#part 5 : Terlelap di Ujung Ladang

  • 0
Cangar, 18 April 2014

10 meter dari tempat pemberangkatan kita

*Thunder light*
CETTAAAAAAARR……GLUDUG..GLUDUG..

Kita dilepas dengan petir yang menggelegar.

Ketika kami berangkat saat itu sudah hampir maghrib. Bapak penjaga pos meyarankan agar kami menginap dulu di pos baru besok paginya berangkat. Tapi kami tetap ngeyel berangkat saat itu juga. Takut kehabisan waktu. Kata Mas Penceng kita nanti akan menginap di ujung ladang.

Kami melewati ladang penduduk. Jalannya licin dan mulai gelap. Aku dan kawan-kawan yang membawa senter menyalakan senter kami. Senterku dibawa Icham karena dia berada di depanku dan dia tidak memegang senter. Aku sering terjatuh karena cahaya terhalang oleh postur tubuh Icham yang tinggi.

Walaupun masih permulaan, sebagian dari kami yang tidak pernah naik gunung dan jarang olahraga sudah ngos-ngosan. Semakin lama jalannya semakin menanjak. Tiap ada lahan yang luas, kita berhenti untuk beristirahat. Saat berada di depan bangunan yang tampaknya gudang, tiba-tiba Icham bilang,”Eh, aku tadi di jalan bau melati loh.” Kemudian yang lain tiba-tiba ikutan bercerita hal-hal yang membuatku merinding. Huuush… sudah cukup! Ayo jalan lagi.

Beberapa meter sebelum ujung ladang, kubangan air di jalan setapak membuat kita harus menepi ke pinggiran sawah. Aku saat itu berada tepat di depan Alit. Jujur saja keseimbanganku memang parah. Aku mencoba menggapai-gapai rerumputan tinggi untuk kujadikan pegangan. Alit berusaha membantuku. Dia memegang sambil mendorong tubuhku ke depan. Bukannya tertolong aku malah kehilangan keseimbangan. “Jangan didorong!” aku berseru sambil melepaskan pegangan tangan Alit dari tanganku. Dia terhempas dan kakinya terjatuh ke dalam kubangan. Sepatunya penuh dengan lumpur. Dia menggerutu keras-keras. Aku tidak berani melihatnya. Tapi aku benar-benar menyesal saat itu.

Sampai di ujung ladang, laki-laki segera mendirikan tenda, sedangkan yang perempuan memasak nasi dan membuat sup. Sambil menunggu nasi matang, aku membersihkan kakiku. Kulihat Alit sedang membersihkan sepatunya. Aku berniat membantu. “Nggak usah!” tolaknya. Sepertinya dia marah. Sepanjang malam itu dia tidak mau menyapaku.

Selesai makan malam, kami masuk ke tenda masing-masing. Kami mendirikan tiga tenda. Satu tenda untuk enam orang, dan dua tenda masing-masing empat orang. Nenek, Icham, Fian, dan Wisnu berada dalam satu tenda. Malam itu aku, Fani, dan Cepi berada dalam satu tenda. Kami hanya bertiga, sedangkan delapan orang yang lain berada dalam tenda yang paling besar.

Malam itu aku merasa kedinginan sekali. Mungkin karena belum terbiasa. Selain keseimbanganku yang loyo, kemampuan adaptasiku memang lemah. Aku tidak kuat udara dingin. Ditambah lagi dengan sedikitnya orang di dalam tendaku. Luasnya rongga kosong yang diisi dengan udara dingin membuat gigiku semakin bergemeletuk. Aku menggigil luar biasa. Dadaku sesak. Aku tidak bisa berbaring. Akhirnya aku duduk dan memeluk kakiku yang berada di dalam sleeping bag.

