#part 9 : Hal yang Wajib Dilakukan ketika Naik Gunung

  • 0
Kata Fani, "Puncak bukanlah akhir dari sebuah perjalanan". Puncak adalah perjalanan menuju puncak-puncak selanjutnya. Dan untuk menuju ke puncak-puncak yang lain itu, ada satu hal yang wajib dilakukan ketika kita sudah sampai di sebuah puncak. Turun.

Puncak Arjuna, 20 April 2014

Jam 13.30 WIB. Kami tidak menghabiskan banyak waktu berada di ketinggian ini. Beberapa menit setelah kedatangan Mamel, Gobes, dan Rohim, kami segera merayap turun. Dataran di bawahku berwarna putih. Kabut masih saja betah menyelimuti puncak itu.

Kami kembali melewati bukit-bukit gundul yang semula kukira puncak. Dan kuburan itu lagi. Saat ini manusia hidup yang berada di gunung ini bisa dipastikan hanyalah kami ber14. Hari ini adalah Minggu. Kecil kemungkinan ada pendaki yang baru mau naik ketika besok sudah hari Senin. Aku sedikit merinding menyadari hal itu.

Kemudian turunlah gerimis itu. Badai kemarin masih menyisa trauma dalam diriku. Dalam hati aku terus berdoa agar hujan tidak turun sampai kami kembali pulang. Beruntung gerimis segera berhenti, dan tiba-tiba sinar matahari menyeruak di antara kabut.

Tentu saja perjalanan turun lebih cepat daripada naik. Tapi sejujurnya aku lebih suka naik daripada turun. Entahlah, aku seperti tidak punya kepercayaan pada kakiku. Aku selalu takut terjatuh. Ku raih apapun yang bisa kujadikan pegangan sehingga membuat telapak tanganku lecet-lecet. Aku tidak berani bermain prosotan seperti yang dilakukan geng PA. Andaikan aku tadi membawa matras.

Sekitar jam tiga sore kami sampai di lembah kembar. Fian dan Fani tiba lebih dulu, selanjutnya Nenek, Wisnu, dan Icham, lalu Aku, Gobes, Mamel, Rohim, dan Alit. Cepi, Mas Sipon, dan Mas Penceng masih di belakang. Kata Gobes yang tadi bersama Cepi, Cepi muntah dan tidak kuat. "Lho, kok ditinggal Bes?" tanyaku. Ternyata Mas Sipon yang menyuruhnya jalan duluan agar kita bisa mengepack barang-barang untuk pulang. Hari ini adalah diesnatalis MAPALA K.E, jadi Mas Sipon dan Mas Penceng sudah harus kembali ke Malang malam ini.

Sekitar 15 menit berlalu. Tenda-tenda sudah dirobohkan, siap dijejalkan kembali ke dalam carrier. Tiba-tiba Mas Penceng muncul dengan sempoyongan. "Rek, gak enek seng gelem nulungi Sipon nggendong Cepi?" kemudian dia ambruk. Alit bergegas menuju ke arah datangnya Mas Penceng, kemudian dia kembali membawa Cepi yang menangis dipunggungnya.

Melihat kondisi Cepi yang seperti itu rasanya tidak memungkinkan bagi kami untuk pulang saat itu. Akhirnya dengan berat hati Mas Penceng dan Mas Sipon merelakan untuk tidak merayakan hari jadi organisasi yang telah mengajari mereka survival di dalam hutan. Kami semua tulus meminta maaf.

Malam itu tenda yang sudah dirobohkan kembali digelar. Setelah makan malam dan bersih-bersih, aku memutuskan untuk segera tidur. Para geng PA membuat api unggun yang gagal dibuat pada dua malam sebelumnya. Malam yang hangat di ketinggian 2700 mdpl.


Lembah Kembar, 21 April 2014

Ini adalah sarapan terakhir kami dalam perjalanan ini. Sisa logistik masih cukup banyak, tapi air tinggal sedikit. Setelah sarapan usai, kami berkemas untuk yang ke sekian kalinya. Berpamitan pada alam yang sudah begitu baik menjaga keselamatan kami. Selama 4 hari ini, badai es mengambil juara dalam kategori cerita paling membekas dalam perjalanan kami, aku khususnya.

Perjalanan turun memang relatif singkat. Selama di perjalanan, makanan memotivasiku untuk bergerak lebih cepat. Bakso, apel malang, nasi goreng, ayam goreng.. hmm.... *kruyuk..kruyuk..*

Geng 5 meter ditambah Fani dan Cepi sudah berada di depan. Ada jalan bercabang di depan kami. Icham yang berada paling depan memilih jalan kiri. Sepertinya jalan itu menuju ke ladang tempat kami bermalam dua hari yang lalu. Aku berada di belakang bersama Fian. Kemudian Mas Penceng memanggil kami, kami di suruh mengambil jalan kanan, tapi kami sudah jauh. Akhirnya kami berpisah jalan dengan geng PA.

Sampai di ladang, kulihat ada Alit menjemput kami dari depan. Gosong sudah di bawah, yang lain entah kemana. Kami lupa arah ke pos pendakian, sehingga kami mencari jalur untuk sampai ke jalan raya. Dengan dandanan yang lesu, kotor, dan bau, kami mengitari ladang mencari jalan pulang. Ada sepercik rasa bangga dalam diriku. Bukan karena aku sudah mencapai puncak, tapi karena aku sudah berhasil turun.

Aku menoleh ke belakang, Arjuna dan Welirang tidak bergeming. Lembah kembar tampak begitu luas. Aku sebagai penikmat alam, tidak menikmati perjalananku seperti biasanya. Selama ini yang kucari hanyalah apa yang bisa dilihat dan didengar. Aku selalu ingin berada di atas awan, mengamati lautan bintang sembari berharap ada yang jatuh. Menyaksikan debur ombak dan mendengarkan dari kejauhan. Lantas tidak akan ada yang terjadi setelah aku menjadi saksi atas anugerah semesta yang maha indah itu. Alam akan tetap sama, begitu juga dengan aku.

Sejujurnya, hanya sedikit keindahan yang bisa ditangkap oleh indra pada perjalanan ini. Tapi ada banyak limpahan keindahan yang bisa ditangkap oleh hati. Seperti kata Mas Cetar, bukan tempat yang selalu menjadi warna, tapi manusianya.

Arjuna adalah perjuangan tak terencana, yang memberikan pelajaran untuk melakukan rencana selanjutnya.

Hal yang wajib dilakukan ketika naik gunung: turun

the end

#part 1: Menuju 3676 mdpl 
#part 2: Terpisah
#part 3: Menggelandang Malang
#part 4: Menjalankan Rencana B
#part 5: Terlelap di Ujung Ladang
#part 6: Mendaki Gunung
#part 7: Badai Pasti Berlalu
#part 8: Di Dalam Awan
#part 9: Hal yang Wajib Dilakukan ketika Naik Gunung

No comments:

Post a Comment