#2 Angkot

  • 0

Malang, 11 Maret 2015
Kami bertiga baru saja sampai di stasiun kota baru, Malang. Saat itu sekitar jam satu siang. Aku dan Mega berencana menginap di rumah Mbak Ika yang tidak berpenghuni. Sedang Fian akan menuju kosan teman kami yang bernama Iswara Adhi Dharma. Aku memanggilnya Dachong dan kini sedang kuliah di Malang. Berhubung Dachong masih kuliah, aku mengajak Fian untuk beristirahat dulu di rumah bersama kami. Fian setuju. Lalu kami bertiga naik angkot menuju Jalan Raya Sulfat, alamat rumah Mbak Ika.

Cuaca mendung. Bau hujan sudah tercium. Kami tidak tahu angkot mana yang harus kami tumpangi. Akhirnya kami bertanya pada sopir-sopir angkot sekitar. Ternyata, tidak ada angkot yang melewati Jalan Raya Sulfat. Kami mulai resah ketika gerimis datang. Naik ojek pasti basah kuyup. Tau-tau ada sebuah angkot yang menawari untuk mengantar kami ke daerah Sulfat. Meski aku tidak pernah naik angkot di Malang, aku tahu harga angkot di sana hanya 3000 hingga 4000. Dan untuk menuju rute yang tidak dilewati biasanya bertarif lebih mahal dari biasanya. Untuk memperoleh informasi itu, aku bertanya kepada sopir berapa tarif ke Sulfat.
“Gampang itu, Mbak. Seikhlasnya saja.”

Kami menimang-nimang berapa kira-kira harga keikhlasan yang bisa kami bayar untuk sopir angkot itu. Lebih tepatnya, berapa minimal nominal yang mampu diterima bapak sopir angkot dengan ikhlas. Kami tidak tahu. Takut panjang dibelakang dengan informasi yang masih ambigu. Akhirnya kami memutuskan untuk turun di rute yang biasa dilalui angkot, yang terdekat dengan sulfat tentunya.

Di dalam angkot hanya ada dua orang dewasa dan kami bertiga. Mega bercerita saat dia masih kuliah di Bogor dulu ia adalah penumpang setia angkutan kota. Itu karena dia takut mengendarai motor sendiri. Aku sendiri dulu saat berada di Jember sangat jarang menggunakan jasa angkot. Aku lebih suka menggunakan kendaraan pribadi tapi juga suka mengkritik perokok yang berjasa meningkatkan pemanasan global. Padahal satu motor digunakan oleh satu orang sama saja dengan pemborosan bahan bakar.

Sadar atau tidak, banyaknya penumpang angkot barangkali kini sudah bisa dijadikan parameter perubahan iklim kota Malang. Dulu, hanya sedikit orang yang memiliki kendaraan pribadi. Angkutan kota selalu penuh dengan orang yang berwara-wiri. Jalanan terlihat luas tanpa ada kemacetan dan Iklim kota apel ini juga masih dingin. Sekarang, banyak orang lebih suka memakai kendaraan pribadi. Sopir angkutan kota kesulitan mencari penumpang. Jalanan menjadi sempit karena penuhnya volume kendaraan dan rentan kemacetan. Tinggal tunggu waktu, Malang yang dingin akan serupa Jakarta atau Surabaya. Aku sadar pemanasan global tidak hanya disebabkan oleh seorang perokok, tapi juga disebabkan oleh seorang pengguna kendaraan pribadi yang egois sepertiku. Sadar tapi tetap diteruskan. Suatu inkonsistensi diri yang perlu dihancurkan.

Sebenarnya yang membuatku enggan naik angkot adalah meluasnya berita di televisi tentang kejahatan yang terjadi di dalam angkot. Selain pemanasan global, semakin sepinya penumpang barangkali juga menjadi salah satu pemicu maraknya kasus pencopetan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh sopir angkot. Aku sering mendengar seorang wanita dirampok kemudian diperkosa oleh sopir angkot dan beberapa kawannya yang berpura-pura menjadi penumpang. Alasannya merampok adalah karena jumlah yang harus disetorkan masih kurang. Dan pemerkosaan itu hanyalah sebagai bonus karena korbannya seorang wanita. Andaikan kesejahteraan sopir angkot masih sama seperti dulu, barangkali hal semacam ini tidak perlu terjadi. Sungguh sedih melihat bahwa keadaan bisa mengendalikan manusia untuk mengambil jalan yang gelap.

Sampai di lokasi, kami harus berhenti di depan Jalan Raya Sulfat, tidak masuk ke sana sesuai perjanjian awal. Kami hanya berhenti sampai jalan yang dilalui angkot. Di luar hujan deras.
“Turun sini, Mbak. Itu Sulfat tinggal nyebrang aja. Tiga orang 30.000.”
“Hah? Bukannya angkot biasanya cuma 3000 ya Pak? Naik-naik paling 4000.”
“Itu harga taun berapa Mbak?”
“Ya tapi masak 10.000 per orang sih, Pak?”
“Kalau mau turun sini, 30.000. Kalau mau saya antar sampai depan rumah, tambah 10.000, jadi 40.000.”
“Yah, Bapak. Mahal amat. Kurangilah, Pak.”
“Nggak bisa, Mbak. Sudah pas.”
“30.000 nyampek depan rumah saya maunya.”
“30.000 turun sini, Mbak.”
“35.000 nyampek depan rumah saya.”
“Iya sudah.”
“Itu tapi saya bayarnya nggak pake ikhlas lo, Pak.”

Aku baru menyadari bahwa ada banyak perumahan di jalan itu. Aku pernah ke sana satu kali, tapi tidak ingat letak perumahannya dimana. Mbak Ika hanya mengirim alamat lengkap yang parahnya, pak sopir angkot itu tidak mengetahui daerah itu. Tentulah, angkot kan tidak lewat situ. Setelah beberapa kali salah masuk jalan, akhirnya kami menemukan perumahan yang kami cari. Diluar masih hujan deras. Kami turun di rumah nomor blok B12. Rumah Mbak Ika. Diam-diam aku bersyukur ada sopir angkot baik hati yang rela nyasar-nyasar tapi mau mengantar kami hingga persis di depan rumah. Itu pasti karena hujan dan karena ketidaktahuan si sopir bahwa penumpangnya buta alamat. Kini ia harus bersusah payah bertanya pada sana sini dimana letak rumah yang kucari. Kuanggap kita impas. Malah, aku jadi berpikir upah segitu menjadi sangat murah melihat kondisi kami bertiga yang benar-benar polos. Dan berakhir pada sopir angkot yang menjadi apes karena harus mengantar kami pada alamat yang tidak diketahuinya. Pintar, tapi kurang beruntung. Hahaha.

Andaikan cuaca panas dan aku tau jalan, kemungkinan besar aku mengutuki si sopir angkot malang karena menaikkan harga seenak udelnya. Tapi akan aku urungkan niat pada saat itu juga, karena Malang sudah semakin panas, dan aku berkeinginan kuat untuk membuat angkot penuh penumpang agar bisa membuatnya kembali dingin. Andai bisa..

No comments:

Post a Comment