#part 3 : Menggelandang Malang

  • 0
Senduro, 17 April 2014

Senja kian pupus, hitam mengalahkan ranum jingga. Kami ber-12 masih berceceran di emperan masjid besar Senduro. Kami yang tak kunjung mendapat kepastian untuk perjalanan ini kian resah. Aku juga sudah tidak peduli kemana kita selanjutnya, yang penting aku tidak mau terpisah lagi dari rombongan ini.

Mamel mencoba menghubungi kawan-kawan mapala Kepak Elang (K.E) yang bermarkas di STIKI Malang. Alit dan Gosong terlibat dalam perbincangan absurd. Gobes dan Rohim berada di pojok masjid bersama Mamel. Cepi dan Fani sholat di dalam masjid. Aku dan yang lain sibuk mengkremes indomie goreng untuk mengganjal lapar. Sosis dan telur asin pun ikut menjadi korban makan malam. Alhasil, logistikku ludes. Tinggal beberapa batang sosis dan dua buah telur asin untuk sangu ke tempat selanjutnya.

"Ayo siap-siap ! Kita berangkat ke Arjuno," kata Mamel sambil pamer gigi pepsodent. Waah.. serius kita mau ke Arjuno? Sebelumnya aku tidak pernah punya cita-cita mau mendakinya. Tapi tak apalah.. yang penting mendaki gunung. Tampaknya yang lain juga begitu bersemangat mendengar nama Arjuno. Oke, kita berangkat !

Tidak membutuhkan waktu yang lama kita semua sudah berada di atas motor masing-masing. Dengan membaca bismillah,  tepat jam 19.00 WIB kita berangkat menuju Malang.

Perjalanan Lumajang-Malang membutuhkan waktu sekitar empat jam. Karena kondisi fisik yang lelah, beberapa dari kami terkantuk-kantuk di jalan. Wisnu yang membonceng Gobes motornya sempat hampir oleng, akhirnya Gobes menggantikan Wisnu menyetir.

Kondisi tubuh dan pikiran yang letih luar biasa memaksa kita untuk beristirahat sejenak. Sambil menunggu kawan-kawan yang mengisi bensin di pom, yang lain leyeh-leyeh di pinggir jalan. Saat itu Rohim dan Gosong berada di belakang. Mereka tidak tahu kalau kita berhenti di dekat pom, akhirnya mereka kebablasan hingga sampai di terminal. Alit mengejar mereka. Aku dan yang lain menunggu hingga ketiduran.

mengambil kesempatan dalam kebablasan

Beberapa menit kemudian Alit datang. Perjalanan berlanjut. Sekitar jam 10 malam kami berhenti lagi di Probolinggo untuk makan malam. Setelah kenyang, kami kembali berangkat. Ingin segera sampai di tujuan agar besok bisa mendaki dengan kondisi yang fit. Tapi tampaknya tubuh kami yang sudah kelelahan memprotes. Lagi-lagi kami harus berhenti untuk memenuhi tuntutan mata yang susah diajak melek. Di emperan ruko kami kembali tertidur.
tepar maneeh.. dari kiri : Mamel, Maya, Nenek, Cepi, Icham

rek.. gantian lah turune.. dari kiri : Gobes, Rohim, Alit, Gosong

Malang, 18 April 2014

Sekitar jam 00.00 kami sampai di kota Malang. Ketua panitia kami (read : Mamel) tampaknya tidak hafal dengan jalanan kota apel itu. Beberapa kali kami salah jalan dan berputar-putar. Akhirnya kita berhenti di pinggir jalan yang lengang. "Duh, iki kan dalan kate nang kosanku biyen," curhat Mamel yang dulu pernah bimbel di Malang. Ternyata dia juga lupa jalan menuju kampus STIKI, tempat sekretariat mapala K.E.

Mamel kembali menghubungi kawan-kawan K.E, minta arahan menuju lokasi. Seorang kawan K.E menawarkan diri untuk menjemput kami di TKP. Setelah beberapa menit menunggu, tiba-tiba Mamel bilang kalau dia sudah ingat jalan. Akhirnya kami membatalkan tawaran penjemputan tadi.

Jam setengah satu dini hari akhirnya kami disambut oleh gerbang kampus STIKI. Tanpa basa basi kami langsung menuju sekretariat K.E di lantai dua. Tas carrier yang setia menempel berjam-jam tadi aku hempaskan di lantai depan pintu K.E. Aih.. belum mendaki bahuku sudah pegal-pegal rasanya.

Sekret K.E. adalah ruang sekretariat terluas yang pernah kujumpai. Berbentuk persegi empat dengan sekat-sekat untuk dijadikan semacam kantor bagi tiap kepala divisi. Mirip ruang dosen gedung matematika di kampusku. Aku dan para gadis memilih ruangan pertama yang paling dekat dengan pintu. Tanpa mencuci tangan, kaki, wajah, dan gigi, kami berempat langsung merebahkan punggung. Tanpa memedulikan gelak tawa para lelaki di luar ruangan itu, kami bermimpi pulas. Mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan yang bersembunyi di balik kata esok.

Hari itu bisa dibilang kami belum melakukan perjalanan seperti apa yang kami bayangkan pada awalnya. Perjalanan hari itu bukanlah proses menuju tempat tertinggi maupun tempat terindah, melainkan sebuah proses bagaimana kita membuat perjalanan itu menjadi penuh warna. :)


to be continued...

#part 1: Menuju 3676 mdpl 
#part 2: Terpisah
#part 3: Menggelandang Malang
#part 4: Menjalankan Rencana B
#part 5: Terlelap di Ujung Ladang
#part 6: Mendaki Gunung
#part 7: Badai Pasti Berlalu
#part 8: Di Dalam Awan
#part 9: Hal yang Wajib Dilakukan ketika Naik Gunung

No comments:

Post a Comment