#part 1 : Menuju 3676 mdpl

  • 0
Kali ini aku ingin merakit kembali potongan-potongan kenangan yang sempat tercecer. Masih tentang cinta yang sama. Gunung.


Berawal dari sebuah Personal Message (PM) di BBMku tertanggal 31 Maret 2014. Saat itu aku menulis "rindu ketinggian". Selang beberapa menit bunyi notifications khas Blackberry Messenger berdering di smartphoneku. "sama," kata David yang biasa kupanggil Mamel di chatt BBM. "Ayok mel.. naik gunung," balasku. "April tanggal 17 ya?" Mamel menawarkan. "Kemana?" tanyaku. "Rencana masih Semeru..."

***

Jember, 17 April 2014

Sekitar jam 08.00 pagi itu kami ber-12 (Aku, Nenek, Icham, Wisnu, Fian, Cepi, Fani, Mamel, Alit, Gobes, Gosong, Rohim) berkumpul di kos Mamel. Jadwal berangkat jam 05.00 subuh yang sudah direncanakan tidak mampu ditepati seorang pun. Subuh itu kami masih mengemas barang-barang yang kami butuhkan selama 4 hari hidup di hutan. Sebenarnya kami sudah packing malam sebelumnya, tapi ternyata masih ada saja yang belum dikemas. Sekitar jam 08.30 kami berangkat dengan mengendarai motor. Masing-masing lelaki membawa tas carrier berisi 80 liter, hanya mamel yang membawa 125 liter (itu carrier apa kulkas? :D ). Kami kaum hawa hanya membawa daypack berisi sekitar 40 liter. Mahameru, kami datang. :)

Persiapan sudah lengkap. Personil  sehat semua. Perjalanan berlangsung lancar. Sesekali kami bercanda di tengah perjalanan. Hanya rasa lapar yang membuat kita berhenti di Lumajang untuk memenuhi tuntutan cacing di perut.

Bayangan-bayangan indah Ranukumbolo hingga puncak Gunung Semeru sudah bekelebat selama di jalan. Hatiku membuncah ketika melihat Mahameru menyembul di sela awan dari kejauhan. Setelah ngidam sekian lama (sebelum 5cm terbit looh..), akhirnya aku ke sana juga. Dengan satu-satunya sepatu olahraga yang aku punya sejak SMP, aku tak sabar mencumbu pasirnya. Bersabarlah kaki, sebentar lagi aku akan membawamu berdiri di atas tanah tertinggi di Pulau Jawa, di ketinggian 3676 mdpl. Mahameru.. Mahameru..

Akhirnya tibalah kami di Senduro, Desa dengan jalan aspal terbalik yang harus kita lewati untuk memasuki gerbang Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dari arah Lumajang. Jalannya susah dilewati. Beberapa dari kami yang dibonceng terpaksa turun untuk mendorong motor yang tidak mau jalan. Bahkan ada yang terjatuh karena tergelincir batu yang besar-besar. Jam 12.30 kita berhenti di sebuah jembatan kecil untuk beristirahat.

dari kiri : Fian, Aku, Wisnu, Cepi, Fani, Nenek


leyeh-leyeh dulu ah.. dari kiri : Icham, Nenek, Cepi, Fian, Wisnu, Aku, Mamel


Alit says,"Mel, sebelum bunuh diri ayo poto dulu.." :D

Setelah berperang di jalan makadam selama kurang lebih dua jam, sampailah kami di Ranupani. Desa terakhir di kaki Gunung Semeru. Ada yang aneh. Tak seorang pendakipun kami jumpai. Di kanan kiri jalan Desa Ranupani terlihat kuli-kuli sedang membangun yang tampaknya adalah rumah makan maupun penginapan. Aku melihat ke tempat registrasi pendakian,"Lho, kok tutup?"

Aku salah lihat kan? Yang benar saja. Kami sudah sampai sejauh ini. Ah, pasti ada kesalahan. Aku tidak percaya Semeru belum dibuka. Mamel sudah bilang kalau teman kosnya baru pulang dari Semeru sebelum keberangkatan kami.

