Cinta Pertama

  • 0

Genteng, di sebuah kamar masa remaja

Pagi yang cerah di bulan musim penghujan, Bulan Desember. Kata orang jawa, Desember artinya Gede-gedene Sumber, banyak-banyaknya sumber air mengalir. Hujan memang tidak pernah absen mengguyur kota kelahiranku dalam sebulan ini. Pagi ini langit tidak menunjukkan tanda-tanda mau turun hujan. Awan gelap hanya merubung puncak Gunung Raung yang terlihat jelas dari jalan depan rumahku.

Saat aku menulis ini, Gunung Raung berstatus waspada. Gunung yang memiliki ketinggian 3.332 mdpl itu memiliki sejarah kelam rentang 5 abad terakhir. Meletus untuk pertama kali pada tahun 1586, tercatat banyak korban jiwa dan wilayah disekitarnya rusak parah. Sebelas tahun kemudian, tepatnya tahun 1597, gunung ini menunjukkan kemurkaannya lagi. Letusan kedua tak kalah dahsyatnya dan kembali mengambil nyawa manusia. Letusan dahsyat kembali keluar dari gunung yang berada di perbatasan Banyuwangi, Jember, Situbondo, dan Bondowoso pada tahun 1638. Banjir lahar menerjang di daerah antara Kali Setail Kecamatan Sempu dan Kali Klatak Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi. Namun letusan paling dahsyat terjadi pada tahun 1730. Wilayah yang terkena dampak ledakan lebih luas daripada letusan pertama, kedua, dan ketiga. Dan lagi-lagi, Sang Gunung meminta nyawa sebagai tumbalnya. Letusan demi letusan terjadi hingga tahun 1815. Selanjutnya, Gunung Raung relatif tenang. Kejadian yang terlihat hanyalah gempa bumi berskala kecil, semburan asap membara, dan adanya aliran lava di kaldera. Tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Hingga sekarang, statusnya kembali waspada.

Gunung itu masih megah walau sudah meletus berkali-kali dan masih membuatku tersipu manakala ada yang mengajakku mendakinya. Mengajakku mendaki gunung mungkin sama halnya dengan mengajak seorang wanita untuk makan malam romantis di pinggir pantai Jimbaran, Bali. Sang wanita akan berdandan sedemikian cantik, menghabiskan seluruh pagi untuk mencoba pakaian mana yang pas, kemudian tidak bisa tenang hingga malam datang. Aku juga sama. Ketika ada yang mengajakku mendaki, aku akan melatih fisikku sedemikian kuat, menghabiskan seluruh pagi untuk berolahraga, makan makanan yang bergizi, dan tidak bisa tidur hingga hari pemberangkatan. Aku tak pernah sabar untuk segera bertemu sang pujaan.

Perkenalanku dengan gunung terjadi saat aku duduk di bangku TK. Saat itu, Bu Annis menggambar dua bentuk garis lengkung yang sedikit lancip ke atas saling berjejer. “Anak-anak, ini adalah gunung,” Bu Annis memperkenalkan dua garis lengkung itu. Aku hanya mengangguk-angguk saja dan meniru gambar Sang Master. Setelah itu, hingga tamat SMP, ketika pelajaran menggambar, aku selalu menggambar gunung lengkap dengan teman-temannya. Sawah, sungai, dan hutan. Terkadang aku juga menyisipkan lautan di kaki gunung. Selama itu, aku hanya bisa meraba wajah gunung, tanpa tahu rupa yang sebenarnya. Aku selalu takjub melihat puncak Gunung Raung yang menyembul di antara deretan rumah di sekitar rumah mbahku. Apalagi ketika cuaca cerah tanpa awan, aku bisa melihat jelas lekuk-lekuk tubuhnya. Begitu dekat, tapi tak terjangkau. Saat itu, aku tidak tahu, bahwa mendaki gunung adalah mungkin. Bahkan untuk aku si kutu buku.

Aku sering melihat di televisi orang-orang yang gemar mendaki gunung. Mereka membawa tas besar yang baru kutahu ketika aku berumur 18 tahun bahwa itu namanya tas carrier. Pemandangan yang disorot kamera itu selalu berhasil memukau mata. Tapi aku tak pernah percaya pada gambar yang terekam televisi. Aku lebih percaya pada apa yang ditangkap lensa alami pemberian Tuhan. Tidak ada kamera yang resolusinya lebih besar daripada mata manusia. Panorama itu pastilah jauh lebih indah jika aku melihatnya sendiri. Lalu aku membayangkan diriku mencangklong tas carrier.

