Part 4: Hutan Adat

  • 0

Hujan semalam menyisakan udara lembab pada pagi di Desa Tae. Pagi itu kami masuk hutan yang masih basah. Jalan setapak licin. Daun keladi, layang, pakis, dan kantung semar tumbuh subur sepanjang jalan. Ada kisot melekat di batu-batu kali.

Setelah diciprat-ciprati beras kuning, kami harus mengambil lumut dan ditempelkan ke kepala sebagai tanda “kulo nuwun”. Saya ambil secuil dan saya tempelkan ke jidat. Karena repot kalau harus lepas jilbab dulu.

Satu pohon durian besar menyambut kami. Pohon itu berdiri kokoh di antara pokok-pokok karet dan manggis. Sungkai, bambu betung, aren, dan yang lain tumbuh menyebar. Mulai dari yang berdiameter kecil, sedang, hingga besar, semua ada di dalam hutan itu. Masyarakat Dayak menyebut hutan ini sebagai “tembawang”.

“Ini adalah hutan warisan,” kata Tumenggung Anuk. Ia memimpin perjalanan. Sejak berabad silam, leluhur-leluhur Dayak membagi hutan untuk anak cucunya. Satu petak untuk satu garis keturunan. Dari tembawang ini kehidupan masyarakat Dayak Tae digantungkan.


Desa Tae masih sangat kental dengan adat istiadat. Desa yang terletak di kaki Gunung Tiong Kandang ini adalah satu-satunya desa di Kalimantan Barat yang belum terjamah perusahaan perkebunan.

Suku Dayak memiliki hukum tak tertulis dalam memperlakukan hutan mereka. “Tak ada yang boleh menebang pohon di Tembawang,” ujar Tumenggung Anuk. Masyarakat Dayak percaya bahwa menebang pohon di hutan adat akan merusak keseimbangan alam. Tembawang itu dibiarkan begitu saja. Jika ada yang mati, barulah mereka boleh mengganti dengan tanaman lain. Jika ketahuan menebang pohon, hukumannya adalah dikeluarkan sebagai ahli waris.

Di perjalanan, kami bertemu dengan mata air. Tiga bambu mengalirkan air ke bawah. Di sampingnya ada jalan setapak menuju ke tembawang lain.

Ada delapan kampung yang masuk di wilayah Tae yaitu, Bangkan, Padakng, Peragong, Mak Ijing, Maet, Semangkar, Teradak, dan Tae. Masing-masing kampung punya 5 hingga 10 tembawang. Luasnya berhektar-hektar. Tapi tak ada yang tahu berapa tepatnya. Dan memang tak boleh ada yang tahu. Kata Tumenggung Anuk, “Biar tidak dijual.”

Mereka hanya boleh menjual hasil hutan pada tengkulak yang datang ke desa. “Tapi tak banyak, sebagian kami gunakan sendiri,” kata Melkianus Midi.

Tumenggung Anuk mengajarkan bahwa manusia hanya sebatas meminjam dari atas bumi. Maka manusia tak boleh serakah dalam memanfaatkan sumber daya alam. Petuah inilah yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak. Bahwa alam adalah pinjaman dari Sang Pencipta.

Sayangnya, Tae adalah salah satu dari 31 ribu desa di seluruh Indonesia yang wilayahnya masuk ke dalam kawasan hutan. Seluas 683,76 hektare wilayah Tae masuk ke kawasan hutan lindung, 1.434,87 hektare masuk ke dalam kawasan hutan produksi biasa.

Dari total luas 2.538,55 hektare, warga desa Tae hanya bisa memanfaatkan 16,54 persen saja, yaitu 419,92 hektare. Padahal jumlah penduduk Tae mencapai 1.398 Jiwa. Artinya tiap jiwa hanya bisa memanfaatkan 0,3 hektare lahan.

Kondisi ini membuat Tumenggung Anuk resah. Sebab bibit manusia tumbuh setiap hari, sedang bibit tanah, dapat dari mana?

