Bagian 5 : Berjudi

  • 0


Ada yang mengatakan saya berani. Ada yang bilang gila. Ada juga yang mengatakan saya bodoh. Yang mana saja boleh benar. Saya terlalu sibuk memikirkan hal lain daripada komentar itu.

Saya pulang ke rumah Pakdhe di Pandaan keesokan harinya. Pakdhe menilai saya membuat kekeliruan. Menurutnya, saya seharusnya menunggu hingga dua atau tiga hari sebelum memutuskan untuk resign. Alasan resign adalah karena tidak cocok dengan lingkungan pekerjaan. Tapi kan bukan itu faktanya. Saya sudah merasa tidak enak perkara etika. Bagaimana mungkin saya juga harus berbohong?

Tapi keputusan saya memang beresiko tinggi. Selain saya kehilangan pekerjaan, Pakdhe takut Direktur Mitra Citra sakit hati dengan tindakan saya. Sehingga ia lalu menyarankan perusahaan lain untuk mem-black list saya jika melamar di perusahaan-perusahaan tersebut.

Malamnya saya sedikit resah. Saya kepikiran dengan kata-kata Pakdhe. Tapi bukannya karyawan keluar adalah resiko perusahaan? Mau satu hari, satu minggu, 10 tahun pun, andai ada karyawan keluar, apakah mereka juga bisa dibilang tidak beretika? Karena memang tidak ada dalam peraturan perusahaan yang mengikat karyawan tidak boleh keluar dalam masa waktu tertentu. Ah, sudahlah. Jika akhirnya mereka berniat jahat pada saya dengan menghubungi partner-partner mereka agar mem-black list saya, itu adalah urusan mereka dengan Tuhan.

Tanggal 21 Juni saya berangkat ke Jakarta seorang diri. Saya telepon Ibu dan mengabarkan bahwa saya akan langsung ke Jakarta tanpa pulang ke rumah lebih dulu. Ibu sudah restu dengan pilihan-pilihan saya rupanya.

Saya sampai di rumah Mami keesokan harinya. Sesaat setelah datang, saya langsung pergi ke Universitas Katolik Atma Jaya, tempat berlangsungnya tes. Tempat saya memulai perjudian. Saya tak mau langsung gagal hanya karena saya kesasar.

Saya menempuh perjalanan selama 2 jam dengan busway. Letaknya di Jakarta Pusat, dekat dengan Stasiun Sudirman. Sepertinya akan lebih cepat kalau saya naik Commuter Line (KRL).

No comments:

Post a Comment