Langkah Pertama

  • 1
 “Tulis.” Kata Wisnu dalam sebuah chatt BBM suatu sore. Sebuah kata yang bisa menjadi kata benda bila disisipi akhiran –an dan berubah menjadi kata kerja bila diberi awalan me-. Sebuah kata yang sudah lama kutinggalkan namun tak pernah kulupakan.

Ada semacam luapan euforia dalam otakku ketika aku mulai berniat menulis lagi. Rasanya otakku ingin memuntahkan semua imajinasi yang selama ini disumpal kesibukan dan keengganan yang cukup lama. Sebenarnya, selalu ada jeda yang berpola sama untuk (mungkin bisa disebut hobi) gaya menulisku ini. “Dasar penulis musiman!” Demikianlah Alit mengolokku. Yang kuterima dengan ikhlas karena memang begitulah adanya. Tapi aku punya istilah yang lebih halus, titik jenuh. Setiap orang pasti punya kukira.

Penulis dengan banyak titik jenuh sepertiku hanya akan menulis dalam tiga musim. Pertama, ketika aku sedang sakit hati. Jangan identikkan sakit hati dengan pikiran yang galau. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) galau berarti pikiran yang kacau tidak karuan, sedang sakit hati berarti hati yang tidak sehat. Itu sangat berbeda, kawan. Galau hanya terjadi ketika ada sesuatu yang sulit diputuskan oleh otak dan mengakibatkan stress, macet pikir, dan rawan obesitas. Loh? Karena galau menghabiskan banyak energi dan glukosa yang menyebabkan rasa lapar berkepanjangan. Setidaknya itu yang kualami.

Sedang sakit hati mengakibatkan dada sesak, mata bengkak, nafsu makan turun, dan pikiran nyalang. Sakit hati karena tidak bisa memiliki, memaksaku berimajinasi untuk memiliki. Dan saat aku menuliskan ini, hanya seseorang dari langitlah yang mendominasi alam sadar hingga alam tak sadarku. Sebut saja Bunga. Sialan! Ketika tidur yang kukira akan membebaskanku dari rindu, dia suka datang dengan jumawa. Seakan tak rela jika aku tidak merindukannya barang sedetik. Aku memang kerap mengarunginya meski ia mengurangiku. Mungkin itu sebab Tuhan mengurung niat mengarang kisah kami. Begitu yang dikatakan Dewi pada sebuah status BBMnya.

Rindu merupakan sebuah bentuk rasa sakit pada hati. Hingga detik inipun, aku belum tau bagaimana cara memperlakukan rindu. Kata orang, telepati itu ada. Pikirkan orang yang kau rindukan teramat sangat, maka orang itu akan memikirkanmu juga. Ah, cara itu hanya akan menumbuhkan harapan yang akan membuatku semakin sakit jika ternyata tidak berwujud. Dan seberapa besar harapan yang boleh kugenggam adalah sebesar hatiku mampu menampung kekecewaan. Sayangnya, aku terlalu anti pada rasa sakit. Maka biarlah kekesalan yang disebabkan oleh rindu tak sampai ini kulampiaskan pada barisan kata yang bisa jadi tak layak dibaca.

Kedua, ketika musim hujan. Hujan adalah suplemen alami yang bisa membuat seseorang menjadi melankolis romantis. Lihat saja ketika hujan tiba, akan banyak pujangga dadakan yang bermunculan di media sosial. Katanya, seseorang yang paling tidak romantis pun akan tidak tahan untuk tidak membikinkan kekasihnya secarik puisi. Entah itu karya sendiri, entah itu berkat menjarah makhluk tak kasat mata yang bernama internet. Yang penting, bikin puisi!

Tapi sepertinya hal itu hanya berlaku untuk mereka yang memiliki seseorang dihati. Dan seorang yang berhati kosong selamanya akan mengutuki hujan yang membuatnya terjebak di suatu tempat dan bersyukur ketika hujan tiba di sabtu malam.

Bagiku, hujan adalah guru yang terbaik. Dia masih terus gigih datang kembali meski tau rasanya jatuh berkali-kali. Dan itu cukup memotivasi diriku yang sangatlah rentan kesepian. Yup. Hujan dan sepi adalah perpaduan paling romantis yang bisa membuatku sangat melankolis. Ketika tak ada seorangpun yang bisa memahamiku, terjadilah dialog antar “aku” melalui tulisan yang lagi-lagi masih tak layak dibaca.

Ketiga, aku menulis ketika aku ingin. Inilah hambatan luar biasa berat bagi seorang berdarah O yang cantik jelita sepertiku. Aku tidak menulis untuk dipuja, aku menulis tidak untuk dibayar. Aku menulis karena aku ingin. Bukan berarti aku tidak peduli sebagai pembaca, aku hanya tidak ingin memunculkan mindset sebagai penjual, sebagai pemuas. Yang aku juga akan merasa terpuaskan bila tulisanku dibaca ribuan orang. Karena itu berarti aku harus sangat berhati-hati agar pembaca senang dengan tulisanku dan bisa jadi aku melupakan “aku”. Aku tidak suka tuntutan.

Aku menulis karena aku butuh tempat untuk mewadahi imajinasiku yang meluber, dan otakku terlalu sempit menampung memori puluhan tahun. Aku menulis hanya untuk merajut kenangan masa silam. Bagiku, setiap kenangan adalah sejarah yang pantas diberi tempat agar tidak dilupakan. Meskipun pahitnya seperti buah pare, aku tidak akan menjadi aku yang hari ini tanpa aku yang hari lalu. Bukankah begitu? Menulislah, maka kau pun ada.

Here we go..

Begitulah hingga pada akhirnya blog ini tercipta. Sebuah rentetan tulisan pada setiap perjalanan dari seorang perempuan pecinta dongeng yang sedang dalam perjalanan membuat dongengnya sendiri. Inilah langkah pertamanya. Sebuah Safarnama, bukan Safarnama milik Nasir Khusraw (1003 - 1077), buku perjalanan yang memberi pengaruh pada penulisan catatan perjalanan Persia klasik. Ini juga bukan Safarnama milik Agustinus Wibowo dalam buku-buku perjalanannya. Ini adalah Safarnamaku. Perjalananku.

Selamat menikmati, untuk entah siapa..


 

1 comment: