#3 Ular-ularan

  • 0


Malang, 12 Maret 2015
Gedung Samantha Krida Universitas Brawijaya penuh sesak oleh sarjana-sarjana dari manca universitas. Di depan loket pembelian tiket masuk, antrian masih mengular. Padahal ini sudah jam 10.00. Begitu masuk di dalam gedung, kami disambut oleh Astra Internasional. Perusahaan multinasional yang memproduksi otomotif dan bermarkas di Jakarta. Peminat untuk menjadi pegawai di sini sangat besar. Sudah gaji tinggi, prestis bekerja di perusahaan multinasional juga patut dibanggakan. Dilihat dari tahap administrasi saja sudah sangat berbeda. Mereka menyediakan puluhan Ipad yang sudah disetting untuk pengisian formulir pendaftaran pegawai serta pas foto yang digunakan untuk keperluan lamaran juga diambil melalui foto selfie menggunakan Ipad tersebut. Baru masuk sudah disuguhi pemandangan yang modern, membuat amplop berisi surat lamaran yang terselip dalam tasku terlihat sangat kuno.

Aku berpisah dengan kedua temanku. Aku berjalan ke kiri dan melihat antrian ular-ularan didepan stan BANK Mandiri. Di sampingnya, ular-ularan BANK BCA dan BRI juga tak kalah panjang. Semua pendaftaran di BANK-BANK itu tidak menggunakan Ipad seperti yang dilakukan Astra, namun tetap mengandalkan kecanggihan teknologi. Mereka menggunakan laptop. Pelamar langsung mengisi formulir tanpa harus meninggalkan surat lamaran dalam bentuk hardcopy. Tidak hanya di BANK, sebagian besar perusahaan lain juga menggunakan laptop seperti: Santos Jaya Abadi; Tokopedia; Wilmar; Ecco; Wings; Honda; Jatim Autocomp; dan masih banyak lagi. Hal ini memakan waktu yang lama bagi pelamar karena laptop yang disediakan tidak sebanyak jobseeker yang tumpah dalam gedung itu. Karena surat lamaran yang kusiapkan tidak dibutuhkan, aku ikut menggabungkan diri menjadi bagian ekor ular. Membuat ular-ularan semakin panjang.

Ada ratusan, mungkin ribuan manusia yang bersaing memperebutkan kursi yang lowong dalam sebuah perusahaan. Aku melihat ada satu dua perusahaan yang ikut dalam jobfair di Jember beberapa waktu lalu. Ini ketiga kalinya aku melihat perusahaan ini ada dalam jobfair di tempat yang berbeda. Bahkan aku juga melihat banyak perusahaan yang sama ada dalam daftar jobfair yang akan diselenggarakan di Universitas Negeri Malang dan ITS beberapa hari ke depan. Memang ratusan orang yang mendaftar di Jember kemarin itu masih kurang ya? Butuh berapa banyak karyawan sih? Atau jika memang mereka mau mencari karyawan yang sempurna, mau yang sesempurna bagaimana? Aku hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menjadi ekor ular.

Aku bertemu dengan beberapa kawan lama yang baru lulus dari kuliahnya di Malang. Tidak bisa ngobrol panjang, karena mereka harus bergerak cepat untuk apply ke sebanyak mungkin perusahaan yang sesuai dengan kompetensi mereka. Semua orang yang berada dalam gedung ini terlihat terburu-buru. Barangkali terlalu fokus dengan perusahaan yang ingin mereka tuju, aku melihat beberapa orang lupa meminta maaf kepada orang yang tidak sengaja mereka tabrak saat dalam perjalanan menuju stan perusahaan yang diincar. Aku mencium aroma persaingan yang sangat ketat. Terbiasa hidup enak dari pemberian orang tua, kini aku menyadari bahwa dunia luar memang keras. Pantas saja, para orang tua itu sudah lama berhenti bermimpi. Realita yang membuatnya demikian. Disini, semua menjadi lawan. Meskipun kau sudah berkawan selama belasan tahun.

Aku sendiri tidak benar-benar meneliti perusahaan-perusahaan itu satu persatu. Malas berdesak-desakan. Untuk berjalan saja susahnya minta ampun. Di dalam sangat panas. Aku hampir kehabisan nafas. Setelah mengular untuk mendaftarkan diri di enam perusahaan, aku memutuskan untuk menepi dan mencari Fian. Kutemukan dia sedang berdiri di bawah kipas angin dekat pintu keluar lalu mengajaknya duduk di tribun yang berada di sisi kiri dalam gedung.

Fian bercerita bahwa ia hanya memasukkan satu aplikasi saja. Ketika kutanya mengapa hanya satu, ia jawab karena bingung ingin memasukkan dimana. Saat mengikuti jobfair di Jember kemarin pun ia juga hanya memasukkan satu lamaran. Lagi-lagi aku harus bersimpati pada pria yang sudah menjadi kawanku selama 17 tahun itu. Mungkin nanti aku akan sedih jika harus menjadi saingan Fian. Tapi aku akan lebih sedih jika meninggalkan dia terjerat dalam pesimisnya sendiri. Bagaimana mungkin dia akan mendapat pekerjaan jika hanya memilih satu dari puluhan kesempatan. Andaikan satu-satunya aplikasi yang dikirimnya gagal, maka sudah tidak ada kesempatan lain lagi. Semakin bingunglah dia. Jadi kukatakan padanya, “Bingungnya nanti aja, setelah ada banyak perusahaan yang ngerebutin kamu.” Kuputuskan untuk membuatnya menjadi lawanku. Meski kami sudah berkawan selama belasan tahun.

Kemudian ia mengajakku berkeliling sekali lagi. Sekali lagi menjadi ular-ularan ratusan manusia yang mengantri untuk menjadi pegawai. Aku benar-benar takjub melihat pemandangan yang mengerikan ini. Kebanyakan orang yang kutemui adalah sarjana muda, hanya beberapa yang sudah memiliki pengalaman kerja dan ingin pindah profesi. Tidak, mereka tidak pindah profesi. Hanya pindah tempat kerja. Profesinya sama, jadi babu. Meski cuma jadi babu, kita harus mampu menjual diri sebaik mungkin. Menjual kompetensi yang kita miliki. Jika lolos administrasi, kita akan memenuhi panggilan psikotes, interview, dan tes-tes lain. Jika cocok, barulah kita akan diangkat jadi babu. Sekeras apapun usaha kita bekerja, sebanyak apapun waktu yang kita buang untuk lembur, setinggi apapun kenaikan jabatan yang akan kita terima nanti, jangan seharipun bermimpi akan menjadi majikan. Karena selamanya masih akan ada pemilik yang posisinya hanya bisa diganti oleh sang pewaris, dan kekayaannya akan terus membesar seiring kerja keras kita. Aku sadar tapi tetap meneruskan. Sebuah inkonsistensi diri yang perlu dihancurkan. Tapi kali ini aku biarkan diriku kembali menggabungkan diri menjadi ekor ular. Membuat ular-ularan semakin panjang.

No comments:

Post a Comment