Part 3: Bertemu Dayak

  • 0

Dua hari rasanya terlalu singkat untuk mengenalmu. Aku masih ingin tahu. Aku masih ingin tinggal. Dayak, kata Matheus Pilin, adalah peradaban yang pelan tapi pasti, akan hilang akar-akarnya.


Disambut Warga Desa Tae

Senja itu kami tiba di Desa Tae. Puluhan orang berkumpul di bawah janur hijau yang tampak dibuat dari daun kelapa. Janur itu dipasang melintang dengan tinggi 2,5 meter. Posisinya diatur hingga serupa gerbang.

Tiga orang laki-laki berdiri tepat di bawahnya. Mereka disebut Paca, artinya dukun. Dua memegang mangkok berisi beras kuning, yang seorang membawa ayam jantan. Kepala diikat kain kuning. Ada sehelai bulu panjang mencuat dari belakang kepala. Melihat kami datang, mantra-mantra ke luar dari mulut ketiganya. Beras kuning diciprat-cipratkan. Ayam jantan dikebas-kebaskan. Ritual “Nyamut Muai” dimulai.

Ritual “nyamut muai” adalah upacara adat Dayak yang dilakukan untuk menyambut tamu. Dalam adat Dayak, setiap orang yang masuk kampung, hutan, maupun sumber air harus diberkati. Mereka percaya bahwa di alam sana ada kekuatan yang harus dihormati.

Kami diminta untuk menyembelih ayam jantan hitam yang tadi dikibas-kibaskan. Mas Mansur tampaknya muslim, maka ia yang diminta menyembelihnya agar semua tamu bisa makan.

Krek.. ekrek.. ekrek..

Entah pisaunya yang tak tajam atau ayamnya yang kelewat kuat. Ayam itu tak terluka. Hanya sehelai bulu yang jatuh ke dalam mangkok tempat menampung darah.

Mas Mansur mencoba lagi.
Krek.. ekrek.. ekrek…

Penonton bergidik ngeri. Antara kasian dengan ayamnya, atau kasian dengan Mas Mansur yang mereka percaya akan kena junta (musibah), sebab ia tak berhasil memotong ayam.

Pisau berpindah ke tangan seorang Dayak. Sekali sayat, darah mengucur dari leher ayam jago yang menganga. Darah yang ditampung di mangkok kemudian diambil oleh Paca.

Sambil membaca mantra, Paca memasukkan sehelai bulu ayam ke dalam mangkuk berisi darah ayam. Lalu bulu ayam itu ia tempelkan ke dahi kami satu-satu. Saya melihat ada setetes darah ayam yang ditempelkan ke jidat Mas Mansur. Saat paca beralih kepada saya, mata saya memejam.

Mas Mansur gagal motong ayam
Sekali sayat, cuuuuur.....

Seorang gadis muda berpakaian adat Dayak warna merah mendekati kami. Ia membawa nampan sajen berisi pinang yang sudah dikupas, gambir, daun sirih, kapur sirih, dan rokok dari daun nipah. Orang Dayak menyebutnya Siakng. Tamu wajib memakan sirihnya lalu merokok nipahnya. Namun, jika tak bisa, kami boleh hanya menyentuhnya saja.

Upacara penyambutan dilanjutkan dengan melihat tari Ganjor yang diperagakan lima orang gadis desa. Mereka mengenakan kebaya dan kain. Kepalanya diikat, ada satu bulu panjang mencuat dari belakang ikat kepala. Tangan mereka berayun sesuai dengan irama dari alat musik bambu yang dipukul-pukul. Setelah itu, pertunjukan berganti dengan seorang pria melakukan beberapa jurus silat.

Upacara selesai, hari sudah larut. Kami tak jadi mandi di Sungai.

 
                       Paca

                   Siakng                                                                   Tari Ganjor

Malam itu kami tidur di rumah Pak Kepala Desa. Setelah mandi dan bersih-bersih, kami makan malam. Menunya adalah rebung, singkong, dan kisot, sejenis keong sawah. Saya tak ambil lauk ayam.

Kami makan malam bersama-sama dengan beberapa penduduk desa. Rumah Pak Kades penuh seperti sedang ada hajatan. Tapi di desa, apalagi yang mereka ajarkan selain kebersamaan? “Desa ini kompak,” bahkan Pak Nasution memuji.

Kami ramai-ramai makan kisot, semacam keong sawah yang menempel di bebatuan. Karena cangkangnya yang kecil, susah untuk mengambil dagingnya. Harus disedot mulutnya, ditiup pantatnya, disedot lagi, tiup lagi, dan ulangi hingga dapat. Mbak Tea dan Teh Ucha tampaknya sudah ahli. Mereka bisa mendapatkan daging kisot hanya dengan sekali sedot. Tak ayal mereka sudah habis satu piring, sementara yang lain menyemangati saya untuk menyedot satu kisot. “Sedot.. cup.. cup.. tiup dulu.. yak cup.. cup..” wajah saya merah kehabisan nafas.

Akhirnya saya menyerah dan ambil ikan gabus. Sluuurp…. Sedaaap… Saat asyik makan, lampu tiba-tiba meredup.
Klap.. klap.. klap….
“lhaaaaaa”
Gelap. Listrik satu kampung mati.

“Di sini ada listrik sehari 3 sampai 4 jam,” kata Emi. Dia adalah koordinator lapang Dayakologi di Tae. Ishak bilang, masalah listrik tak hanya terjadi di desa terpencil. Tapi juga kota Pontianak. Maka setiap rumah memiliki setidaknya satu lampu darurat.

Usai makan kami pergi ke balai desa. Tempatnya tak jauh dari rumah Pak Kades. Di bawah hujan rintik-rintik, kami berjalan dalam gelap.

Di balai desa sudah ada sekitar 20 orang. Mereka adalah warga dari kampung-kampung Desa Tae. Tumenggung Anuk adalah tetua adat. Desa Tae memiliki 8 kampung yang bernama Bangkan, Mak Ijing, Padakng, Peragokng, Maet, Tae, dan Teradak.

“Adil ka’ talino, bacuramin ka’ saruga, basengat ka’ Jubata..” Melkianus Midi, Kepala Desa Tae, membuka dengan salam. Itu adalah bunyi salam pembukaan Suku Dayak di Kalimantan Barat. Artinya harus adil sesama manusia, bercermin kepada hal-hal surgawi, dan mengandalkan Jubata di setiap aspek kehidupan. Jubata adalah sebutan untuk Tuhan.

Satu ruangan menjawab, “Arruuuuss… Arus… Arus…”

Kami berembug untuk menentukan kampung mana yang akan kami kunjungi esok hari. Sebab tak mungkin kami mengunjungi semuanya dalam satu hari. Tempatnya berjauhan. Medannya juga tak mudah. Tapi semua warga kampung, sepertinya berharap tim jurnalis mendatangi kampung mereka.

Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke 3 kampung, yaitu Bangkan, Padakng, dan Peragokng. Pulang dari Balai, kami berkumpul di rumah Pak Kades. Mendengar Tumenggung bercerita hingga larut.

Sejak masuk Desa Tae, saya kehilangan sinyal seluler. Otomatis, ponsel saya hanya berguna untuk mengambil gambar. Di sana, rasanya seperti terputus dari dunia luar.

Tak dicari. Tak terganggu. Begitu lepas.

To be continued

No comments:

Post a Comment