Di situlah kami bertemu dengan lima orang yang tampaknya sekelompok pengamen. Beberapa membawa gitar dan hanya mencangklong daypack. Kami bertanya apakah Semeru memang masih belum buka. Ternyata mereka berlima juga sama bingungnya dengan kami. "Kami juga mau ke Ranukumbolo ini," kata salah satu dari mereka. Oh, meen.. jadi mereka pendaki? haha.. maaf bang, I've judge the book by the cover.

Akhirnya Alit dan beberapa orang mencari petugas yang biasa berjaga. Aku dan yang lain menunggu di mushola dengan harap-harap cemas. Baru saja kami sampai, bayangan-bayangan indah selama di perjalanan sudah diganti dengan kecewa luar biasa. Sambil menunggu kami menunaikan sholat dhuhur dan ashar. Dalam hati aku berdoa semoga kita mendapatkan ijin untuk melakukan pendakian walaupun tempat registrasi belum dibuka.

Beberapa saat kemudian, Alit datang membawa berita gembira. Katanya kita boleh mendaki. Aku langsung sumringah. "Tapi kita nggak lewat jalur biasa, kita lewat ayak-ayak," katanya. Hah? Ayak-ayak? Nyaliku langsung melorot. Kenapa kita tidak lewat jalur konvensional saja? Aku tidak suka lewat jalur itu.

Ingatanku langsung tertuju pada bulan Agustus tahun lalu. Saat aku pulang dari Ranukumbolo, perjalanan kembali tidak sama dengan keberangkatan. Kami lewat jalur ayak-ayak. Jalur ini lebih ekstrim, karena hanya melalui satu bukit yang tinggi. Ketika naik, medannya sangat menanjak, dan ketika turun, medannya curam. Berbeda dengan jalur konvensional yang melewati tiga bukit. Meskipun lebih jauh tapi medannya landai, lebih mudah dilalui. Saat itu aku sempat terpeleset dan membuat kaki kananku kesleo. Jalan yang curam membuat langkahku makin pelan. Ditambah lagi seorang kawan yang marah-marah karena jalanku lambat. Dia takut kita kemalaman sampai Ranupani. Aku sempat menangis waktu itu. hehe
Dan sekarang rasanya aku trauma sekali kalau harus lewat jalur itu lagi.

Aku memprotes, kenapa kita tidak lewat jalur konvensional saja? Aku tidak mau lewat jalur ayak-ayak. Ternyata kita tidak mendapatkan ijin dari penjaga. Kita lewat ayak-ayak untuk menghindari bertemu Ranger (penjaga) di pos-pos yang ada di jalur konvensional. "Jadi kita ini nekat?"

Iya, kita memang pelanggar aturan. Kemudian kita mencari rumah penduduk yang mau diajak untuk melanggar aturan yang sudah ditetapkan. Kita membutuhkan tempat untuk menitipkan  motor-motor kita. Meskipun dengan biaya parkir yang 10 kali lipat, kami rela. Asalkan sampai Mahameru.

Tapi, kenapa kita tidak mendapatkan ijin ya? Apakah Semeru dalam kondisi yang tidak aman? Apakah Mahameru akan mengikuti jejak Gunung Kelud? Berbagai kemungkinan-kemungkinan buruk mulai menghasut pikiranku untuk tidak melanjutkan kenekatan ini. Sehari sebelum keberangkatan, si Fian bercerita, dia bilang beberapa waktu yang lalu ditemukan feses (kotoran) dan jejak kaki harimau di Ranukumbolo. Aku ragu untuk melanjutkan perjalanan, tapi juga tidak ingin pulang saat itu.

Fian tampaknya juga sedang kalut. Dia takut tertangkap. "Nanti, kalau kita ketahuan, kira-kira ada sanksinya nggak?"
"Kalau ketahuan paling ya cuma disuruh turun," jawabku asal.
"Nggak kira, Ranger nya lo disogok sarden mau," Alit tambah asal.

Sekitar jam 15.30 WIB, udara di Ranupani semakin dingin. Di tengah pencarian rumah penduduk yang mau disogok, kami bertemu lagi dengan lima orang pengamen pendaki bergitar. Tampaknya mereka sudah menemukan rumah penduduk yang mau menampung motor-motor pendaki nakal seperti kami. Seketika kami langsung menuju ke rumah yang terletak di ujung desa. "Tenang Mas, kami nggak akan bilang-bilang," kata pemilik rumah meyakinkan kami.

Lima pendaki bergitar sudah berangkat terlebih dulu sementara kami masih merapikan motor di dalam rumah penduduk tersebut. Setelah beberapa menit, kita siap berangkat. "Ayo cepat berangkat, keburu ada petugas datang," kata Mamel.

Tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri kami, " Maaf Mas, Mbak, mau kemana ini?"
"Mau ke Ranukumbolo, Pak," dusta Gobes.
"Aduh, Ranger nya datang," bisikku sok tau kepada nenek.

Benar saja, Bapak-bapak yang menghampiri kami itu adalah salah satu petugas penjaga Gunung Semeru. Lalu kami terlibat dalam obrolan panjang dengan petugas itu. Intinya kami tidak boleh mendaki apapun alasannya. Larangan mendaki bukan karena Semeru dalam kondisi tidak aman, melainkan dalam rangka pegembalian vegetasi sekaligus pembersihan. Kalau saat ini Semeru boleh didaki, kemungkinan vegetasi tidak akan kembali tepat waktu dan konservasi membutuhkan waktu yang lebih lama. Akibatnya, jadwal Semeru untuk dibuka akan mundur. Tidak seorangpun berani membantah. Kami hanya mampu memamerkan wajah melas. Bahkan Alit juga tidak berani membuktikan kata-katanya untuk menyogok Ranger dengan sarden.

"Tapi tadi kok ada lima orang boleh mendaki ya?" Mamel melaporkan lima pendaki bergitar yang sudah membantu kita menemukan tempat parkir. Langsung saja sang Ranger berpamitan kepada kami dan segera mengejar lima pendaki yang baru saja kami laporkan. Jahat ya.. hehe

Kami kembali mengeluarkan motor dengan lesu. Carrier masih singset, perbekalan empat hari utuh. Masak mau pulang? Kita camp di Ranupani saja kah selama empat hari? Ah.. tampaknya kurang asik. Malah membuat sakit hati karena gagal menginjak tanah 3676 mdpl. Berbagai opsi muncul. Ranu Gembolo, kurang menarik. Sempu, kami ingin gunung, bukan pantai. Gunung Argopuro, perbekalan kita kurang. Gunung Arjuno, belum pernah ada yang ke sana diantara kami.

Kami memutuskan untuk ke Malang dengan tujuan yang belum jelas. Segera turun untuk mencari sinyal agar bisa berkomunikasi dengan kawan-kawan pecinta alam di Malang. Syukur-syukur ada teman yang mau mengantar kita ke Arjuno. Kalau tidak ada, terpaksa kita ke Sempu. Yah.. daripada harus balik kucing, malu sama ayam di kampung. hehe

Dari Ranupani, Mahameru masih menyembul angkuh diantara awan yang mulai meredup senja. Dia tetap diam, tidak peduli pada jiwa-jiwa yang kecewa karena terlalu bernafsu mencumbuinya. Aku sudah bersyukur pernah berada lebih dekat dari ini dengannya, tahun lalu di Ranukumbolo. Tapi rasa kecewa ini tak pernah berubah menjadi rasa yang manis.

Mahameru, hari ini mungkin kita belum berjodoh. Tapi entah kapan, kita pasti akan segera bertemu di waktu yang tepat. Dan aku akan bersama dengan orang yang tepat juga tentunya. :)

meskipun gagal muncak, selfie tetap nomer satu


No comments:

Post a Comment