#part 7 : Badai Pasti Berlalu

  • 0
Jember, 25 April 2014

Sore ini aku duduk bercengkrama di depan gazebo gedung matematika. Sambil menjilati es krim paddle pop pelangi yang diberikan oleh Mbak Tutut, aku berbincang dengan Fian. Tidak beberapa lama, tiba-tiba langit berubah mendung. Aku mencium bau hujan. Segera kuhabiskan es krimku dan cepat-cepat kembali ke kosan. Aku tidak mau terjebak hujan di kampus atau basah kuyup di tengah jalan. Sejak saat itu, hujan menyisa kenangan yang membuatku selalu ingat bahwa hidup kita bisa terhapus bahkan oleh setetes air hujan.

***


Watu Gede, 19 April 2014
“Berapa jam lagi kita sampai di Lembah Kembar, Mas?” tanyaku pada Mas Penceng. “Lima jam lagi,” jawabnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00. Kita akan melakukan perjalanan malam lagi jika tidak segera beranjak.

Setelah mengisi amunisi, kita segera berangkat. Melihat mendung yang menggelayut, aku memutuskan untuk berjalan memakai jas hujan. Biar nanti tidak kelimpungan lagi, pikirku. Jas hujan yang kupakai adalah milik adik kosku, Lintang. Bahannya kaku, sehingga kaki berat digerakkan. Ketika bergesekan dengan daun, bunyinya keras sekali.
Sreek…sreek..sreek..
“Bunyi ini penanda kalau aku lagi jalan. Jadi kalau nggak  bunyi kan ketahuan kalau aku hilang,” kataku di tengah perjalanan.

“Loh, itu celanamu robek ta?” Alit menunjuk celanaku dari belakang.
Aduh.. robek. Yah.. harus ganti baru deh.. Akhirnya aku melepaskan celana jas hujanku.
Kami sampai di pertigaan. “Kalau belok kiri, itu jalan menuju Gunung Welirang, jalan ke kanan menuju Arjuno,” Mas Penceng menjelaskan. Kami beristirahat sebentar di situ. Dari atas jalan, tampak ada pendaki yang turun dari Arjuno. Kami berbasa-basi sedikit. Mereka tidak berhenti dan langsung terus berjalan. Lalu kami berjalan melalui jalan setapak yang dilewati pendaki-pendaki tadi.

Beberapa menit kemudian, gerimis kembali bertandang. Kami masih terus berjalan dengan nafas yang semakin pendek. Semakin ke atas, oksigen semakin tipis. Kabut juga semakin tebal. Gelap. Tenggorokanku kering, aku haus. Jalan masih panjang, aku tidak boleh minum terlalu banyak. Tapi aku ingin minum, setetes saja. Lalu aku menatap langit, membuka mulut. Berharap ada tetes hujan yang membasahi tenggorokanku. Tidak ada setetes pun.

“Aduh, hujan es!” Icham berseru dari depan. Es? Aku menengadahkan tangan ke atas, sebutir es meluncur ke tanganku. Ku amati butiran es yang berada di tanganku dengan takjub. Seperti kristal. Aku belum pernah melihat hujan es sebelumnya. Lalu tanpa pikir panjang, aku memasukkan es itu ke mulutku. Cess… Ah, segarnya. Aku mau lagi. Aku mau..

Kupungut butir-butir es yang berjatuhan di atas tanah. Kumakan seperti aku memakan permen coklat cha-cha. Dengan penuh syukur aku berterima kasih karena diselamatkan dari dehidrasi. Kemudian gerimis es itu turun semakin deras, dengan butir yang semakin banyak. Udara berubah menjadi dingin. Jalan setapak yang kami lalui berubah menjadi jalan air. Aliranya deras meluncur turun ke bawah. Celanaku yang tidak dilindungi jas hujan sudah kuyup. Sepatuku penuh dengan air. Langkahku semakin berat.

Jalanku semakin lambat. Aku berhenti tiap lima langkah. Icham, Wisnu, dan Fian sudah jauh meninggalkanku, yang lain berada di belakangku. Menunggu jalanku yang lambat. Mas Penceng yang berada tepat di belakangku menyuruhku jalan lebih cepat,“Cepet sampai, cepet istirahat nanti.”
Semakin lama udara semakin dingin. Aku mulai menggigil. Tiba-tiba aku mengantuk. Mataku berat sekali. Aku ingin tidur. Aku berhenti di samping pohon. Kemudian..
*KLAP*
CETTAAAAARR….. BLARRR..
Kilat tepat di atas kepala kami semua. Kami terdiam.

“Ayo jalan lagi,” Mas Penceng berbisik. Di tengah hujan badai yang semakin deras aku semakin lemah. Keseimbanganku menjadi-jadi rapuhnya. Mataku tidak bisa diajak berkompromi. Aku mengantuk luar biasa,“Aku pingin tidur.” Mataku memejam, kemudian mimpi-mimpi berdatangan..