Di jalan, kami makan buah pisang yang matang di pohon, minum air nira yang baru diambil dari pohon aren. Rasanya manis seperti air tebu. Lalu mandi di pitn terjun, air terjun. Brrr… segaar sekali. Di kaki Tiong Kandang ini, kami diberi kehidupan.


Usai berkeliling, kami singgah di rumah Pak Asung. Di sana kami disuguhi ketopat, jajanan ketan yang dibungkus dengan kantung semar. Ada juga buah rambai, ketep, belimbing merah, dan langsat.

Kami lanjut makan siang di Kampung Peragokng. Kampung itu yang letaknya paling dekat dengan Malaysia. Nasinya dibungkus dengan daun layang. Semakin besar daunnya, semakin banyak nasi yang kau dapat. Lauk makannya adalah daun pepaya, nangka, dan sambal hijau yang enak sekali. Kampung Peragokng memang terkenal dengan rasa masakannya yang enak. Nantinya, hingga perjalanan pulang, saya tak berhenti mengunyah.


To be continued

Part 3: Bertemu Dayak


Dua hari rasanya terlalu singkat untuk mengenalmu. Aku masih ingin tahu. Aku masih ingin tinggal. Dayak, kata Matheus Pilin, adalah peradaban yang pelan tapi pasti, akan hilang akar-akarnya.


Disambut Warga Desa Tae

Senja itu kami tiba di Desa Tae. Puluhan orang berkumpul di bawah janur hijau yang tampak dibuat dari daun kelapa. Janur itu dipasang melintang dengan tinggi 2,5 meter. Posisinya diatur hingga serupa gerbang.

Tiga orang laki-laki berdiri tepat di bawahnya. Mereka disebut Paca, artinya dukun. Dua memegang mangkok berisi beras kuning, yang seorang membawa ayam jantan. Kepala diikat kain kuning. Ada sehelai bulu panjang mencuat dari belakang kepala. Melihat kami datang, mantra-mantra ke luar dari mulut ketiganya. Beras kuning diciprat-cipratkan. Ayam jantan dikebas-kebaskan. Ritual “Nyamut Muai” dimulai.

Ritual “nyamut muai” adalah upacara adat Dayak yang dilakukan untuk menyambut tamu. Dalam adat Dayak, setiap orang yang masuk kampung, hutan, maupun sumber air harus diberkati. Mereka percaya bahwa di alam sana ada kekuatan yang harus dihormati.

Kami diminta untuk menyembelih ayam jantan hitam yang tadi dikibas-kibaskan. Mas Mansur tampaknya muslim, maka ia yang diminta menyembelihnya agar semua tamu bisa makan.

Krek.. ekrek.. ekrek..

Entah pisaunya yang tak tajam atau ayamnya yang kelewat kuat. Ayam itu tak terluka. Hanya sehelai bulu yang jatuh ke dalam mangkok tempat menampung darah.

Mas Mansur mencoba lagi.
Krek.. ekrek.. ekrek…

Penonton bergidik ngeri. Antara kasian dengan ayamnya, atau kasian dengan Mas Mansur yang mereka percaya akan kena junta (musibah), sebab ia tak berhasil memotong ayam.

Pisau berpindah ke tangan seorang Dayak. Sekali sayat, darah mengucur dari leher ayam jago yang menganga. Darah yang ditampung di mangkok kemudian diambil oleh Paca.

Sambil membaca mantra, Paca memasukkan sehelai bulu ayam ke dalam mangkuk berisi darah ayam. Lalu bulu ayam itu ia tempelkan ke dahi kami satu-satu. Saya melihat ada setetes darah ayam yang ditempelkan ke jidat Mas Mansur. Saat paca beralih kepada saya, mata saya memejam.

Mas Mansur gagal motong ayam
Sekali sayat, cuuuuur.....

