#Part 6 : Mendaki Gunung

  • 0
Ujung Ladang, 19 April 2014

Mendaki gunung, lewati lembah..
Sungai mengalir indah ke samudra..
Bersama teman, berpetualang..

Tampaknya itulah satu-satunya lagu yang mampu mendikripsikan 14 orang keren yang ingin menaklukan Gunung Arjuno kali ini. Bagaimana tidak, hanya dua orang diantara kami yang pernah menapak di ketinggian 3339 mdpl gunung ini. Aku naik Gunung Ijen saja sudah gempor, tiba-tiba sekarang sudah berada dalam perjalanan menuju puncak gunung terangker di Indonesia ini. Ya, berdasarkan informasi dari internet, Arjuno adalah gunung paling angker diantara gunung-gunung lain di Indonesia.

Mitos dari gunung ini ada banyak. Pertama, gunung ini dulunya adalah gunung yang dijadikan tempat Arjuna dalam kisah pewayangan untuk bertapa, sehingga bia dibilang kalau Arjuno adalah gunung yang kramat. Kedua, untuk mencapai puncak, kita akan melalui alas lali jiwo yang konon katanya akan membuat orang-orang jahat tersesat dan hilang dalam alas ini. Ketiga, ada sebuah pasar dieng atau pasar hantu yang berada di pemakaman para pendaki yang meninggal dan dikubur di sana. Pasar itu akan ramai di malam-malam tertentu saja. Keempat, jika pendaki mendengar gending pengantin sebaiknya pendaki segera kembali turun, sebab gending itu mengisyaratkan bahwa bangsa jin yang berada di Arjuno sedang mencari anak manusia untuk dikawinkan dengan bangsanya, istilahnya “ngunduh manten”. Banyak yang tidak kembali setelah mengaku mendengar suara gending itu namun tetap memaksa naik.

Siang itu sebenarnya cuaca cerah, tetapi rimbun pepohonan menghalangi sinar matahari masuk ke dalam hutan, kabut juga semakin tebal. Sekitar satu jam berjalan, keadaan masih aman, kesehatan belum berkurang. Hanya sedikit lelah yang wajar hingga membuat kita berhenti di titik-titik tertentu. Tampaknya Mamel lah yang paling kelelahan, carrier yang dibawanya memang luar biasa. Luar biasa menyiksa. Di tambah lagi dengan medan yang katanya Fian kurang ajar.

Hutan itu memang masih wingit. Jarang ada orang yang mau mendaki Arjuno. Berbeda sekali dengan Ijen yang jalannya lebar ataupun Semeru yang walaupun sempit tapi terlihat mata. Jalan setapak di Arjuno sudah tertutup oleh semak-semak tinggi di kiri kanannya sehingga tidak terlihat oleh mata. Kami harus meraba-raba untuk membuka jalan di depan. Banyaknya pohon tumbang yang melintang di jalan membuat langkah kami terhambat. Jalan yang basah dan licin juga mempersulit keadaan.
Jalan tertutup semak belukar

meluruskan kaki di lahan yang tidak bersemak
bukan hanya pohon yang bisa tumbang, kami pun bisa @diatas pohon tumbang

Tes..tes.. Aduh, hujan. Sial, benar kata Bang Ahim. Arjuno tampaknya sering hujan. Aku tidak segera memakai jas hujanku. Mungkin ini hanya gerimis, tidak perlu terlalu khawatir. Firasatku benar, gerimis tidak bertahan lama. Udara kembali kering, hanya kabut yang masih tebal.

Tiba-tiba tetes-tetes air yang lebih besar datang, mereka main keroyokan. Aku kelimpungan, segera membuka carrier untuk mengambil jas hujan. Aku berhasil memakainya sebelum basah kuyup. Meskipun hujan, perjalanan masih berlanjut.
berjalan di bawah gerimis

kabut tebal sepanjang jalan


Jam 12.00 kami sampai di Watu Gede. Kami menyebutnya demikian karena ada batu yang besar sekali di pojok lahan yang sedikit luas itu. Luasnya cukup untuk membangun tiga tenda berhimpitan. Langit sudah tidak menangis ketika kami sampai d situ. Kami memutuskan beristirahat yang lebih lama karena si Mamel minta makan. Akhirnya kita masak lagi untuk makan siang. Kali ini Mamel sendiri yang memasak untuk kami semua. Ternyata preman kampus bisa masak juga ya.. hahaha


Sambil menunggu Mamel masak oseng-oseng dan Rohim masak nasi, aku, Icham, Gobes, dan Gosong membuat api unggun. Aku dan Icham menghangatkan kaus kaki yang basah kuyup karena hujan tadi. 


Makan siang siaaap !!! Kami semua mengerumuni masakan Mamel. Hmm… lezat.. Entah itu memang lezat, atau karena kami begitu lapar dan tidak ada yang lain? Who’s care? Kami merasa senang sudah sampai sejauh itu.
Mas Penceng : Ditinggal mangan, #akurapopo

No comments:

Post a Comment