Muntah

  • 0
Sepertinya aku telah diracun. Malam ini aku muntah hebat. Bajuku dilumuri sumpah serapah yang ke luar bersama ludah. Selama sebulan aku mual-mual. Dan hari ini sesuatu membuatku menumpahkan segala isi usus. Mungkin karena itu perutku jadi terlihat ciut, atau rabun mataku sudah bertambah parah. Memikirkan itu membuatku ingin muntah lagi.

Aku turun dari kasur yang telah basah oleh ludah dan sumpah serapah. Meraih botol berisi air mineral dengan merangkak. Muntah ini menguras tenaga. Membuatku lemas dan nyaris dehidrasi. Aku limbung. Sepertinya aku akan mati. Sepertinya aku akan mati. Sepertinya aku akan mati. Aku bergidik sambil cepat-cepat berdoa agar tak mati hari ini. Sebab hutang puasaku tahun ini belum lunas kubayar. Aku tak mau membuat ibuku membayar hutang yang disebabkan oleh anaknya. Atau siapapun itu. Tapi sepertinya hutang itu tak kan lunas sebab aku belum memberitahu siapapun bahwa aku punya hutang selama 6 hari. Mungkin nanti aku akan membayarnya dengan darah saja ketika aku masuk ke neraka. Ah, neraka lagi.

Aku masih terlalu lemah untuk membersihkan cecer muntahan itu. Maka aku hanya mengumpulkannya dan kuletakkan di kolong tempat tidur. Baunya amit-amit. Aku yakin telah diracun. Sebab kalau tidak, mungkin baunya akan wangi. Tapi ini.. Argh.. busuk sekali.

Tahu-tahu muntahan itu bergerak-gerak dan membuat kasurku berguncang. Aku mengintip ke bawah tempat tidur dan menemukan seonggok muntahan yang berubah jadi sesuatu. Mungkin manusia atau hantu, tapi aku tak yakin karena kamar begitu gelap dan aku tak berani turun untuk menyalakan lampu. Aku takut muntahan itu akan memakanku sebagaimana ia selama ini ada dalam perutku. Akhirnya aku hanya melihatnya dalam gelap. Lalu sepertinya aku melihat mulutnya terbuka dan bergerak-gerak. Aku bisa menebak itu mulut karena aku melihat dia punya gigi yang terbuat dari emas dan lidah yang menyala merah. Mereka berpendar.

Awalnya aku hanya melihat dia komat-kamit. Hingga kemudian aku mendengar suaranya yang mendesis-desis seperti suara ular. “Komunis.. Komunis.. Komunis..” begitu katanya. Ia mengatakan berulang-ulang dan kata-kata itu memantul ke seluruh penjuru ruangan membuat gema yang tak beraturan. “Komunis.. Komunis.. Kokomumuninis.. Komukonismunis..”

Aku tidak tahu apa maksud hantu itu. Tapi karena suara itu menggagalkan usahaku untuk tidur, maka aku berteriak dalam gelap. Tapi suaraku lenyap ditelan desisan yang makin lama makin kencang. Aku menjerit makin keras. Tapi sia-sia. Aku malah mendapati tenggorokanku jadi kering dan haus luar biasa.

Akhirnya aku menyerah dan memilih untuk menutup telinga dengan bantal. Tapi terlambat. Suara itu sudah menerobos gendang telingaku dan meluncur ke syaraf-syaraf yang berhubungan dengan otak. Aku tahu mereka telah sampai ke otak setelah aku mendengar lagi suara itu dalam diriku sendiri. “Komunis.. Komunis.. Komunis..” Aku kembali mual-mual seperti sebulan yang lalu. Aku berjanji jika nanti muntah lagi, aku akan segera membuang muntahan itu.