Bagian 4 : Keluar

  • 0


Saya duduk dengan perasaan tak karuan. Baru satu minggu saya pulang dari Jakarta. Baru satu hari saya memantapkan diri bekerja sebagai orang kantoran. Ujian itu datang lagi. Kali ini semakin sulit. Saya sudah terlanjur masuk meski belum diikat apapun. Walaupun dalam status masa percobaan tiga bulan, tidak ada dalam peraturan perusahaan bahwa saya tidak boleh mundur. Lantas saya pergi ke ruangan Rellas untuk meminta pertimbangan.

Menurut Rellas, saya dinilai tidak beretika jika sampai mengundurkan diri dari Mitra Citra. Sebab perusahaan itu telah berbaik hati menunggu saya hingga satu bulan lebih. Selain itu, Rellas mengatakan bahwa masuknya saya di perusahaan itu atas permintaan Direktur Mitra Citra, Michael namanya. Tidak biasanya seorang Direktur mau memberi waktu selama itu untuk menunggu seorang karyawan masuk. Rellas merasa tidak enak dengannya.

Kemudian saya dipertemukan dengan Bu Susi, atasan Rellas. Menurut Bu Susi, pilihan ada ditangan saya. Ia tidak mau memaksa. Ketika saya meminta pertimbangan bagaimana jika berada di posisi saya. Ia menjawab akan memilih stay di perusahaan ini. Pertimbangannya adalah perusahaan memberi kepastian. Sedang di Jakarta, saya harus berjudi dengan ketidakpastian sekali lagi. Tampaknya Bu Susi adalah orang yang suka bermain aman.

Namun saya tidak sependapat. Menurut saya, menyia-nyiakan kesempatan berarti menyia-nyiakan umur. Bayangkan saja andaikan saat ini saya tetap tinggal dan melepas kesempatan. Berapa lama saya harus menunggu kesempatan yang sama itu datang lagi? Andaikan kesempatan itu akhirnya datang, siapa yang bisa menjamin nyali saya masih sebesar saat ini? Apakah Bu Susi yang akan menjamin?

Barangkali ini adalah pilihan tersulit yang pernah saya temui. Ini bukan lagi tentang keinginan saya pribadi. Tapi sudah masuk pada tahap hubungan saya dengan masyarakat luar. Dalam hati saya ingin pergi tapi tidak dengan melukai. Bukan karena masalah ketidakpastian yang menahan saya. Tapi perkara etika. Andai saya tak harus peduli dengan etika, saya pasti sudah melenggang.

Dengan berat hati, akhirnya saya memutuskan untuk tinggal. Sekali lagi bukan karena saya tak mau ambil resiko. Tapi lebih karena saya tak ingin melukai. Barangkali saya harus menempuh jalan ini terlebih dulu sebelum melanjutkan ke jalan yang sesuai dengan hati saya.

Lepas istirahat, saya duduk di meja Iga, kawan baru saya. Ia mengajari saya bagaimana memproses sebuah pesanan untuk disampaikan ke bagian produksi. Sulit sekali menangkap penjelasan Iga waktu itu. Hati saya masih belum ikhlas. Pekerjaan saya jadi tak beres. Saya kepikiran kata-kata Rellas. Mengapa Pak Michael rela menunggu saya selama satu bulan lebih? Apa istimewanya saya?

Lalu saya berinisiatif menemui Pak Michael di ruangannya. Saya bercerita bagaimana kondisi saya dan meminta pertimbangan. Andaikan saya benar-benar dibutuhkan di perusahaan ini, saya katakan bahwa saya akan tinggal. Pak Michael menjawab, “Kalau kamu sudah ngomongin passion saya bisa apa? Saya tidak suka menahan-nahan orang. Kalau HRD yang menahan kamu ya itu wajar. Nama mereka bisa jelek.”

”Saya kemarin bersedia menunggu kamu sebenarnya ya karena posisimu itu sedang tidak urgent. Tim sebanyak itu sudah cukup buat saya. Jadi kalau kamu mau keluar, saya tidak ada masalah,” ia melanjutkan. “Sudah, tidak apa-apa kamu berangkat. Saya di sini juga tidak bisa menjanjikan apa-apa ke kamu. Kamu jadi jurnalis barangkali nanti bisa membantu promosikan perusahaan saya. Hahaha.”

Setelah itu ia menelepon Bu Susi agar datang ke ruangannya. Ia mengatakan bahwa saya ingin keluar dari perusahaan ini. Setelah berulang kali mengucap maaf dan terima kasih, saya kembali ke meja saya. Segera saya membuka email dan mengirim konfirmasi kehadiran untuk datang tes tahap awal calon reporter Tempo.

No comments:

Post a Comment