#4 GPS

  • 0


Malang, 12 Maret 2015
Siang ini hujan turun lebih awal. Aku masih berada di dalam gedung Samantha Krida Universitas Brawijaya bersama Fian. Mega sudah lebih dulu keluar karena ia tidak kuat menahan lapar. Ketika masih menjadi bagian tubuh ular-ularan di stan BANK Mandiri, Mega meneleponku. Ia bilang tidak enak badan dan ingin segera pulang. Aku berjanji untuk mengantarnya pulang terlebih dulu setelah tiba di ujung antrian panjang ini.

Begitu keluar dari stan aku bergegas mencari Fian untuk meminta kunci motor. Pagi tadi kami berangkat menggunakan motor Mbak Ika dan seorang temanku, Natiq, berbaik hati menjemputku di rumah sehingga kami bertiga tidak perlu susah mencari angkot yang mau mengantar sampai depan gedung. Saat ini Natiq sedang menemui dosen untuk bimbingan skripsinya, jadi aku harus kembali untuk menjemput Fian setelah mengantar Mega pulang nanti.

Sejujurnya, aku tidak hafal jalan untuk pulang walaupun tadi sudah melewatinya. Otakku benar-benar payah dalam mengingat peta. Begitu juga Mega. Kami berdua berangkat dengan otak kosong tentang rute yang harus kami lewati. Beruntung sekali kami hidup di era teknologi sudah canggih. Alih-alih bertanya pada teman atau orang yang belum tentu jelas informasinya untuk kami, aku membuka aplikasi Map pada smartphoneku. Kunyalakan GPS dan kuketik nama tempat yang akan kami tuju. Start navigation. Peta berskala selayar handphone dengan garis biru yang menunjukkan rute yang harus kami lalui terpampang di depan mata. Kami mulai melaju.

Di tengah jalan, hujan tiba-tiba datang tanpa permisi. Kami berdua basah kuyup. Hingga sampai rumah hujan belum berhenti. Aku memutuskan untuk menunggu hingga reda sebelum menjemput Fian. Setengah jam kemudian, gerimis kecil menandakan hujan hampir habis. Aku berangkat untuk menjemput Fian. Sekali lagi kunyalakan GPS untuk memanduku mencapai tujuan.

Aku kesulitan membaca peta karena aku hanya sendiri. Akan lebih mudah jika ada seseorang di belakangku yang membaca peta sedang aku tinggal menyetir sesuai instruksi. Sedikit-sedikit aku berhenti untuk memastikan rute yang kuambil sudah tepat. Gerimis membuat tanganku yang memegang handphone basah. Saat aku sedang mengecek lokasiku, tiba-tiba layar handphone ceket, tidak mau digeser. Pasti ini gara-gara tanganku yang basah. Handphoneku semakin basah karena hujan mulai deras lagi. Tidak mau mengambil resiko membuat handphone rusak, aku memasukkannya ke dalam tas dan terus berjalan tanpa melihat navigasi lagi.

Hingga beberapa km ke depan, aku merasa asing dengan jalan-jalan yang kulewati. Aku tidak ingat pernah lewat sini. Ah, tentu saja.. Aku kan memang tidak pernah ingat. Kuputuskan terus melaju dengan percaya diri. Semakin lama, aku semakin merasa asing. Sepertinya ini jalan yang salah. Kulihat handphoneku layarnya masih hang. Kemudian aku bertanya pada orang-orang yang berada di pinggir jalan. Ternyata benar, aku salah jalan. Aku menyimpang terlalu jauh dari arah seharusnya. Lalu aku memutar balik sesuai dengan instruksi orang tersebut. Sampai dipersimpangan, aku kembali bingung dengan arah yang harus kuambil. Ketika lampu merah berhenti, aku bertanya pada pengendara motor di sebelahku dimana letak kampus Brawijaya.

Menurut perasaanku, aku sudah benar mengikuti instruksi orang-orang yang kutanyai itu. Tapi kok rasanya semakin jauh ya? Sampai dipertigaan aku bertemu dengan dua orang mahasiswa dari Papua. Aku kembali bertanya dimana letak kampus Brawijaya.
Mahasiswa 1 (M1) : Ibu lurus aja, terus belok kanan. Nanti ketemu alun-alun. Ibu berputar.
Aku (A) : (sial, aku dipanggil Ibu) Oh.. jadi ini lurus aja?
M1 : Iya, itu nanti Ibu ketemu pertigaan langsung belok kanan, ada alun-alun, lalu berputar.
A : (bingung) Itu kan ada jalan serong ke kanan, aku ambil yang lurus ini kan? Terus belok kanan. Terus mutar alun-alun?
Mahasiswa 2 (M2) : Ini lurus aja. Depan itu ada lampu merah belok kiri. Terus belok kanan. Baru putar alun-alun.
A : (semakin bingung) loh, ini saya belok kanan apa belok kiri dulu?
M1 : Pokoknya Ibu lurus aja ini. Nanti belok kanan. Ketemu alun-alun. Putar.
M2 : Lampu merah depan itu belok kiri dulu, Bu. Baru belok kanan. Putar alun-alun. Ada tanjakan, Ibu naik ke atas.
A : (gusar) Ini saya belok kanan langsung apa belok kiri dulu baru belok kanan sih yang bener?
M1 : Ibu temukan saja dulu alun-alunnya. Ini lurus, belok kanan.
M2 : Iya, Bu. Lampu merah itu belok kiri, lalu belok kanan.
A : (stress) Okedeh, saya mau muter alun-alun dulu. Makasih ya..

