Bagian 9 : Sebuah Tiket

  • 0

Sebelum ingatan saya memudar, ijinkan saya menyusun kembali memori yang kini tinggal serpihnya. Masih tentang kehidupan yang barangkali sudah jemu kau baca. Maka agar kita bisa bersama-sama segera membuat cerita dengan genre yang baru, saya akan mengabarkan berita ini dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Sesingkat pidato proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dirayakan tepat pada dua hari yang lalu.

***

Akhir Juni saya masih ada di Jakarta. Siang itu saya hendak pergi ke Salihara untuk mengikuti piknik sastra bersama Ayu Utami. Sebelum pergi ke Salihara yang berada di Jakarta Selatan, saya mampir dulu ke stasiun Jatinegara untuk membeli tiket mudik. Berkat bujuk rayu orang tua, saya setuju untuk pulang saat lebaran. Dengan catatan saya akan kembali lagi ke Jakarta usai hari raya.

Saya berencana pulang tanggal 7 Juli, H-10 idul fitri. Tiket sudah ditangan ketika saya menunggu commuter line jurusan Pasar Minggu, menuju Salihara. Ketika menunggu itu saya mendapat sms dari Tempo yang memberitakan bahwa saya lolos interview ke tahap selanjutnya. Saya terkejut. Sebab sangat jelas bahwa di pengumuman beberapa hari yang lalu nama saya tidak tertera di sana. Saya balas sms itu untuk memastikan kebenaran berita itu. Ternyata saya memang lolos. Pihak Tempo meminta maaf karena telah selip tidak memasukkan nama saya ke daftar hasil seleksi.

Beruntung wawancara panel dilakukan sebelum tanggal kepulangan saya. Setelah wawancara panel, masih ada dua tes lagi. Saya tetap pulang sesuai jadwal karena pelaksanaan tes dilakukan setelah lebaran. Bagi yang lolos.

Tanggal 10 Juli saya sudah berada di rumah ketika saya mendapat telepon dari Tempo. Saya lolos untuk kemudian mengikuti tes toefl tanggal 27 Juli. Akhirnya saya berangkat lagi ke Jakarta tanggal 24 Juli.

Tes toefl yang bertempat di British Institute dihadiri oleh 41 orang. Menurut kabar, hanya 20 orang yang akan diambil hingga akhir. Seminggu lebih kami menunggu kabar dari Tempo yang tak kunjung ada.

Saya sedikit pesimis. Sebab saat tes banyak nomer yang tidak benar-benar saya pikirkan. Apalagi soal listening. Saya seperti sedang mendengarkan orang yang bicara sambil berkumur.

Seminggu menunggu saya putuskan untuk membuat rencana lain. Selain menunggu keputusan Tempo, saya juga menunggu panggilan dari media-media lain. Ada belasan media yang saya kirimi lamaran. Majalah Kartini, Geotimes, Magazine, Suara.com, Kontan, Gramedia, dan media lain di Jakarta. Saya juga mendaftar Jelajah 1000 Jurnalis dan Sail Tomini 2015.

Kali itu mental saya lebih siap dengan apapun yang akan terjadi. Saya datang ke Jakarta Kota pada suatu hari. Saat itu saya teringat pada novel berjudul From Batavia with Love yang saya baca saat SMA. Dari novel itu saya terinspirasi untuk membuat novel fiksi sejarah. Lantas saya mengunjungi museum-museum yang berada di Kota Tua untuk melakukan riset. Tak harus jadi wartawan untuk jadi seorang penulis.

Hari-hari selanjutnya, saya menyibukkan diri dengan mengikuti diskusi di Yayasan Pantau, briefing media di Hotel Century, serta aksi Kamisan di Monas yang diselenggarakan KontraS. Setelah meliput demonstrasi penolakan rekonsiliasi di gedung Kejaksaan Agung bulan lalu, saya tertarik juga menjadi aktivis Hak Asasi Manusia. Kebetulan saya kenal dengan salah satu anggota KontraS. Saya ditawari untuk menjadi relawan LSM tersebut.

Ketika saya beritahu Ibu perihal keinginan saya bergabung dengan KontraS, Ibu menolak terang-terangan. Beliau takut nasib saya akan sama seperti Munir. Tapi saya berkeras bahwa saya ingin bekerja untuk kemanusiaan. Masalah hidup dan mati sudah ada yang mengatur.

Tapi niat saya untuk menjadi relawan Hak Asasi Manusia harus diurungkan. Sore saat saya mengikuti aksi kamisan di Monas itu saya mendapat telepon dari Tempo bahwa saya lolos dan harus melakukan tes kesehatan keesokan harinya. Hanya ada 15 orang yang lolos rupanya.

Hasil tes kesehatan akan diumumkan setelah tiga hari kerja. Jika lolos, saya bisa tanda tangan kontrak dengan Tempo pada tanggal 24 Agustus. Dua minggu lagi. Saya putuskan untuk pulang dan menunggu di rumah. Dua hari berada di rumah, saya dinyatakan bisa bergabung dengan Tempo dan tanggal 24 Agustus dihitung sebagai hari pertama kerja.

***

Saya memang sengaja menyembunyikan berita ini hingga akhir. Bukan apa-apa, saya hanya tidak mau mengecewakan penggemar untuk kesekian kalinya. Hahaha.

Tapi saya tetap tidak melupakan orang-orang yang selama ini berdiri di samping saya. Memapah dan mendorong agar saya segera bangkit. Kepada mereka, sungguh terima kasih yang tak ada habisnya. Akhirnya saya mendapatkan tiket itu. Sebuah tiket yang akan mengantar saya menuju apa yang mereka sebut cita-cita. Memang ini hanya sebuah pencapaian kecil, tapi tidak akan mampu saya raih tanpa adanya kamu. Iya, kamu. Kamu semua.


Untuk selanjutnya..
Biarlah, biarlah perjuanganku menjadi kebisuan dan nanti keberhasilanku yang akan menjadi berisik.

No comments:

Post a Comment