Hingga datanglah hari itu. Sebuah siang di bulan Maret pada tahun 2013. Seorang teman mengajakku mendaki Gunung Ijen. Gunung yang terletak di perbatasan Bondowoso dan Banyuwangi. Tingginya memang tidak seberapa, hanya 2.443 mdpl. Tapi walaupun begitu, namanya tetaplah gunung. Tentu saja aku menerima tawaran itu dengan suka cita. Siang itu aku membatalkan janji kencan dengan Alit dan langsung melaju dari Jember ke Banyuwangi. Alit adalah pacarku kala itu, dan aku tidak pernah bermimpi mendapatkan kesempatan mendaki gunung untuk yang kedua kali hingga akhirnya aku berani melanggar janji kencanku. Toh aku masih bisa ketemu dia kapanpun aku mau, begitu pikirku. Demi melihat raut muka dia yang selama ini hanya bisa kugambar.

Kami berangkat bersebelas dari Genteng sekitar jam dua siang. Sampai di paltuding sudah hampir maghrib. Malamnya, kami tidur di shelter terbesar yang berada di pinggir lapangan. Aku kedinginan, teman-temanku kedinginan. Begitu dingin. Seperti masuk ke dalam kulkas raksasa. Malam itu kami membuat api unggun, dan bercengkrama di bawah atap hotel bintang sejuta. Langit.

Sekitar pukul 03.00 kita memulai pendakian. Jalan yang semula datar tiba-tiba menanjak ketika mulai masuk hutan. Loh? Loh? Kok naik? Aku tidak siap. Aku lupa kalau gunung itu tidak datar. Di dahiku mulai muncul keringat dingin. Perjalanan pertamaku ini ditempuh dengan sangat lama, karena sebentar-sebentar berhenti. Ditambah ada seorang temanku yang hampir pingsan. Semakin siputlah jalan kita. Aku sendiri juga merasa mual. Tapi kupaksakan langkahku. Aku tidak mau berhenti sebelum sampai di garis finish.

Akhirnya, sampailah kita tepat saat matahari mulai terbit. Puncak Kawah Ijen. Rasanya seperti menyembul ke atas awan. Aku melihat gumpalan kapas yang bertebaran di bawahku. Di depanku, kaldera seluas 1.200 meter persegi menjadi mangkuk bagi si danau hijau yang berasap. Dari bawah sana bermunculan lelaki perkasa memanggul belerang seberat 80 kg. Para penambang belerang. Setelah lelah berjalan dan mengambil gambar, kami tertidur di pinggir kaldera. Saat itu, aku sadar, bahwa mendaki gunung adalah mungkin. Bahkan untuk aku si kutu buku.

Aku tiba-tiba merasa menang dari televisi. Sudah kubilang, tak ada yang lebih cantik dari apa yang dilihat mata. Seperti bertemu kekasih yang lama terpisah.  Aku tidak rela lekas beranjak dari dingin dan ketinggiannya. Pada pertemuan pertama itu, aku jatuh cinta. Cinta pertamaku.

Selama ini aku selalu skeptis pada orang-orang yang suka mendaki gunung. Untuk apa sih mendaki gunung? Setelah ketemu puncak, trus ngapain? Turun? Udah, gitu aja? Tapi hari itu, aku mengerti. Makna mendaki gunung tidak berhenti sampai kita sudah berhasil turun. Pelajaran dan pengalaman yang kita peroleh selama perjalanan akan selamanya hidup dan membekas. Kamu mengerti kan? Jika belum, tunggulah aku menceritakan perjalanan lain yang mungkin akan membuatmu mati karena bosan.

Cinta ini adalah murni, bukan mengada-ada. Aku bisa saja menikahi samudra, tapi aku tidak bisa memilih untuk tidak mencintai gunung.

dari kiri: jarot, wisnu, gege', billy, maya, ricahk, cephi, lupa, hanif, mugar, lintang


Pagi itu kita memijak daratan yang lebih tinggi dari biasanya
Sejengkal saja kepalaku di bawah langit
Mendekat aku padamu
Meredam dingin yang hangat
Malam lalu kita di bawah bintang yang sama
Menuju ke atas awan
Kita bertatap muka
Memudarkan dinding jarak yang menghalangi
Hanya sunyi terdengar
Hingga canda meleburkan perseteruan kala lalu
Aku dan kamu
Kepada bara kita bercerita
Berbagi panas untuk melelehkan es dalam hati
Bergandengan pada setiap tarikan nafas yang putus-putus
Aku dan kamu
Tertidurlah di atas puncak itu
Hati yang berkelana
Di bawah persatuan matahari dan embun
Di atas awan


No comments:

Post a Comment