Aku memilih untuk belok kiri di lampu merah kemudian belok kanan setelahnya. Pilihanku tepat, aku melewati Ramayana dan mall-mall lain yang berada di depan alun-alun. Kemudian aku berputar-putar sesuai instruksi mahasiswa asal Papua tadi. Tidak yakin akan kemana, aku bertanya lagi kepada seorang ibu-ibu tua. Ibu-ibu itu bilang kalau aku salah jalan dan harus kembali untuk menemukan lampu merah kemudian belok kanan. Aku patuhi instruksinya. Sampai di lampu merah, aku mencoba bertanya pada seorang bapak-bapak bersepeda motor disebelahku untuk memastikan apakah benar setelah ini aku harus belok kanan untuk mencapai kampus UB. Tapi bapak itu malah berkata, “Ikuti saya.”

Hah? Ikuti saya? Nggak salah denger ta? Bagaimana kalau ternyata bapak ini adalah salah satu komplotan begal yang sedang mencari mangsa? Saat melihatku tanya alamat, dia pasti merasa seperti mendapat durian runtuh. Korban datang dengan sukarela kepadanya. Kemudian aku dibawa ke tempat sepi dimana kawan-kawannya sudah menunggu. Setelah sampai ditempat akan berlangsungnya kejadian, aku dipaksa melucuti perhiasan dan harta benda yang kubawa. Dan karena aku wanita, mereka memperkosaku secara bergantian. Tidak ingin kejahatannya terbongkar, akhirnya mereka memutilasiku dan membakar potongan-potongan tubuhku di tempat yang berbeda. Lalu mereka kabur membawa motor milik Mbak Ika yang kupinjam ini. Hii.. aku bergidik sendiri dengan imajinasiku yang liar. Ketika lampu hijau, aku mengikuti begal, eh, bapak itu.

Loh, kok bapak ini lurus? Bukannya tadi ibu-ibu itu bilang kalau aku harus belok kanan ya? Jangan-jangan.. (aku bergidik). Dengan hati-hati aku mengikuti bapak ini. Pokoknya kalau nanti bapak ini mulai membawaku ke daerah yang sepi, aku akan langsung kabur. Kulihat bapak itu melihat ke spion secara berkala, memastikan aku masih berada di belakangnya. Membuatku semakin was-was. Kami sudah melewati dua lampu merah ketika bapak itu berkata, “Setelah ini saya belok kanan, adek belok kiri.” Ketika kami sampai di persimpangan yang dimaksud, bapak itu melambai kepadaku kemudian membelokkan setirnya ke kanan. Aku yang berada di belakangnya berteriak-teriak terima kasih sambil benar-benar meminta maaf dalam hati karena mencurigainya sebagai begal. Kemudian aku membelokkan setirku ke kiri.

Kampus UB sudah terlihat dari kejauhan. Aku berjalan perlahan sambil merenungkan kejadian tadi. Sungguh aku menyesal telah mencurigai orang yang begitu baik mau menolongku. Barangkali kasus-kasus kejahatan yang banyak disorot media akhir-akhir ini yang membuat tingkat kewaspadaan seorang manusia berada di titik puncak. Aku merasa lebih aman menggunakan GPS daripada memakai navigasi alami, mulut, untuk pergi ke tempat asing. Padahal jaman dulu, orang-orang memanfaatkan mulut untuk dijadikan navigasi alami. Mereka bertanya jika tak tahu arah. Hingga terbitlah peribahasa itu, malu bertanya sesat dijalan. Hanya saja, orang jaman dulu tidak memiliki curiga pada orang yang ditanya. Dan orang jaman sekarang lebih percaya dan ramah pada benda tipis berbentuk kotak yang bisa disimpan dalam saku daripada dengan orang yang hidup disekelilingnya. Salah satu aplikasi yang bernama GPS di dalamnya mengalahkan kemauan bersosialisasi. Sedang mereka tahu bahwa GPS tak selalu bisa diandalkan. Sebut saja aku.

No comments:

Post a Comment