingat peta. Begitu juga Mega. Kami berdua berangkat dengan otak kosong tentang rute yang harus kami lewati. Beruntung sekali kami hidup di era teknologi sudah canggih. Alih-alih bertanya pada teman atau orang yang belum tentu jelas informasinya untuk kami, aku membuka aplikasi Map pada smartphoneku. Kunyalakan GPS dan kuketik nama tempat yang akan kami tuju. Start navigation. Peta berskala selayar handphone dengan garis biru yang menunjukkan rute yang harus kami lalui terpampang di depan mata. Kami mulai melaju.

Di tengah jalan, hujan tiba-tiba datang tanpa permisi. Kami berdua basah kuyup. Hingga sampai rumah hujan belum berhenti. Aku memutuskan untuk menunggu hingga reda sebelum menjemput Fian. Setengah jam kemudian, gerimis kecil menandakan hujan hampir habis. Aku berangkat untuk menjemput Fian. Sekali lagi kunyalakan GPS untuk memanduku mencapai tujuan.

Aku kesulitan membaca peta karena aku hanya sendiri. Akan lebih mudah jika ada seseorang di belakangku yang membaca peta sedang aku tinggal menyetir sesuai instruksi. Sedikit-sedikit aku berhenti untuk memastikan rute yang kuambil sudah tepat. Gerimis membuat tanganku yang memegang handphone basah. Saat aku sedang mengecek lokasiku, tiba-tiba layar handphone ceket, tidak mau digeser. Pasti ini gara-gara tanganku yang basah. Handphoneku semakin basah karena hujan mulai deras lagi. Tidak mau mengambil resiko membuat handphone rusak, aku memasukkannya ke dalam tas dan terus berjalan tanpa melihat navigasi lagi.

Hingga beberapa km ke depan, aku merasa asing dengan jalan-jalan yang kulewati. Aku tidak ingat pernah lewat sini. Ah, tentu saja.. Aku kan memang tidak pernah ingat. Kuputuskan terus melaju dengan percaya diri. Semakin lama, aku semakin merasa asing. Sepertinya ini jalan yang salah. Kulihat handphoneku layarnya masih hang. Kemudian aku bertanya pada orang-orang yang berada di pinggir jalan. Ternyata benar, aku salah jalan. Aku menyimpang terlalu jauh dari arah seharusnya. Lalu aku memutar balik sesuai dengan instruksi orang tersebut. Sampai dipersimpangan, aku kembali bingung dengan arah yang harus kuambil. Ketika lampu merah berhenti, aku bertanya pada pengendara motor di sebelahku dimana letak kampus Brawijaya.

Menurut perasaanku, aku sudah benar mengikuti instruksi orang-orang yang kutanyai itu. Tapi kok rasanya semakin jauh ya? Sampai dipertigaan aku bertemu dengan dua orang mahasiswa dari Papua. Aku kembali bertanya dimana letak kampus Brawijaya.
Mahasiswa 1 (M1) : Ibu lurus aja, terus belok kanan. Nanti ketemu alun-alun. Ibu berputar.
Aku (A) : (sial, aku dipanggil Ibu) Oh.. jadi ini lurus aja?
M1 : Iya, itu nanti Ibu ketemu pertigaan langsung belok kanan, ada alun-alun, lalu berputar.
A : (bingung) Itu kan ada jalan serong ke kanan, aku ambil yang lurus ini kan? Terus belok kanan. Terus mutar alun-alun?
Mahasiswa 2 (M2) : Ini lurus aja. Depan itu ada lampu merah belok kiri. Terus belok kanan. Baru putar alun-alun.
A : (semakin bingung) loh, ini saya belok kanan apa belok kiri dulu?
M1 : Pokoknya Ibu lurus aja ini. Nanti belok kanan. Ketemu alun-alun. Putar.
M2 : Lampu merah depan itu belok kiri dulu, Bu. Baru belok kanan. Putar alun-alun. Ada tanjakan, Ibu naik ke atas.
A : (gusar) Ini saya belok kanan langsung apa belok kiri dulu baru belok kanan sih yang bener?
M1 : Ibu temukan saja dulu alun-alunnya. Ini lurus, belok kanan.
M2 : Iya, Bu. Lampu merah itu belok kiri, lalu belok kanan.
A : (stress) Okedeh, saya mau muter alun-alun dulu. Makasih ya..

