Bagian 7 : Kalah

  • 0


Wawancara saya berlangsung sangat singkat. Saya sedikit gelisah, sebab pengalaman saya mengatakan wawancara singkat pertanda bahwa interviewer tidak tertarik pada kita. Saya diberitahu oleh panitia bahwa hasil akan diumumkan keesokan harinya melalui facebook Tempo Recruitment. Bagi yang berhasil lolos akan mengikuti diskusi panel bersama Pemimpin Redaksi tanggal 1 Juli.

Saya mencoba melupakan wawancara saya hari itu dan menghabiskan malam dengan berdoa. Saya di rantau seorang diri. Tinggal di rumah orang Betawi yang bukan keluarga. Kepada siapa lagi saya bicara? Malam itu saya sudah pasrah. Saya ikhlaskan apapun hasilnya. Tuhan pasti tau mana yang lebih baik untuk saya.

Untuk menghabiskan waktu, esoknya saya pergi ke kantor Aliansi Jurnalistik Independen (AJI). Saya menghadiri diskusi bertema pemilihan ketua KPK. Pembicaranya adalah L.R. Baskoro, Redaktur Eksekutif Tempo, Nanang sebagai anggota KPK, dan Yenti dari 9 Srikandi Panitia Seleksi (Pansel) Ketua KPK. Setelah diskusi, acara berlanjut nonton bersama hingga buka bersama. Saya datang bersama Mbak Lovina, kawan saya dari yayasan Pantau.

Sekitar jam 8 malam saya tiba di rumah Mami. Kamis malam Jumat di depan rumah Mami selalu ramai dengan bazar. Ada yang jual makanan, pakaian, sepatu, hingga ikan hias. Kak Lila dan Nares ada di rumah Mami.

Begitu masuk rumah saya segera membuka facebook Tempo Recruitment untuk melihat hasil seleksi. Ditemani Kak Lila dan Siti di dalam kamar, saya gugup. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ketika saya gagal. Setelah semua yang saya lalui, saya tidak mungkin pulang dengan tangan kosong.

Akhirnya muncul. Beberapa baris nama yang lolos ke tahap selanjutnya. Dari huruf A hingga huruf Z, saya mencari di deret huruf M. Tak ada nama saya di sana. Saya coba cek lebih teliti lagi. Nama saya tetap tidak ada. Saya diam cukup lama. Lemas.

Kak Lila dan Siti merebut smartphone saya untuk membuktikan. Mereka juga terdiam. Lalu saya telepon Ibu untuk mengabarkan kegagalan saya. “Terus gimana rencanamu?” tanya Ibu kecewa. Berat. Saya pun tak tahu apa yang harus dilakukan. Tapi saya yakinkan Ibu bahwa pasti ada kesempatan lain yang akan datang. Saya bilang saya mau menunggu di sini. Saya tak mau pulang.

“Kamu mau tinggal dimana? Masak mau numpang Mami terus?” Ibu kembali bertanya. Saya katakan bahwa saya nanti akan berpindah-pindah. Barangkali ke rumah Tante Susi yang berada di Tangerang. Atau ke rumah Om Wito di Bekasi. Meski saya belum pernah bertemu dengannya sekalipun.

Saya tahu bagaimana kecewa dan sedihnya Ibu. Saya tidak berpikir hasilnya akan sesulit ini karena awalnya saya begitu optimis. Tidak hanya Ibu, semua orang bertanya apa rencana saya selanjutnya. Saya tidak tahu. Pertanyaan itu terasa menyudutkan. Tak bolehkah saya bersedih barang sebentar?

Saya tak mau bertemu dengan orang-orang di rumah malam itu. Tak mau mendengar atau bicara apapun. Jakarta terlalu sesak. Bahkan saya tak punya tempat untuk menyepi. Barangkali di sini bersedih adalah membuang waktu. Akhirnya saya keluar menuju bazar malam untuk jajan. Mencari kesibukan untuk melupakan.

Saya masih enggan bertemu manusia saat kembali ke rumah. Lalu saya mandi dan berwudhu. Saya tidak berdoa seperti biasanya. Saya tidak marah pada Tuhan. Hanya malas bicara dengannya. Jika Tuhan berwujud, barangkali saya akan terlihat seperti seorang anak yang dongkol pada ayahnya karena tak dibelikan mainan.


No comments:

Post a Comment