Seorang gadis muda berpakaian adat Dayak warna merah mendekati kami. Ia membawa nampan sajen berisi pinang yang sudah dikupas, gambir, daun sirih, kapur sirih, dan rokok dari daun nipah. Orang Dayak menyebutnya Siakng. Tamu wajib memakan sirihnya lalu merokok nipahnya. Namun, jika tak bisa, kami boleh hanya menyentuhnya saja.

Upacara penyambutan dilanjutkan dengan melihat tari Ganjor yang diperagakan lima orang gadis desa. Mereka mengenakan kebaya dan kain. Kepalanya diikat, ada satu bulu panjang mencuat dari belakang ikat kepala. Tangan mereka berayun sesuai dengan irama dari alat musik bambu yang dipukul-pukul. Setelah itu, pertunjukan berganti dengan seorang pria melakukan beberapa jurus silat.

Upacara selesai, hari sudah larut. Kami tak jadi mandi di Sungai.

 
                       Paca

                   Siakng                                                                   Tari Ganjor

Malam itu kami tidur di rumah Pak Kepala Desa. Setelah mandi dan bersih-bersih, kami makan malam. Menunya adalah rebung, singkong, dan kisot, sejenis keong sawah. Saya tak ambil lauk ayam.

Kami makan malam bersama-sama dengan beberapa penduduk desa. Rumah Pak Kades penuh seperti sedang ada hajatan. Tapi di desa, apalagi yang mereka ajarkan selain kebersamaan? “Desa ini kompak,” bahkan Pak Nasution memuji.

Kami ramai-ramai makan kisot, semacam keong sawah yang menempel di bebatuan. Karena cangkangnya yang kecil, susah untuk mengambil dagingnya. Harus disedot mulutnya, ditiup pantatnya, disedot lagi, tiup lagi, dan ulangi hingga dapat. Mbak Tea dan Teh Ucha tampaknya sudah ahli. Mereka bisa mendapatkan daging kisot hanya dengan sekali sedot. Tak ayal mereka sudah habis satu piring, sementara yang lain menyemangati saya untuk menyedot satu kisot. “Sedot.. cup.. cup.. tiup dulu.. yak cup.. cup..” wajah saya merah kehabisan nafas.

Akhirnya saya menyerah dan ambil ikan gabus. Sluuurp…. Sedaaap… Saat asyik makan, lampu tiba-tiba meredup.
Klap.. klap.. klap….
“lhaaaaaa”
Gelap. Listrik satu kampung mati.

“Di sini ada listrik sehari 3 sampai 4 jam,” kata Emi. Dia adalah koordinator lapang Dayakologi di Tae. Ishak bilang, masalah listrik tak hanya terjadi di desa terpencil. Tapi juga kota Pontianak. Maka setiap rumah memiliki setidaknya satu lampu darurat.

Usai makan kami pergi ke balai desa. Tempatnya tak jauh dari rumah Pak Kades. Di bawah hujan rintik-rintik, kami berjalan dalam gelap.

Di balai desa sudah ada sekitar 20 orang. Mereka adalah warga dari kampung-kampung Desa Tae. Tumenggung Anuk adalah tetua adat. Desa Tae memiliki 8 kampung yang bernama Bangkan, Mak Ijing, Padakng, Peragokng, Maet, Tae, dan Teradak.

“Adil ka’ talino, bacuramin ka’ saruga, basengat ka’ Jubata..” Melkianus Midi, Kepala Desa Tae, membuka dengan salam. Itu adalah bunyi salam pembukaan Suku Dayak di Kalimantan Barat. Artinya harus adil sesama manusia, bercermin kepada hal-hal surgawi, dan mengandalkan Jubata di setiap aspek kehidupan. Jubata adalah sebutan untuk Tuhan.

Satu ruangan menjawab, “Arruuuuss… Arus… Arus…”

Kami berembug untuk menentukan kampung mana yang akan kami kunjungi esok hari. Sebab tak mungkin kami mengunjungi semuanya dalam satu hari. Tempatnya berjauhan. Medannya juga tak mudah. Tapi semua warga kampung, sepertinya berharap tim jurnalis mendatangi kampung mereka.

Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke 3 kampung, yaitu Bangkan, Padakng, dan Peragokng. Pulang dari Balai, kami berkumpul di rumah Pak Kades. Mendengar Tumenggung bercerita hingga larut.

Sejak masuk Desa Tae, saya kehilangan sinyal seluler. Otomatis, ponsel saya hanya berguna untuk mengambil gambar. Di sana, rasanya seperti terputus dari dunia luar.

Tak dicari. Tak terganggu. Begitu lepas.

To be continued

Part 2: Jalan Tak Bertuan

Jalan itu panjang dan berliku. Warnanya hitam dan merah. Di persimpangan, orang harus memilih. Mau ke surga atau neraka.


Jalan Trans Kalimantan. Kanan ke Malaysia, Kiri ke Desa Tae

Meninggalkan Kubu Raya, kami menuju Sanggau melalui jalan Trans Kalimantan. Jalan Trans Kalimantan lebar, lengang, dan berdebu. Tekstur tanahnya kasar. Sebagian sudah diaspal, kebanyakan belum. Jalan tak bertuan.

Trans Kalimantan adalah proyek gabungan antara pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Saat kami melewati jalan tersebut, kondisi tanah sudah rata. Kata Mas Giring, sebelumnya jalan itu bergelombang parah. Di Indonesia, jalan itu menghubungkan Pontianak dan Tebedu.

Sesaat setelah meninggalkan Pontianak, terlihat rumah-rumah penduduk terbuat dari kayu. Rata-rata adalah rumah panggung. Di bawah rumah-rumah itu, terlihat tanahnya hitam dan becek. Lahan gambut.

Lahan gambut habis, kini tanah berganti warna kuning kemerahan. Kanan kiri tak lagi rumah, melainkan pohon-pohon akasia yang habis dibakar. Lahan itu rupanya adalah proyek hutan tanaman industri yang gagal pada era Presiden Soeharto. Lahan itu kini mangkrak, tidak diperbaiki. “Itu karena pemerintah tak mau tahu apa yang dibutuhkan masyarakat,” celetuk Mas Giring saat di mobil.

Pohon akasia gosong lewat sudah. Pemandangan berganti dengan sawit, sawit, dan sawit. Ketika saya melihatnya, mereka tampak seperti robot laba-laba dalam film-film Hollywood. Yang sadis membunuh apapun disekelilingnya. Itulah sawit. Banyak makan air, egois dengan sesama, sekaligus tanaman terkuat untuk bertahan hidup.

Kami sampai di persimpangan. Jika ke kanan menuju Malaysia. Kami ambil yang kiri, menuju Desa Tae. Dari sini jarak ke negeri seberang memang lebih dekat daripada ke Pontianak.

Di Sambas, Kapuas Hulu. Penduduknya sering ditawari oleh Pemerintah Malaysia untuk sekolah di sana. Kata Mas Giring, fasilitasnya wah dan gratis. Mereka juga menyediakan asrama bagi pelajar. Maka tak heran, jika anak-anak bangsa di perbatasan banyak yang sekolah di Malaysia. Jika sakit, berobat juga di Malaysia.

Mas Giring tinggal di Malabo. Dari sana, naik motor 30 menit sudah sampai Malaysia. Tapi ia memilih untuk sekolah di Indonesia. Sekolah terdekat ada di Malosa. Perjalanan makan 7 jam, dan masih harus naik pikap 1 jam untuk sampai di kota.

Agar mudah, orang tua Mas Giring membangunkan pondok di dekat sekolahnya. Ada banyak pondok di sana. Tapi orang tua murid yang harus membangun sendiri. Mereka menyebutnya bukit taruna. “Sejak kelas 1 SD saya sudah bisa hidup sendiri,” katanya sambil terkekeh.

Jika sakit? “Diobati sama dukun kesehatan,” tawanya meledak.

Ironis. Saya kembali membuka jendela. Kali ini saya mencium udara Kalimantan dengan kesedihan.

To be continued