Merapal Mimpi

  • 0


Aku baru saja selesai menggoreng pisang ketika pintu depan rumah membuka. Seorang bocah laki-laki tau-tau menyeruak masuk tanpa mengucap salam. Bocah laki-laki yang lebih tinggi ikut masuk sambil menenteng koper-koper besar dan masuk ke dalam kamar. Ada seorang bocah lagi yang tingginya hampir mencapai bagian atas pintu, hanya senyum-senyum sambil tangannya meraih tanganku untuk disalami. Penampilan bocah yang satu ini sangat berbeda dengan kedua adiknya. Memakai seragam taruna lengkap dengan bet-bet besi di lengan dan bahu, serta topi khas polisi yang menutupi mata, tak ketinggalan sepatu fantofel hitam yang saking mengkilatnya membuatku curiga jangan-jangan aku bisa bercermin pada sepatu itu. Seorang wanita memakai baju krem dengan kerudung panjang mencapai perut masuk membawa tas-tas kresek besar. Dibelakangnya, seorang laki-laki berusia sekitar 50 tahun ikut masuk ke dalam rumah kecil itu. Tamu yang membuat Mbah Uti repot memasak seharian ini telah tiba. Satu-satunya anak lelaki Mbah Uti dari empat bersaudara. Aku memanggilnya Pakdhe Wiwit. Wanita dan tiga bocah lelaki jangkung tadi adalah istri dan hasil karyanya.

Naufal atau Nau, anak Pakdhe yang pertama berhasil lolos di seleksi penerimaan Loka Pengembangan dan Penelitian Penerbangan Banyuwangi (LP3B). Tinggal selangkah lagi, cita-cita masa kecilnya untuk menjadi pilot akan segera terwujud. Sore itu Pakdhe dan Budhe hendak mengantar Naufal kembali ke sekolahnya setelah libur panjang. Tak ketinggalan dua adik kecilnya turut mengantar kakak kebanggaan untuk menempa ilmu di tanah kelahiran Papanya. Sebelum mengantar putranya kembali menempa pendidikan, Pakdhe dan keluarganya berniat menginap dulu di rumah Mbah Uti.

Aura kebanggaan dan haru yang tak habis-habis sangat kentara keluar dari keluarga itu. Sebagai saudara sekakek-nenek, tentu saja rasa itu juga menular padaku. Siapa yang tidak bangga mempunyai sepupu yang berprofesi pilot? Sementara di luar sana banyak pesawat yang hilang atau jatuh. Dan saat aku menulis ini, pesawat AirAsia yang membawa 160 penumpang dari Surabaya menuju Singapura baru saja jatuh ke laut dan tidak ada yang selamat sementara MH730 yang hilang beberapa bulan lalu masih belum ditemukan. Melihat semua tragedi itu, sepupuku tak gentar dengan resiko besar yang harus ditanggung demi cita-cita masa kecilnya. Setiap pekerjaan pasti memiliki resiko, dan perihal nyawa selamanya milik Tuhan adalah harga mati. Oh, sungguh mulia anak itu.

Malam itu kita kedatangan tamu lain dari Jakarta. Teman-teman Nau sesama Taruna di LP3B. Namanya Gilang dan Yudis. Yudis berumur 16 tahun ketika lulus SMA tahun lalu. Dia siswa cerdas berprestasi dan menjadi salah satu siswa akselerasi. Sama seperti Nau yang berambisi menjadi pilot, dia langsung fokus pada satu tujuan tanpa menoleh kiri kanan. Tidak ada alternatif pilihan andai mereka tidak diterima sebagai taruna di LP3B. Walaupun sempat gagal masuk di sekolah penerbangan di Jakarta, optimisme tinggi menuntun mereka menuju apa yang mereka impikan sedari cilik. Barangkali jawaban asal mereka dulu saat ditanya “kalau besar mau jadi apa?” adalah jawaban yang konsisten sehingga berakhir menjadi doa yang tak sengaja dirapal. Doa itu kini terkabul.

Gilang berumur 22 tahun. Dia baru saja lulus kuliah. Dari kecil dia sudah kepingin jadi pilot, tapi tidak direstui oleh Mamanya. Keluar SMA, Gilang dipaksa kuliah ekonomi di salah satu perguruan tinggi negeri. Barangkali karena tidak ingin dikutuk jadi batu, Gilang menurut. Empat tahun dia bertahan untuk menjadi anak yang patuh terhadap orang tua. Masa yang dinanti-nantipun tiba. Gilang lulus tepat waktu. Seketika ijazahnya dia persembahkan kepada mama tercinta sambil meminta restu,”Ma, ini ijazah yang mama pingin. Sekarang ijinin Gilang untuk kejar mimpi Gilang jadi pilot.” Terdamparlah ia kini di sekolah penerbangan yang sama dengan sepupuku.

Malam itu Pakdhe dan Budhe tak henti-hentinya bercerita bagaimana putra terbesarnya ditempa sedemikian keras hingga sikapnya yang dulu manja dan ketergantungan kini sudah terpangkas habis. Mulai dari memanggang badan di atas aspal panas, mengepel dengan mulut, berendam di laut selama 15 jam, hingga minum darah dan makan daging ular tak bosannya mereka ulang pada setiap orang yang bertandang. Aku turut menikmati serpihan cerita yang bisa kupastikan kelak tak akan pernah dilupakan bocah yang tingginya hampir 2 meter itu.

Kabar gembira tak hanya datang dari keluarga kakak Ibuku itu. Aldhy, adik pertamaku baru saja memenangkan lomba desain banner yang diselenggarakan UBI beberapa hari yang lalu. Akhirnya.. hobi menggambarnya mulai tersalurkan. Aldhy suka menggambar dari kecil, saat SMP dia sering diminta membuat desain untuk dekorasi acara-acara di sekolahnya. Lulus SMP dia tidak mau bersekolah di SMA, dia meminta masuk SMK agar dia bisa belajar desain grafis lebih intim. Pilihan tepat. Sebagai kakak yang menyebalkan aku tidak bisa untuk tidak ikut terharu. Adik kecilku sudah menemukan jalan hidupnya. Ah, anak pendiam itu.. diam-diam membanggakan.

Beruntungnya anak-anak itu. Mereka yang berani bermimpi besar, lantas tak larut dalam tidur untuk menikmati mimpinya. Mereka segera bangun untuk merapalnya sebelum realita membuat mereka lupa pada mimpi semalam. Dan kemudian membuat mimpi itu menjadi nyata.

Selamat Menjadi :

No comments:

Post a Comment