#part 2 : Terpisah

  • 0

Ranupani, 17 April 2014

Sebelum kita berangkat ke Malang lewat Tumpang, aku ngotot pingin foto di gerbang TNBTS. Aku tidak ingin gagal foto di situ untuk yang kedua kalinya. Karena Agustus lalu aku tidak sempat foto di situ. Teman-teman mengiyakan. Sebelum pergi, kita wajib foto dulu di gerbang yang bertuliskan "Selamat Datang Para Pendaki Gunung Semeru".

Kita kembali menuju gerbang masuk TNBTS. Aku yang pada saat itu berboncengan dengan Alit berada di belakang barisan. Alit mengemudi pelan sekali. Kita berdua jauh tertinggal. "Ayo cepat sedikit, aku nggak mau ketinggalan foto-fotoan," bujukku kepada Alit. Kecepatan bertambah.

Setibanya di gerbang, kami tidak menemukan seorangpun. "Loh, nggak jadi foto ya?" Takut ditinggal, akhirnya aku foto dua kali dengan terburu-buru. Setelah itu kami berdua bergegas mengejar ketertinggalan.

Foto kilat asal jepret


Hingga jalan aspal yang kami lewati beralih ke jalan makadam, kami tak kunjung berhasil mengejar yang lain. "Secepat apa sih mereka?" Alit menggerutu. Kemudian dari arah berlawanan ada sebuah truck lewat. Aku melambaikan tangan agar truck itu berhenti. "Pak, di bawah papasan sama lima motor nggak, Pak?"
"Motor? Kayaknya nggak ada tuh? Saya ndak lihat."

Kami berdua panik. Jangan-jangan mereka lewat Tumpang. Tapi kan jalannya cuma satu, kalau lewat Tumpang seharusnya mereka kembali papasan dengan kami berdua saat di Ranupani tadi. Aku dan Alit kembali ke atas. Di tengah jalan, Alit berhenti. Dia bilang kalau dia yakin teman-teman sudah berada di bawah. Aku pasrah saja. Akhirnya kita kembali turun. Beberapa kali aku melihat HP, berharap ada sinyal untuk menghubungi yang lain.

Kami sudah sampai jembatan tempat peristirahatan kami tadi siang, tapi kami berdua masih belum dipertemukan dengan teman-teman yang lain. Sudah hampir jam lima sore. Aku takut kemalaman di jalan ini hanya berdua dengan Alit. Ada sinyal di HPku. Tanganku tidak berhenti mencoba menelepon. Nenek, Cepi, Wisnu, Fani, Gobes, Mamel, Rohim, Fian, Icham, semua aku coba hubungi bergantian. Tapi sepertinya teman-teman belum mendapatkan sinyal. Ah, teman-teman.. kalian dimana? Tega sekali tidak menungguku.

Jam lima sore kami sampai di jalan raya Senduro. Kami memutuskan untuk berhenti di masjid. Perasaanku berkecamuk. Sial sekali, sudah gagal muncak, ditinggal rombongan lagi. Jangan-jangan mereka memutuskan untuk camp di atas. Mengira kami sudah tau dengan rencana itu akhirnya mereka memutuskan untuk menunggu kami di sana. Kemungkinan lain mereka berjalan lewat jalan yang tidak kami ketahui untuk lanjut ke Malang, tujuan awal kami.

"Terus kita mau kemana?" tanya Alit. Aku bilang padanya kalau sampai jam tujuh malam mereka tidak bisa dihubungi, aku mau pulang. Mungkin saja saat ini mereka lewat Tumpang, nanti kalau sudah sampai Malang, pasti mereka bisa mendapatkan sinyal untuk menghubungi kami. Lalu mungkin kami berdua bisa menyusul mereka ke Malang lewat Lumajang. Tapi kalau tidak, kemungkinan mereka memang camp di Ranupani atau tempat lain yang tidak memungkinkan mendapatkan sinyal. Aku berharap kemungkinan pertamalah yang mereka ambil. Sesak sekali dada ini membayangkan mereka liburan tanpa aku. :(

Sudah mau maghrib, mereka belum juga bisa dihubungi. Aku memutuskan untuk pasrah saja menunggu kabar. Sambil berdoa semoga ada salah satu dari mereka yang menyadari bahwa kawan mereka ada yang tertinggal. Lalu aku teringat oleh pesan Ibu.

Sebenarnya Ibu tidak mengizinkan aku untuk berangkat ke Mahameru. Tapi berkat kepala keras dan sedikit kebohonganku, akhirnya Ibu mengizinkan. Sebelum berangkat Ibu mengirimiku sebuah pesan singkat "Ati-ati. Ojo sampek ketinggalan karo koncone". Melihat kenyataan yang sudah terjadi, aku merasa berdosa sekali kepada Ibu.

Doa-doa mulai dilantunkan, sebentar lagi adzan maghrib. Aku dan Alit masih duduk di emperan masjid. Aku bersandar pada carrier yang berat. Rasanya tak tega sekali jika nanti kami berdua harus membongkar isinya yang masih belum digunakan untuk apa-apa.

Tiba-tiba HPku berdering. Sebentar saja. Ada missed call dari nomer tak dikenal. Kucoba telepon balik. tut...tut...tut.... kudengar ada suara dari seberang, "Halo? May?"
"NENEEEK... !" Aku berseru sambil berurai air mata. Ketegaranku runtuh seketika.

Tampaknya penjaga masjid menyadari bahwa kami berdua adalah pendaki yang terpisah dari rombongan. Tiba-tiba saja masjid hening, aku dibiarkan ngoceh ditelepon untuk menjelaskan dimana posisiku kepada Nenek. Ketika telepon kututup, doa-doa kembali bergaung.

Aku dan Alit menjaga tas bergantian untuk melaksanakan sholat maghrib. Sekitar jam 18.00 WIB Nenek dan Fian muncul di depan masjid. Aku langsung memeluk Nenek dan memintanya bercerita apa yang telah terjadi.

Ternyata kawan-kawan tadi berhenti di pos pendaftaran Ranupani, tempat pemberhentian awal ketika kita baru sampai. Aku dan Alit saat itu tidak melihat mereka berbelok ke arah pos (mungkin karena jarak yang terlalu jauh). Nenek mengaku sudah memanggilku, tapi aku tidak mendengar. Mereka mengira Aku dan Alit sedang mencari view yang bagus untuk dijadikan landscape foto. Akhirnya mereka memutuskan menunggu di sana sambil membongkar makan siang.

Setelah satu jam mereka menunggu dan kami berdua tak kunjung kembali, barulah kesalahpahaman itu terpecahkan. Truck yang kami hentikan di atas tadi bertemu dengan mereka. Supir truck tersebut mengatakan kepada mereka bahwa kami berdua sudah menunggu di bawah. Alhasil mereka tidak jadi lewat Tumpang dan malah berjalan menyusul kami berdua.


No comments:

Post a Comment