Nad, seperti apa rasanya..?

  • 0


Ini adalah pertama kalinya aku mencari rumah Nadiya, setelah empat tahun lebih aku kenalan dengannya. Tepatnya di daerah Mangli, Jember. Rumah Nadiya memiliki halaman yang luas, dengan sebuah pohon mangga di samping rumahnya. Pagar dinding putih setinggi dada mengelilinginya. Bendera putih berlambang tanda plus (+) warna hijau berkibar-kibar di atas pring yang menancap vertikal di depan pagar.

Nad, walaupun sebelumnya aku belum pernah mengunjungi rumahmu, aku tidak pernah berharap akan pergi ke rumahmu tanpa bertemu denganmu.

Ibu Nadiya mempersilakan kami masuk ke dalam rumah yang pernah ditinggali Nadiya. Ruang tamu yang biasa berisi meja kursi untuk menerima tamu kini berganti dengan karpet hijau lengkap dengan kue-kue di pusatnya.

Nad, Ibumu mirip sekali denganmu, mungkin kamu akan serupa beliau saat kamu dewasa ya Nad?

Kami bernostalgia saat-saat terakhir Nadiya sebelum pergi. Nadiya sakit sejak seminggu sebelum kepergiannya. Ah, teman macam apa aku ini? Bahkan saat Nadiya masuk rumah sakit aku tidak tahu. Aku sangat menyayangkan tidak sempat menjenguknya saat dia dirawat di rumah sakit. Diagnosa awal Nadiya mengidap sakit lambung, selama lima hari berada di rumah sakit A, Nadiya tak kunjung sembuh. Selanjutnya Nadiya dipindah ke rumah sakit B. Di sanalah baru diketahui bahwa bukan lambung saja yang bermasalah, namun usus Nadiya melintir sehingga menyebabkan lambungnya membengkak. Hanya dua hari Nadiya dirawat di sana. Nadiya wafat saat perjalanan kembali ke rumahnya.

Andai rumah sakit A tidak terlewat mendiagnosa penyakit usus melilitmu, Nad.. Mungkinkah kamu masih bisa membukakan pintu rumahmu saat aku menjengukmu?

Aku masih ingat betul wajah Nadiya yang pucat pasi saat seminar proposalnya. Bu Agustina keras sekali menguji Nadiya kala itu. Tapi bukan Nadiya namanya kalau hanya karena itu dia jadi patah semangat. Dia menjawab semua pertanyaan yang memucat itu dengan cengiran lebar. Kontras sekali dengan raut bu Agustina yang tertarik tegang. Membuat semua audience terkakak kikik. Nadiya adalah teman terkuat sekaligus tercerewet yang aku kenal.

Nad, aku kadang iri, kamu selalu bisa menyegarkan suasana dimanapun kamu berada. Kamu teman yang baik, Nad.

Kabar mengenai tutup umur Nadiya di pagi buta tentu saja mengagetkanku. Aku seperti tidak percaya. Sekali lagi Tuhan memperingatkan kepada manusianya, bahwa mati muda bukan hal yang mustahil, bahwa kita bisa dipanggil kapanpun Tuhan mau. Siap atau tidak. Kita hidup di dunia ini seperti menunggu giliran. Bagaimana kelanjutan hidup kita setelah dipanggil tergantung bagaimana kita memaknai arti hidup selama menunggu itu.

Rasanya aneh, Nad. Kita seumuran, tapi kamu merasakannya lebih dulu. Nad, seperti apa rasanya.. mati?

Nadiya (28-05-1992 - 29-12-2014)

No comments:

Post a Comment