Tiba-tiba ada yang membuka pintu tenda. Alit muncul di depanku,“Heh, kamu kenapa?”
Aku hanya diam. Masih menggigil. Kulihat dia memakai jas hujan. “Kamu mau pakai jas hujan juga? Anget lo,” dia menawarkan. Aku menggeleng, tapi dia memaksa. Akhirnya aku mengambil jas hujanku.  “Cep, kamu dingin juga Cep? Ini pake jas hujanku!” Dia memberikan jas hujannya kepada Cepi. Aku tau dia tidak membawa sleeping bag. Sleeping bag yang dibawanya dipinjamkan kepada Nenek. Dan sekarang dia mau memberikan satu-satunya yang membuatnya hangat kepada orang lain. Ya, dia memang baik. Tapi aku benci dia melakukannya. Aku benci melihatnya berkorban untuk hal-hal yang tidak perlu. Untuk sleeping bag? Oke itu perlu. Untuk jas hujan? Oh, ayolah.. kita semua yang ada di situ membawa jas hujan. Jadi kenapa dia tidak menawarkan untuk mengambilkan jas hujan didalam tas daripada harus meminjamkan jas hujan miliknya? Ah, sudahlah.. Aku mau istirahat saja.

Keesokan harinya, aku bangun ketika matahari sudah benar-benar muncul. Mungkin jam setengah enam pagi aku keluar dari tenda. Kulihat tenda paling besar yang berada di depan tendaku. Ada dua manusia yang tidur di depannya, satu berada di sleeping bag, itu Gosong. Satu lagi hanya melungker dengan jaket gunungnya, Alit. Aku semakin kesal kepadanya. Kenapa semalam dia tidak mau masuk ke tendaku? Padahal dia tahu banyak ruang kosong di dalamnya. Entahlah, aku juga tidak paham kenapa dia hobi sekali menyakiti diri sendiri.

Pagi itu kami segera membongkar tenda karena tanah tempat kami tidur semalam adalah jalan yang digunakan petani Cangar berlalu lalang. Tepat di bawah lahan kami berkemah terdapat sumber air. Beberapa turun ke bawah untuk memenuhi isi jurigen yang sudah berkurang. Sambil menunggu para lelaki berkemas, aku dan Cepi memasak nasi. Karena waktu yang mepet, menu pagi hari ini adalah nasi putih, sambal goreng tempe, dan telur asin. 
Ayo ndang dibongkar, gae lewat pak tani iki dalane rek..

maen masak-masakan yok Cep..

tada... our breakfeast !!!
Perjalanan kita masih panjang. Kita harus cepat-cepat berangkat agar tidak kemalaman. Aku tidak mau mendengarkan Icham atau siapapun bercerita kalau baru saja mencium aroma-aroma ganjil bahkan melihat sesuatu yang tidak diinginkan. Lebih dari itu, perjalanan malam hari memang tidak aman.

Jam 09.30 kami selesai berkemas dan siap menuju ke tempat pengungsian selanjutnya, Lembah Kembar. Tampaknya kulkas carrier yang dibawa oleh Mamel luar biasa beratnya. Dia tidak mampu berdiri tanpa bantuan dari yang lain. Akhirnya dia meminta pembalut kepada Nenek untuk diletakkan di atas bahunya. Hehe kasian sekali.
           Kanan : Mamel dan carrier kulkasnya. Kiri : memasang pembalut

Sebelum berangkat kita semua berdoa kepada Tuhan agar diberi keselamatan dan kelancaran dalam perjalanan. Hari ini kita akan masuk hutan, tempat yang bukan rumah kita sendiri. Sama halnya ketika kita berkunjung ke rumah orang, ada banyak hal yang harus diperhatikan. Selalu rendah hati dan meminta ijin kalau hendak meninggalkan hajat. Tidak semaunya sendiri dan melakukan hal-hal yang tidak disukai orang lain. Don’t forget, this is the jungle !

to be continued...

#part 1: Menuju 3676 mdpl 
#part 2: Terpisah
#part 3: Menggelandang Malang
#part 4: Menjalankan Rencana B
#part 5: Terlelap di Ujung Ladang
#part 6: Mendaki Gunung
#part 7: Badai Pasti Berlalu
#part 8: Di Dalam Awan
#part 9: Hal yang Wajib Dilakukan ketika Naik Gunung

No comments:

Post a Comment