Ada yang menarik tanganku dari depan. Aku sudah tidak sanggup melihat sekelilingku. Tapi aku sadar aku sedang diseret. Aku mencoba membuka mata, Alit berada di depanku. Tangannya menggandengku. Ku ikuti kemana gerakannya. Beberapa kali aku terpeleset. Tetesan es yang menyentuh kulitku seperti jarum yang menusuk-nusuk. Hipotermia menghantui pikiranku. Ya Allah, apa aku akan mati di sini? Tidak, aku tidak mau mati di tempat ini. Aku harus bertahan. Aku harus kuat. Berulang kali aku menyugesti diriku sendiri.

Akhirnya kita sampai di lahan terbuka yang mirip savana. Kami berhenti menunggu yang di belakang. “Nge-camp di sini aja ta?” Alit berteriak. Tapi Mas Penceng dan Mas Sipon terus bergerak. Mereka seperti tidak peduli bagaimana letihnya kami semua. Aku terutama. “Kita nge-camp di depan aja,” kata Mas Penceng. Aku kembali menyeret kakiku. Pada jarak 100 meter yang terasa 1000 meter itu kami berhenti. Kami sampai di lembah bukit.

Selamat datang di lembah kembar.

Di bawah derasnya badai malam itu, kami bersusah payah mendirikan tenda. Aku memegang senter untuk menerangi kawan-kawan dengan gemetaran. Hujan mulai reda ketika tenda sudah berdiri. Karena di dalam tenda belum dibersihkan dan diberi matras sedangkan aku sudah tidak kuat dengan dingin yang merajalela, aku mengganti pakaian dengan baju kering di belakang salah satu tenda.

Langsung saja setelah tenda siap dimasuki, aku menjejalkan tubuhku masuk ke dalamnya. Sudah ada Cepi dan Fani di situ. Aku meringkuk di tengah tenda. Gobes, Alit, dan Rohim ikut masuk ke dalam tenda yang sama. Kami duduk melingkar dan saling berdekatan untuk menghangatkan satu sama lain. Sambil bercerita tentang perjalanan hari ini, kami menanti badai benar-benar berlalu. 

Ketika hujan sudah reda, Rohim dan Gobes keluar tenda untuk memasak air. Kami membuat pop mie, lemon tea, dan energen. Aku lupa kalau seharian ini aku hanya minum air sedikit, itupun sudah diperas menjadi keringat. Sebotol susu bendera tidak mampu menyembuhkan dahagaku. Aku meminum lemon tea hangat buatan Alit. Panasnya menjalar ke sekujur tubuhku. Hangat sekali.

Setelah menghabiskan sebungkus pop mie dan sebuah apel, aku bergegas mengambil sleeping bag. Kami akan tidur berenam di tenda untuk empat orang malam ini. Tampaknya mereka bertiga, terutama Alit kapok tidur di tenda yang besar bersama orang-orang besar itu. Tidur mereka tidak beraturan, sehingga tenda yang seharusnya untuk orang enam itu hanya muat dimasuki empat orang.

Tenda kami yang sekarang akan dimasuki enam orang ditata sedemikian rupa. Kami tidur dalam diam karena tidak bisa bergerak. Sesak, tapi hangat. Aku berada di tengah, di apit oleh Gobes dan Cepi. Ku benamkan kepalaku di dalam sleeping bag.

Malam itu udara malam lebih dingin dari malam sebelumnya. Hujan meninggalkan angin yang menampar-nampar dedaunan. Menyisakan suara yang menakutkan. Tapi kami sudah terlalu lelah untuk mengkhawatirkan angin di luar sana. Derunya membawakan lagu pengantar tidur yang melelapkan.

Setelah badai hari itu, gelap malam bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Mitos Arjuno mungkin memang nyata, tapi aku percaya selama kami berkelakuan baik, kami juga akan baik-baik saja. Ada hal-hal yang jauh lebih perlu untuk diperhatikan. Tentang sifat alam, dan Dia yang berkehendak atasnya. Sungguh, tidak ada yang lebih berkuasa selain Dia yang mencipta semesta. Untuk hidup yang masih disempatkan pada hari itu, terima kasih Tuhan. Untuk pengalaman yang telah dicurahkan, terima kasih semesta. Untuk tidak meninggalkan satu sama lain di saat badai, terima kasih kawan. :)


Pagi setelah badai di lembah kembar #badaipastiberlalu


to be continued...

#part 1: Menuju 3676 mdpl 
#part 2: Terpisah
#part 3: Menggelandang Malang
#part 4: Menjalankan Rencana B
#part 5: Terlelap di Ujung Ladang
#part 6: Mendaki Gunung
#part 7: Badai Pasti Berlalu
#part 8: Di Dalam Awan
#part 9: Hal yang Wajib Dilakukan ketika Naik Gunung

No comments:

Post a Comment