Aku memilih untuk belok kiri di lampu merah kemudian belok kanan setelahnya. Pilihanku tepat, aku melewati Ramayana dan mall-mall lain yang berada di depan alun-alun. Kemudian aku berputar-putar sesuai instruksi mahasiswa asal Papua tadi. Tidak yakin akan kemana, aku bertanya lagi kepada seorang ibu-ibu tua. Ibu-ibu itu bilang kalau aku salah jalan dan harus kembali untuk menemukan lampu merah kemudian belok kanan. Aku patuhi instruksinya. Sampai di lampu merah, aku mencoba bertanya pada seorang bapak-bapak bersepeda motor disebelahku untuk memastikan apakah benar setelah ini aku harus belok kanan untuk mencapai kampus UB. Tapi bapak itu malah berkata, “Ikuti saya.”

Hah? Ikuti saya? Nggak salah denger ta? Bagaimana kalau ternyata bapak ini adalah salah satu komplotan begal yang sedang mencari mangsa? Saat melihatku tanya alamat, dia pasti merasa seperti mendapat durian runtuh. Korban datang dengan sukarela kepadanya. Kemudian aku dibawa ke tempat sepi dimana kawan-kawannya sudah menunggu. Setelah sampai ditempat akan berlangsungnya kejadian, aku dipaksa melucuti perhiasan dan harta benda yang kubawa. Dan karena aku wanita, mereka memperkosaku secara bergantian. Tidak ingin kejahatannya terbongkar, akhirnya mereka memutilasiku dan membakar potongan-potongan tubuhku di tempat yang berbeda. Lalu mereka kabur membawa motor milik Mbak Ika yang kupinjam ini. Hii.. aku bergidik sendiri dengan imajinasiku yang liar. Ketika lampu hijau, aku mengikuti begal, eh, bapak itu.

Loh, kok bapak ini lurus? Bukannya tadi ibu-ibu itu bilang kalau aku harus belok kanan ya? Jangan-jangan.. (aku bergidik). Dengan hati-hati aku mengikuti bapak ini. Pokoknya kalau nanti bapak ini mulai membawaku ke daerah yang sepi, aku akan langsung kabur. Kulihat bapak itu melihat ke spion secara berkala, memastikan aku masih berada di belakangnya. Membuatku semakin was-was. Kami sudah melewati dua lampu merah ketika bapak itu berkata, “Setelah ini saya belok kanan, adek belok kiri.” Ketika kami sampai di persimpangan yang dimaksud, bapak itu melambai kepadaku kemudian membelokkan setirnya ke kanan. Aku yang berada di belakangnya berteriak-teriak terima kasih sambil benar-benar meminta maaf dalam hati karena mencurigainya sebagai begal. Kemudian aku membelokkan setirku ke kiri.

Kampus UB sudah terlihat dari kejauhan. Aku berjalan perlahan sambil merenungkan kejadian tadi. Sungguh aku menyesal telah mencurigai orang yang begitu baik mau menolongku. Barangkali kasus-kasus kejahatan yang banyak disorot media akhir-akhir ini yang membuat tingkat kewaspadaan seorang manusia berada di titik puncak. Aku merasa lebih aman menggunakan GPS daripada memakai navigasi alami, mulut, untuk pergi ke tempat asing. Padahal jaman dulu, orang-orang memanfaatkan mulut untuk dijadikan navigasi alami. Mereka bertanya jika tak tahu arah. Hingga terbitlah peribahasa itu, malu bertanya sesat dijalan. Hanya saja, orang jaman dulu tidak memiliki curiga pada orang yang ditanya. Dan orang jaman sekarang lebih percaya dan ramah pada benda tipis berbentuk kotak yang bisa disimpan dalam saku daripada dengan orang yang hidup disekelilingnya. Salah satu aplikasi yang bernama GPS di dalamnya mengalahkan kemauan bersosialisasi. Sedang mereka tahu bahwa GPS tak selalu bisa diandalkan. Sebut saja aku.